• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Alasan Korban KDRT Bisa Bertahan dalam Relasi Pernikahan Red Flag

KDRT merupakan sesuatu yang ‘sengaja’ ada dan merugikan salah satu pihak di antara pasangan, maka dari itu, KDRT bukanlah ujian pernikahan

Dhonni Dwi Prasetyo Dhonni Dwi Prasetyo
24/08/2024
in Personal
0
Relasi Pernikahan Red Flag

Relasi Pernikahan Red Flag

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi. Adalah salah seorang selebgram muda bernama Cut Intan Nabila yang menjadi korbannya. Dalam postingan akun instagramnya, ia menuturkan bahwa ia telah membina rumah tangga bersama pasangannya selama kurang lebih 5 tahun.

Dalam kurun waktu itu pula, ia bertahan dalam relasi pernikahan Red Flag, di mana mengalami kasus KDRT yang pasangannya lakukan. Tak hanya KDRT, perjalanan rumah tangganya juga diwarnai perselingkuhan yang tak lain juga dilakukan oleh pasangannya.

Begitu miris rasanya membaca kabar semacam ini. Apa yang Cut Intan Nabila alami ini mungkin hanya sebagian kecil kasus KDRT yang tampak di permukaan publik. Di akar rumput, bisa saja masih banyak kasus KDRT yang tak terekspos, sehingga masih terus-menerus terjadi. Na’udzubillah min dzalik. Semoga para korban KDRT mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya.

Dalam tulisan kali ini, penulis tak bermaksud menyalahkan atau menghakimi siapapun, terutama kepada para korban KDRT. Justru mereka harus kita support dengan memberikan atensi penuh agar hak-haknya tertunaikan dengan baik, dan bisa hidup dalam kondisi dan lingkungan yang lebih aman dan nyaman ke depannya.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengulas alasan mengapa korban KDRT bisa ‘bertahan’ dalam relasi pernikahan Red Flag, menjalani rumah tangga penuh kekerasan selama bertahun-tahun. Sebenarnya apa alasannya? Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi? Mari kita ulas!

Baca Juga:

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

Memahami Dasar Logika AI: Bagaimana Cara AI Menjawab Permintaan Kita?

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Guna menjelaskan alasan yang melatarbelakangi korban KDRT (seolah) mampu ‘bertahan’ dalam relasi rumah tangga yang diwarnai kekerasan dalam jangka waktu yang relatif lama, penulis sependapat dengan penuturanseorang pakar psikolog muda Indonesia, Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog. Dalam menyikapi hal ini, beliau menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan korban KDRT bisa ‘bertahan’ selama bertahun-tahun dalam relasi ‘kejam’, antara lain;

Pertama, korban terjerat dalam siklus kekerasan dan berada dalam “dilema cinta-harapan-teror”

Siklus kekerasan ini terdiri dari pola berulang, yaitu: tahapan ‘bulan madu’ (masa romantis antara pasangan; hubungan keduanya begitu dekat dan hangat), tahapan konflik/ permasalahan, tahapan tindak kekerasan, tahapan masa tenang/meminta maaf, dan kembali lagi ke tahapan pertama.

Biasanya, korban yang sudah terjerat dalam siklus kekerasan sekaligus berada dalam “dilema cinta-harapan-teror” ini, akan ‘terikat’ pada dilema rasa cinta dan sayang pada pasangan yang sejatinya merupakan pelaku kekerasan. Korban seakan ‘melupakan’ berbagai tindak kekerasan yang pasangan lakukan sebelumnya.

Tak jarang, korban juga berharap pasangannya bisa berubah menjadi pribadi yang baik. Hal ini karena tatkala konflik sudah mereda dan keduanya ada dalam dalam tahapan masa tenang/meminta maaf dan bulan madu, pelaku biasanya mengutarakan janji-janji manis kepada korban. Terutama janji bahwa pelaku tidak akan menyakiti korban lagi. Akibatnya, korban menjadi menaruh harapan besar bahwa pasangannya akan menepati janji-janjinya.

Di sisi lain, kondisi korban yang sudah terjerat dalam siklus kekerasan sekaligus berada dalam “dilema cinta-harapan-teror” ini menyebabkan kehidupan korban tidak mengenakan. Kehidupan korban dipenuhi teror berupa aksi kekerasan pelaku yang semakin hari semakin sulit ia lawan, sebab adanya peningkatan intensitas kekerasan atau mungkin sebab kondisi psikologis korban yang semakin terpuruk.

Singkatnya, siklus kekerasan ini semakin memperlemah korban yang sejatinya telah dilemahkan berkali-kali sebelumnya. Akan tetapi, “dilema cinta-harapan-teror” ini memaksa korban mau tidak mau harus bertahan atau mempertahankan rumah tangganya.

Kedua, korban seringkali mengalami jeratan relasi manipulasi pelaku

Jeratan manipulasi pelaku dalam relasi antara pasangan ini jelas merugikan korban. Akan tetapi, korban pada mulanya tidak merasakan kejanggalan atas perilaku pasangannya yang sering melakukan kekerasan terhadapnya. Korban juga menganggap bahwa ini merupakan khilaf dari pasangannya dan tak jarang juga menganggap hal ini sebagai ujian pernikahan saja.

Lambat laun, barulah korban merasa bahwa apa yang selama ini menimpanya bukanlah khilaf dari pasangannya atau ujian pernikahan. Perlahan ia akan menyadari bahwa semua yang terjadi hanyalah manipulasi dari pasangannya (pelaku) yang zalim itu.

Bila pelaku memanipulasi secara berkelanjutan, maka berakibat sangat fatal bagi pasangannya (korban).Terlebih, bila korban tidak mendapatkan sumber dukungan dari pihak manapun. Korban akan merasa frustasi dan mengalami dampak traumatis yang merusak beragam aspek dalam dirinya.

Ketiga, korban berada dalam relasi romantis yang berkekerasan

Relasi romantis yang berkekerasan ini menciptakan rasa tidak aman dan terancam sekaligus memicu dampak traumatis. Relasi demikian ini mempersulit kemampuan korban berpikir logis untuk menolong diri sendiri.

Pada intinya, korban akan merasa antara percaya dan tidak percaya akan semua yang terjadi pada dirinya. Korban percaya kalau kasus kekerasan yang ia alami adalah sebuah kenyataan. Namun, ia seolah masih saja tidak percaya bila pasangannya adalah pelaku tindak kekerasan tersebut.

Berangkat dari tiga alasan di atas, maka perlu kita pahami, terutama bagi para korban KDRT secara khusus dan kita semua secara umum, bahwa ujian pernikahan dan KDRT bukanlah hal yang sama dan berkaitan. Ujian pernikahan merupakan sesuatu yang tidak bisa kita kontrol (sesuatu yang tidak sengaja diadakan) dan semestinya dihadapi oleh pasangan berdua.

Misalnya, bagaimana mencari nafkah halal dan cukup buat keluarga, bagaimana mendidik anak di tengah gempuran pergaulan zaman akhir, bagaimana merawat anggota keluarga bila mendadak ada yang sakit, dsb.

Sedangkan KDRT merupakan sesuatu yang ‘sengaja’ ada dan merugikan salah satu pihak di antara pasangan. Maka dari itu, KDRT bukanlah ujian pernikahan. KDRT itu jelas tindak kejahatan. Melaporkan KDRT juga bukan berarti membuka aib pasangan. Karena, KDRT hakikatnya bukanlah aib, melainkan kejahatan yang harus kita proses secara hukum.

Pesan Gisella bagi Perempuan Korban KDRT

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan pesan yang juga Mbak Gisella gaungkan agar terbaca oleh lebih banyak orang, terutama para perempuan yang kerap menjadi korban KDRT. Jika kamu hidup dalam relasi berkekerasan, maka:

Pertama, yakinkan dirimu bahwa kamu berharga. Kamu berhak untuk hidup lebih baik.

Kedua, cari sumber dukungan selain pasanganmu.

Ketiga, kenali hal-hal baik dalam dirimu dan ingat aspirasi dirimu.

Keempat, jangan ragu mencari dan mengakses layanan dampingan untuk kasus KDRT, termasuk layanan perlindungan hukum dan akses layanan psikologis.

Kelima, ciptakan rencana keselamatan untuk darurat, termasuk untuk anakmu.

Demikian ulasan tentang alasan korban KDRT bisa ‘bertahan’ dalam relasi rumah tangga berkekerasan selama bertahun-tahun. Semoga bisa membuka cakrawala logika berpikir kita semua. Sehingga, harapannya kasus KDRT di negeri ini semakin melandai. Dan kalau pun masih ada, para korban tak takut untuk bersuara. Wallahu a’lam. []

Tags: Cut Intan NabilaKorban KDRTmedia sosialPelaku KDRTRelasi Pernikahan Red Flagviral
Dhonni Dwi Prasetyo

Dhonni Dwi Prasetyo

Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Semarang

Terkait Posts

Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Catcalling

Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

15 Juni 2025
Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sister in Islam

    Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berproses Bersama SIS Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Tak Pernah Membenarkan Pemukulan Terhadap Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan
  • Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya
  • Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID