Mubadalah.id – Sebagai manusia, tidak kita pungkiri bahwa akan menemui masalah dalam setiap hubungan yang terbangun. Entah itu hubungan pertemanan, pasangan, bahkan keluarga yang kadang tak lain adalah orang tua maupun saudara kandung.
Tidak jarang kita jumpai seseorang yang menjauh dari keluarganya sebab suatu masalah. Nyatanya, tidak semua orang diberkati dengan keluarga yang hangat dan harmonis. Beberapa justru sebaliknya, harus tumbuh dan melihat segenap permasalahan dalam keluarganya.
Sering kita jumpai curhatan netizen di sosial media yang mengeluhkan tentang keluarganya yang toxic. Memang, toxic relationship bisa menimpa hubungan apa saja, termasuk di antara keluarga. Tidak sesederhana memutus hubungan dengan orang lain. Mengatasi masalah di antara keluarga bukanlah hal yang mudah. Lalu, bagaimana harusnya kita menjalin hubungan dengan keluarga yang toxic?
Dalam Islam kita mengenal konsep silaturahmi atau menyambung kasih sayang. Seperti yang kita tahu, bahwasannya silaturahmi memiliki banyak manfaat, misalnya memperpanjang umur dan meluaskan rezeki. Konsep silaturahmi sejatinya adalah mengantarkan kebaikan kepada kerabat dan menghalau keburukan dari kerabat.
Oleh sebab itu, menjadi masalah jika silaturahmi ini justru menjadi sebab datangnya keburukan. Toxic relationship di keluarga beragam wujudnya. Termasuk ketika hari raya ataupun ketika acara-acara di mana keluarga besar berkumpul. Tak jarang ada mulut-mulut saudara yang terlalu ingin tahu hingga menanyakan banyak hal yang barangkali membuat yang ditanya tidak nyaman, misalnya: tentang pasangan, ataupun membandingkan karir yang sedang diusahakan.
Toxic People
Karakteristik toxic people ternyata juga tersebutan dalam Al-Qur’an, misalnya di surah al-Maidah ayat 8 tentang sifat permusuhan. Surah al-An’am ayat 159 tentang sifat memecah-belah, dan surah al-Hujurat ayat 11 tentang sifat suka mencela.
Kemudian al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 134, yang artinya
“(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Menurut tafsir Al-Misbah, Ayat tersebut menjelaskan tentang bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil untuk menghadapi orang-orang yang memiliki sifat toxic. Mulai dari tingkat yang paling mudah hingga yang paling susah. Seseorang yang merasa disakiti oleh orang lain minimal dirinya mampu menahan amarah untuk tidak mengeluarkan kata-kata buruk atau membalas perbuatan negatif, maka dirinya termasuk lulus tingkatan yang termudah.
Pada tingkatan kedua, ketika seseorang yang tersakiti tersebut mampu memaafkan orang yang menyakitinya. Lalu untuk tingkatan yang paling susah, yakni orang yang disakiti tersebut justru membalas kebaikan atas perlakuan orang yang menyakitinya.
Sejarah Hidup Para Nabi
Jika kita tarik ke belakang, banyak kita jumpai dalam sejarah hidup para nabi keadaan yang serupa. Yakni keadaan yang harus menghadapi keluarga toxic. Nabi Ibrahim memiliki ayah seorang pembuat berhala, Nabi Musa memiliki ayah angkat Firaun yang bahkan mengaku Tuhan.
Selain itu ada juga Nabi Yusuf, yang harus menghadapi saudara-saudaranya yang toxic. Saudara-saudara Nabi Yusuf menyimpan iri dengki pada dirinya hingga tega membuang Yusuf kecil ke dalam sumur dan harus berpisah dengan ayahnya selama berpuluh-puluh tahun.
Demikian pula kisah hidup Nabi Muhammad yang dikelilingi oleh paman-pamannya yang toxic, membenci bahkan memusuhi perjuangannya. Belajar dari kisah-kisah tersebut, kita tahu tak satupun dari para nabi tersebut membalas keburukan.
Nabi Ibrahim menentang perbuatan ayahnya, namun tak sekalipun beliau mencaci ayahnya. Justru sebaliknya beliau selalu menasehati dengan kata-kata yang lembut. Bahkan sampai akhirpun ketika ayahnya enggan mengikuti risalah yang ia bawa, Nabi Ibrahim justru mendoakan kebaikan untuk ayahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebutkan dalam QS. Asy-syu’ara’ ayat 86, yang artinya,
“Ampunilah ayahku! Sesungguhnya dia termasuk orang-orang sesat”, dan juga dalam QS. Maryam ayat 47, yang artinya, “Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku.”
Menghadapi Toxic People
Hal serupa juga Nabi Yusuf lakukan. Berbekal iman dan takwa dirinya lulus dari berbagai ujian kehidupan dan diberi kedudukan oleh Allah menjadi petinggi di Mesir. Di posisi dengan jabatan mulia tersebut, saudara-saudaranya datang kepadanya.
Alih-alih balas dendam dan membenci, Nabi Yusuf justru membesarkan hati saudaranya, memaafkan, dan mendoakan mereka semua. Sebagaimana yang tersebutkan dalam QS. Yusuf ayat 92, yang artinya,
“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Menghadapi toxic people memang bukanlah hal yang mudah, apalagi jika seseorang tersebut adalah keluarga sendiri. Namun, kisah hidup para nabi terdahulu barangkali bisa diambil hikmah dan pelajaran hidup, bahwa mereka mampu tumbuh menjadi sosok yang hebat dan luar biasa berbekal iman dan taqwa meskipun tumbuh di keluarga yang bisa dibilang toxic.
Mungkin memang perlu proses, namun semoga kita semua mampu menjadi manusia yang berbesar hati dengan memaafkan dan mendoakan. []