Mubadalah.id – Mungkin cerita tentang sahabat sejati adalah cerita yang aneh dan banyak orang yang tidak bisa menerimanya. Tetapi ia diceritakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din.
Ada dua orang laki-laki bersahabat. Keduanya sepakat untuk meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan dunia, dan akan hidup menyepi di lereng gunung nun jauh untuk mengabdi kepada Tuhan. Keduanya akan bermeditasi dan kontemplasi penuh di sana untuk beberapa waktu.
Suatu hari salah satu dari mereka turun ke kota untuk membeli makanan, karena bekal yang dibawa sudah tipis. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pelacur (PSK). Ia terpesona. Jantungnya berdebar penuh hasrat, lalu mengajaknya pergi ke tempat sepi untuk melepaskan hasratnya.
Ia menghabiskan waktu tiga malam dengan sang pelacur itu. Sesudah itu ia tersadar, dan timbul rasa malu yang begitu kuat untuk kembali kepada saudaranya. Ia tak ingin menemuinya.
Sahabatnya di lereng gunung menunggu dengan cemas dan khawatir akan keadaan sahabatnya, sesudah beberapa jam tak datang kembali. Ia lalu turun ke kota mencari sang sahabat, dan setelah bertanya ke sana ke mari tentang keberadaannya, ia menemukannya dalam keadaan seperti “orang asing”.
Menemui Sahabat
Kemudian, Ia berusaha memeluknya dengan rasa riang dan meneguhkan hatinya. Tapi sang sahabat yang malang itu menolaknya. Bahkan mengaku tidak mengenalnya:
“Kau bukan sahabatku, aku tak mengenalmu” Hatinya malu tak terkira dan merasa rendah. Lalu sahabatnya berkata, “Marilah saudaraku, aku mengerti keadaanmu, aku sudah tahu ceritamu. Kau tidak pernah kucintai dan kusayangi lebih daripada saat ini.”
Manakala sang sahabat yang merasa malu itu menyadari bahwa apa yang telah diperbuatnya tidak dipandang rendah sahabatnya, ia pun bangkit dan siap pergi bersamanya, pulang.
Kemudian, Imam al-Ghazali mengatakan:
“Ini adalah salah satu cara sebagian orang untuk menyelamatkan sahabat. Cara ini lebih lembut dan lebih cerdas dibandingkan dengan cara lain, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang lain memutuskan persahabatan, mengusirnya, mendiamkannya atau bahkan membencinya. Cara sahabat di atas lebih baik dan lebih menyelamatkan.” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz Il, hal 184). []