Mubadalah.id – Jika merujuk dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw, Beliau memberikan jaminan surga bagi perempuan yang mati karena melahirkan. Kedudukannya di hadapan Tuhan sama dengan prajurit di medan perang melawan musuh (jihad).
Pernyataan Nabi tersebut tidak lain merupakan penghargaan yang tinggi bagi perjuangan perempuan yang mati karena melahirkan. Akan tetapi, sebagian orang beranggapan untuk tidak memberikan perhatian yang sungguh-sungguh karena kematian syahid merupakan pahala yang besar dan ada jaminan masuk surga.
Hal ini jelas merupakan pemahaman yang sangat konyol. Hasil penelitian para ahli kependudukan dan kesehatan reproduksi perempuan menunjukkan, komplikasi kehamilan. Termasuk persalinan benar-benar merupakan pembunuh utama perempuan usia subur.
Mengingat hal ini, maka adalah sangat masuk akal dan sudah seharusnya mendapat pertimbangan semua pihak. Terutama para suami, bahwa perempuan berhak memilih untuk hamil atau tidak.
Demikian juga dalam menentukan jumlah anak yang diinginkan. Tidak seorang pun mengingkari bahwa di dalam rahim perempuan lah cikal bakal manusia dikandung. Meskipun ada peran laki-laki bagi proses pembuahan, tetapi perempuan lah yang merasakan segala persoalannya.
Walaupun terdapat kontroversi mengenai siapa yang memiliki hak atas anak. Tetapi mayoritas ahli fikih menyatakan bahwa anak adalah hak ayah dan ibunya secara bersama-sama, karena keberadaannya merupakan hasil kerjasama keduanya.
Oleh karena itu, untuk memutuskan kapan mempunyai anak dan berapa anak yang ia inginkan seharusnya juga menjadi hak istri, dan harus keduanya bicarakan secara bersama-sama.
Dari sini juga dimungkinkan meningkatkan daya tahan para istri atau ibu sehingga kerentanan pada masa kehamilan dan melahirkan bisa diperkecil sehingga resiko kematian bisa diminimalisir.
Program KB
Penolakan istri untuk hamil dapat dilakukan melalui berbagai cara atau alat sebagaimana diatur dalam program Keluarga Berencana (KB). Suami-istri dapat menggunakan cara pantang berkala, coitus interuptus (senggama terputus, al ‘Azl), atau dengan alat kontrasepsi lain yang disediakan.
Dalam hal penggunaan alat-alat kontrasepsi ini istri juga berhak menentukan sendiri alat yang sesuai dengan kondisinya.
Untuk hal ini adalah logis jika dia juga berhak untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan yang jujur dari pihak-pihak yang ahli mengenainya, seperti dokter atau petugas kesehatan.
Apabila dia tidak memiliki pengetahuan mengenai alat-alat kontrasepsi yang sesuai dengan tubuhnya. Maka kewajiban dokter atau petugas untuk memberikan yang terbaik bagi perempuan. []