Mubadalah.id – Pada Minggu, 20 Oktober 2024, pasangan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi terlantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2024–2029. Pemerintahan mereka menamakannya Kabinet Merah Putih, yang melambangkan persatuan, kebersamaan, dan kebangsaan.
Selanjutnya, Presiden Prabowo melantik 48 menteri dan lima pejabat setingkat menteri sebagai bagian dari susunan Kabinet Merah Putih untuk periode 2024–2029.
Lalu pada hari berikutnya pengumuman jajaran pimpinan Komisi DPR RI, yang banyak yang menarik perhatian. Khususnya jajaran Komisi VIII DPR RI, yang membidangi urusan agama, sosial, serta perempuan dan anak. Komisi ini dipimpin oleh Marwan Dasopang dari Fraksi PKB, dengan empat wakil ketua. Yaitu Abidin Fikri (PDIP), Abdul Wachid (Gerindra), Ansory Siregar (PKS), dan Singgih Januratmoko (Golkar).
Betapa tidak kecewanya, komisi yang membidangi urusan perempuan dan anak justru tidak memiliki representasi perempuan. Kritik keras pun datang berseleweran, salah satunya dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Mereka menilai ketidakhadiran perempuan dalam komisi tersebut mencerminkan fokus partai politik yang lebih pada Pembagian jatah kekuasaan daripada memastikan keterwakilan perempuan secara substansial.
Apakah keterlibatan perempuan benar-benar dianggap tidak penting? Bahkan dalam isu-isu yang secara langsung menyangkut kepentingan mereka sendiri? Hal ini cukup mencerminkan bahwa kapasitas partai politik dalam memahami situasi perempuan masih terbatas.
Mereka cenderung menggunakan perspektif awam. Alih-alih mengadopsi sudut pandang yang lebih inklusif dan sensitif terhadap kebutuhan perempuan, justru malah memperkuat struktur patriarki yang sudah ada.
Mengapa Representasi Perempuan Penting dalam Pimpinan Komisi VIII?
Kehadiran representasi perempuan dalam berbagai aspek, termasuk politik, merupakan salah satu strategi penting dalam gerakan perempuan. Hal ini kita anggap krusial karena perempuan memiliki pengalaman khas yang tidak laki-laki miliki, baik dari segi biologi maupun sosial.
Pengalaman biologis yang unik bagi perempuan meliputi menstruasi, kehamilan, persalinan, menyusui, dan masa nifas. Sementara itu, pengalaman sosial khas perempuan mencakup marginalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, serta kekerasan berbasis gender.
Misalnya, dalam menetapkan kebijakan terkait cuti haid bagi perempuan. Bagaimana komisi tersebut dapat menetapkan kebijakan yang adil jika anggotanya tidak pernah langsung merasakan rasa sakit yang perempuan alami saat menstruasi?
Demikian pula, bagaimana mereka dapat membuat kebijakan yang adil terkait cuti melahirkan jika tidak memahami secara pribadi betapa beratnya proses persalinan dan tekanan emosional yang ibu pasca melahirkan hadapi?
Pentingnya Pelibatan Perempuan
Selain itu, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan kebijakan untuk perempuan hamil karena pemerkosaan yang adil bagi korban, jika tidak memahami kompleksitas tantangan yang perempuan hadapi, terutama dalam menghadapi stigma sosial yang melekat?
Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek, termasuk dalam politik, menjadi prasyarat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan bersifat adil gender berdasarkan kepada pengalaman hidup perempuan.
Apalagi, banyak laki-laki yang merasa paling tahu tentang keinginan dan kebutuhan perempuan tanpa bertanya langsung. Misalnya, seorang teman saya melarang istrinya bekerja dan beraktivitas di luar. Ia menganggap itu sebagai bentuk kasih sayangnya, karena tidak ingin istrinya capek mencari uang atau banyak beraktivitas.
Padahal, kebutuhan perempuan untuk bekerja seringkali bukan hanya soal uang. Tetapi juga tentang mengejar mimpi, menjalani rutinitas yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, atau mewujudkan misi besar. Sama seperti laki-laki, perempuan juga memiliki mimpi dan ambisi atas hidupnya.
Intinya, laki-laki tidak bisa menggunakan cara pikirnya sendiri untuk memahami situasi dan kebutuhan perempuan secara utuh. Karena itu, membicarakan persoalan perempuan tidak bisa kita lakukan tanpa melibatkan perempuan secara langsung.
Apakah Mungkin Membuat Kebijakan yang Adil bagi Perempuan Tanpa Memiliki Perspektif Gender?
Memiliki perspektif gender adalah prasyarat penting dalam memahami isu perempuan. Oleh karena itu, perlu memeriksa perspektif para pimpinan Komisi VIII ini, untuk memastikan apakah mereka benar-benar memiliki perspektif gender atau malah sebaliknya, terjebak dalam pola pikir patriarkal.
Jejak digital tidak pernah hilang, dan ini menjadi bukti penting tentang perspektif para pimpinan dalam melihat isu perempuan. Ternyata, nama-nama yang terpilih tidak menunjukkan jejak aktif dalam memperjuangkan isu perempuan. Bahkan, beberapa di antaranya pernah menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kini telah disahkan sebagai UU TPKS) pada tahun 2020.
Salah satunya adalah Ansory Siregar, perwakilan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di mana partai ini menjadi satu-satunya partai yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Alasan penolakan tersebut adalah karena mereka menganggap bahwa kejahatan seksual mencakup kekerasan seksual, seks bebas, dan seks menyimpang, yang mereka anggap bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, norma agama, dan adat ketimuran.
Menurut mereka, ketiga hal tersebut dapat merusak tatanan keluarga dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa ketiga isu ini harus diatur secara bersamaan dalam sebuah undang-undang yang komprehensif mengenai tindak pidana kesusilaan dan kejahatan seksual.
Selain itu, Ansory Siregar juga pernah mengkritik Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Kontrasepsi bagi remaja, yang dia anggap sebagai kebijakan yang mendorong perzinaan.
Kompleksitas Isu Perempuan
“Sudah jatuh, tertimpa pula,” itulah gambaran keadaan perempuan Indonesia saat ini. Kita semua tahu bahwa isu perempuan sangat kompleks, dan sangat kita sayangkan bahwa posisi-posisi strategis yang seharusnya kita gunakan untuk mengawal isu perempuan tidak dimanfaatkan dengan semestinya.
Apa yang bisa kita harapkan dari formasi baru Komisi VIII? Tidak ada representasi perempuan, bahkan perspektif gender pun tidak terlihat. Alih-alih membantu perempuan, kebijakan yang dihasilkan justru memperburuk posisi mereka.
Ini menjadi catatan penting bahwa representasi perempuan krusial di semua sektor, terutama di ruang-ruang yang secara khusus membahas isu perempuan. Laki-laki tidak dapat sepenuhnya memahami situasi perempuan, karena perempuan memiliki pengalaman khas yang tidak pernah dialami oleh laki-laki. []