Mubadalah.id – Sebelum menikah, saya masih berpikir bahwa pengaturan keturunan (tanzim al-nasl), atau di Indonesia kita kenal dengan program KB (Keluarga Berencana), itu hanya untuk istri. Jadi, semua alat kontrasepsi dan proses menjalaninya pun hanya istri yang menjalani. Meski saya sering mendengar keluhan para ibu tentang efek samping KB, sangat disayangkan saya masih terjebak dalam pikiran yang sama.
Setelah menikah, mindset itu berubah. Ketika ingin menjalani program hamil, suami saya mengatakan, “Setelah melahirkan, kamu jangan KB ya, biar saya saja”. Saya mengernyitkan dahi, masih belum paham.
Ia melanjutkan, “Dulu saya pernah menonton salah satu acara di televisi tentang perempuan. Reporter acara itu mengatakan bahwa setelah menikah, perempuan harus menjalani proses kehamilan, melahirkan, perawatan pasca lahiran, menyusui anak, hingga urusan KB. Urusan KB pun tak sederhana, mulai dari konsultasi ke dokter di awal KB, hingga konsultasi ke tenaga medis secara berkala.
Bertambah lagi dengan efek samping dari alat kontrasepsi, seperti; haid tidak teratur, mood swing, mudah muncul flek hitam di wajah, sering pusing, tidak boleh angkat yang berat-berat, dan lain sebagainya. Semua tantangan ini tidak hanya kita rasakan sekali, tapi berkali-kali pada fase kehamilan berikutnya. Akhirnya, KB seakan menjadi siklus beban bagi perempuan yang tak pernah putus”, jelasnya dengan cukup rinci.
Setelah menyimak tayangan itu, suami saya meyakinkan diri bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan istrinya yang menjalani proses KB. Kata lain, kesetaraan dalam KB. Mendengar penuturannya, saya mengucapkan terima kasih berulang kali.
Moderasi dalam Keluarga Berencana
Apa yang saya alami adalah hal yang juga sering banyak perempuan alami. Minimnya edukasi tentang KB, baik di sekolah maupun dari keluarga, membuat banyak perempuan terjebak dalam beban yang seharusnya bisa ia bagi.
Pemerintah memang telah menyediakan program BIMCATIN (Bimbingan Calon Pengantin). Namun program ini sering kali hanya sekedar formalitas. Materinya masih dominan narasi yang tidak adil gender, seperti pandangan bahwa kewajiban utama suami adalah memberi nafkah, sementara kewajiban istri adalah mematuhi suami.
Narasi seperti ini tidak mendukung terciptanya relasi yang mubadalah (resiprokal). Seharusnya mengedepankan prinsip kesalingan dalam pernikahan, termasuk dalam menjalankan program kesetaraan KB.
Islam memandang KB sebagai ikhtiar untuk menciptakan kesejahteraan keluarga. Dalam surat Al-Furqan [25]: 67, Allah SWT berfirman, “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar”.
Ayat ini mengajarkan tentang pentingnya bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam KB. Pelaksanaan KB yang moderat adalah upaya untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga. Yakni dengan mengedepankan musyawarah antara suami dan istri.
Dalam khazanah Islam, tersebutkan bahwa pada masa Rasulullah Muhammad saw, praktik KB telah terkenal dan diperbolehkan selama melakukannya atas kesepakatan kedua belah pihak. Para sahabat mempraktikkan ‘azl (senggama terputus) dan Rasulullah tidak melarangnya.
Begitu pula beberapa ulama kontemporer, seperti Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.
Selain itu juga Faqihuddin Abdul Qadir dalam Manba’ al-Sa’adah, menyatakan bahwa ‘azl atau proses KB lainnya, diperbolehkan. Asalkan tidak bertujuan untuk menghindari kelahiran secara permanen atau karena alasan takut miskin. Melainkan demi kesehatan ibu, kesejahteraan anak, dan kualitas hidup keluarga.
Menghapus Stigma dan Membangun Kesadaran
Seringkali, praktik KB hanya kita limpahkan kepada perempuan. Sementara laki-laki cenderung menghindari peran dalam hal ini. Banyak dari mereka beralasan bahwa alat kontrasepsi laki-laki yang tersedia saat ini hanya dua, yaitu kondom dan vasektomi.
Untuk pilihan pertama, laki-laki enggan menggunakannya karena merasa mengurangi kualitas dalam hubungan seksual. Sedangkan pilihan kedua, vasektomi, dapat menyebabkan sterilisasi permanen dan anggapannya mengurangi performa seksual laki-laki.
Padahal, berdasarkan hasil penelitian dari The World Journal of Men’s Health, tersebutkan bahwa vasektomi adalah metode yang sederhana, aman, efektif, dan ekonomis. Di mana metode ini telah digunakan di seluruh dunia untuk kontrasepsi laki-laki jangka panjang.
Anggapan bahwa vasektomi akan mengurangi performa seksual laki-laki terbukti tidak benar. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa vasektomi justru memiliki efek psikologis yang positif pada pasien. Seperti meningkatkan fungsi, kualitas, dan frekuensi hubungan seksual dan keharmonisan dengan pasangan.
Hal ini penyebabnya karena berkurangnya kecemasan akan kehamilan yang tidak terencana dan dorongan untuk mengimbangi proses “demaskulinisasi”, baik secara fisik maupun sosial, yang mungkin muncul setelah vasektomi.
Terkait kekhawatiran tentang ketidakmampuan untuk memiliki keturunan setelah vasektomi dapat kita atasi dengan metode vasovasostomi, yaitu prosedur bedah yang membalikkan hasil vasektomi. Dengan metode ini, laki-laki dapat kembali memiliki sperma dalam air mani dan berpotensi untuk memiliki anak secara alami.
Penting untuk kita pahami bahwa tanggung jawab kesetaraan KB bukan hanya soal pada jenis alat yang kita gunakan. Tetapi pada kesepakatan bersama untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi bagi laki-laki seperti kondom diperbolehkan selama melakukannya dengan tujuan yang baik dan tidak menimbulkan mudharat.
Stigma KB
Penyebab lain mengapa laki-laki enggan menjalani program kesetaraan KB adalah karena stigma budaya yang mengakar, di mana tanggung jawab KB dianggap hanya untuk perempuan. Stigma yang berkembang dalam paradigma patriarki ini membuat laki-laki berpikir bahwa berpartisipasi dalam KB adalah tanda kelemahan atau ancaman terhadap maskulinitas mereka.
Mereka khawatir bahwa KB dapat merusak citra mereka sebagai laki-laki yang kuat dan dominan. Padahal kekuatan laki-laki seharusnya diukur dari kemampuan mereka untuk bertanggung jawab, melindungi kesehatan, mau berkompromi, dan yang paling penting kekuatan dalam mengubah stigma dan paradigma patriarki terkait KB.
Oleh karena itu, stigma bahwa KB hanya tanggung jawab perempuan harus kita ubah. Ini sejalan dengan semangat Islam yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan.
Mengakhiri tulisan ini, penting untuk kita tegakkan kembali bahwa program KB bukan hanya soal memilih metode kontrasepsi. Tetapi tentang kesadaran bersama bahwa tanggung jawab merencanakan keluarga adalah tugas yang setara antara suami dan istri.
Dengan saling memahami, mendukung, dan berbagi peran, kita tidak hanya merencanakan jumlah anak, tetapi juga menciptakan fondasi keluarga yang harmonis, sehat, dan penuh penghargaan terhadap peran masing-masing.
Islam mengajarkan bahwa keluarga yang baik adalah keluarga yang terbangun atas dasar musyawarah. Saling mendukung, dan bertanggung jawab bersama, termasuk dalam perencanaan keluarga. Wallahu a’lam bi al-shawab. []