“Seperti halnya pernikahan, bercerai pun patut dirayakan.”
Mubadalah.id – Sepotong kalimat di atas terjumpai dari video pendek berisi sosok perempuan sumringah dan keranjingan kala ia mengambil akta cerai di pengadilan. Ia nampak bahagia merayakan perceraian. Keterangan memuat alasan pengakuan perempuan kerap dianiaya dan diselingkuhi suaminya. Maka, penjelasan lain dalam video berlanjut: “Ketika bercerai (perceraian) adalah jalan menuju kebahagiaan.”
Kita berhati-hati memberi simpulan apakah informasi dalam video valid atau tidak? Namun, jika benar, betapa cita-cita dan hikmah pernikahan masih sulit terwujudkan. Buktinya (dalam kasus tersebut) masih ada suami belum bisa membina rumah tangga dan memuliakan istrinya. Sebaliknya, suami malah menjadi sosok algojo kekerasan sekaligus tokoh di balik keretakan rumah tangga.
Peristiwa membawa pada pengertian bahwa perceraian ialah perkara yang syariat membolehkannya. Namun, betapa sebuah pernikahan jika masih bisa terpertahankan maka usaha itu tak perlu tertempuh. Lain hal manakala pilar rumah tangga sudah tak bisa kita pertahankan jalan itu mau tak mau mesti tertempuh.
Jalan Perceraian
Dalam pada itu, pernikahan yang berpotensi menyakiti pasangannya itu terlarang (baca; haram). Boleh jadi, jalan perceraian menjadi titik penghujung nadir seseorang agar terlepas dari sekelumit persoalannya. Adegan serupa terkisahkan dalam novel atau film Ketika Cinta Bertasbih 2 garapan Habiburrahman El-Shirazy.
Setelah berbulan-bulan menikah dengan Furqan Andi Hasan, Anna Althafunnisa belum pernah mendapat nafkah batin dari suaminya. Hingga pada suatu malam, Furqon mengajak Anna ke sebuah hotel. Di sana, Furqon mencurahkan alasan mengapa sosoknya tega menyiksa Anna berbulan lamanya.
Furqon tak ingin menodai istrinya karena ia mengidap HIV. Saat mendengar pengakuan itulah Anna meminta agar Furqon menceraikannya. Perceraian pun terjadi di malam itu. Hingga Kiai Luthfi—abahnya Anna—bertanya bagaimana mungkian kalian (Anna dan Furqon) mengambil jalan yang paling Allah benci? “Justru jalan ini ditempuh untuk mencari rida Allah, Bah! Akan terjadi kezaliman kalau pernikahan ini tetap dipertahankan,” jawab Anna disertai isak tangis di matanya.
Hukum Perceraian
Tarikan persoalan kompleks tadi mengarah pada bagaimana hukum perceraian sesuai syariat. Mahmud Junus dalam Hukum Perkawinan dalam Islam (1960) mengklasifikasi lima hukum perceraian: wajib, makruh, mubah (boleh), sunah, dan haram.
Menurut Mahmud, perceraian wajib tertempuh bilamana terjadi syikak (pertengkaran) antara suami-istri. “…kemudian diutus dua orang hakam (pendamai); tetapi kedua orang hakam itu gagal dalam usahanja dan tak ada djalan, selain dari bertjerai, maka ketika itu wadjib mendjatuhkan talak.” papar Mahmud.
Jika pertengkaran terus terjadi walau sudah menempuh jalan mediasi, maka jalan perceraian mesti terambil. Apalagi jika ilat perceraian melebihi dari sekadar pertengkaran; kekerasan dan selingkuh, misalnya. Bukan lagi wajib, melain wajib kuadrat. Bagaimana pun juga niat suci ikatan pernikahan bila ternodai penyengsaraan salah satunya wajib tersudahi.
Agama Menolak Kekerasan
Namun hal lain kadang tak terduga. Ada saja, tak sedikit korban (dalam konteks ini perempuan) kerap memaafkan pelaku kekerasan (suaminya sendiri). Padahal dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan (2021) KH. Husein Muhammad mengatakan Islam—dan semua agama serta seluruh pandangan kemanusiaan universal—hadir dan tampil untuk membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan, dan kebodohan di satu sisi, dan menegakkan keadilan, kasih-sayang, dan menyebarkan pengetahuan di sisi lain.
Siratan pesan Buya Husein, sapaan akrabnya, ialah bahwa agama sejatinya menolak pelbagai bentuk kekerasan. Apalagi dalam konteks keluarga, tak rasional misalnya jika suami kerap melakukan kekerasan pada istri dan anaknya. Terhadap orang terdekatnya saja berlaku demikian apalagi bersikap pada orang lain?
Walhasil, tindakan kekerasan dalam pernikahan sama sekali tak bisa termaafkan. Tak termafhumi. Itu adalah perlakuan fatal dan sang istri berkah lepas dari kekangannya melalui perceraian. Bagaimana pun juga menjaga diri (hifzu nafs) termasuk dalam maqashid syariah yang mesti lebih utama alih-alih terjebak dalam hubungan asmara menyakitkan. Mengacu pada kaidah usul fikih bahwa menolak mafsadah lebih utama alih-alih menerima kemaslahatan.
Barangkali dengan perceraian perempuan (dalam video di atas) tengah merajut harapan untuk kembali menuju jalan keadilan. Utamanya bagi pribadinya, lalu bagi keluarganya. Dalam konteks ini, layaknya resepsi pernikahan, perceraian mesti mendapat perayaan. Meminjam struktur kalimat puisi mendiang Joko Pinurbo: bahagia atau tidak, perceraian perlu dirayakan dengan secangkir kegembiraan. []