Mubadalah.id – Apa jadinya musim semi jika suara merdu burung-burung tiada? Bisakah pohon-pohon, tempat para penyanyi alam itu bernaung, membela diri sendiri di hadapan hukum agar tidak terbasmi?
Dua pertanyaan itu sudah muncul lebih dari setengah abad lalu. Adalah Rachel Carson yang pernah mengusik kita lewat bukunya The Silent Spring (1962). Satu dekade kemudian, Christopher D. Stone menyodorkan gagasan tentang hak pohon untuk tetap hidup dan merindang.
Itu ditulisnya lewat esai panjang berjudul Should Trees Have Standing? (1972). Dan di zaman sekarang, memoar berjudul Terra Viva karya Vandana Shiva menambah daftar perjuangan tersebut, hanya saja dari dimensi yang berbeda dan spesifik: aktivisme perempuan dalam menjaga-rawat lingkungan.
Fisikawan nuklir ini berangkat dari titik yang sangat personal. Vandana gelisah. Ia sadar kalau kepakaran ilmiah nyatanya bekerja lebih banyak melayani kapital dan menghancurkan alam. Sedangkan dirinya terpanggil untuk melayani alam dan masyarakat. Lewat buku inilah ia mengarsip sekaligus menganalisis multi-peristiwa beserta dinamika yang tumbuh di sepanjang persentuhannya dengan aneka ragam gerakan.
Melawan Terorisme Industrial
Buku ini mengisahkan betapa seorang elite dapat memilih jalan perlawanan. Alih-alih duduk rileks di sofa empuk dengan kebesaran namanya, perempuan yang masa kecilnya hidup di pedesaan ini justru menempuh ‘jalur polemis’. Namun, ada satu hal yang ia pegang teguh dalam perjuangan alot itu: non-kekerasan.
Shiva mendaraskan bagaimana prosesnya selama membersamai kaum perempuan untuk melawan perusakan lingkungan dalam aneka bentuk dan modus. Buku ini juga membuat pembaca lebih sadar akan adanya “terorisme industrial”. Suatu tindak kejahatan yang, ironisnya, kalah tenar dengan terorisme atas nama agama.
Padahal, Shiva menggarisbawahi, banyak tragedi pilu bertebaran di penjuru dunia itu merupakan tanggung jawab korporasi besar. Pabrik pestisida beracun Union Carbide, misalnya, menyemburkan gas beracun ke lingkungan dan menimbulkan 30 ribu orang tewas di Bhopal. Ini setara dengan “dua belas kali” peristiwa 9/11 yang masyhur itu (hlm. 18).
Ia pun merebut narasi dengan membongkar mitos-mitos kemajuan yang tersodorkan oleh paradigma industri eksploitatif. Baginya, akar dari banyaknya konflik dan kerusakan (sosial-ekologis-budaya) terletak pada level paradigmatik, yaitu memperlakukan alam sebagai objek. Ini imbas dari cara pandang patriarkis yang sarat dominasi dan berwatak penakluk.
Padangan demikian juga menganggap kesejahteraan itu tercipta hanya jika perusahaan mengomersialkan sumberdaya dan mengoptimalisasi pemanfaatan melebihi cara masyarakat lokal mengelolanya (hlm. 64). Di sinilah mitos kesejahteraan ekonomi-sentris menggadaikan keanekaragaman hayati.
Mitos kemajuan itu pula yang menggeser model pengelolaan alam yang berkelanjutan sekaligus sehat bagi masyarakat, berganti eksploitasi tanpa henti. Lewat memoar ini, Shiva mengkonter hal tersebut dengan pandangan ekofeminisme yang memperlakukan alam sebagai entitas hidup dan swareproduktif. Bahwa alam dapat mereproduksi dan menyembuhkan dirinya sendiri, selama kita beri jeda dan tidak diperkosa terus-menerus.
Sisi Gelap “Paten” dan Bio-imperialisme
Buku memoar ini menelanjangi wajah kemaruk yang destruktif dari banyak korporasi transnasional. Lengkap dengan data-data berupa angka uang, nama-nama, seteru-pandang, demonisasi aktivis, hingga penyerobotan lahan tertentu di berbagai penjuru dunia. Aneka modus operandi yang Shiva bongkar antara lain lewat “pembajakan kekayaan hayati” (biopiracy) dan “imperialisme kehidupan” (bioimperialism).
Yang pertama menyasar warga lokal dengan senjata pendaftaran “paten” oleh perusahaan. Buah inovasi masyarakat berupa benih tanaman hasil silang eksperimental yang telah tergarap kolektif dari generasi demi generasi—sehingga merupakan eksperimen anonim dan milik bersama—sangat rawan dibajak dan diakuisisi oleh korporasi yang rakus.
Libido akan laba ini, yang merupakan watak korporasi transnasional, berkelindan dengan pemanfaatan-jahat “sistem paten” demi mempermulus agenda perusakan mereka. Ini tak lain sebentuk pengerdilan rasis terhadap pengetahuan penduduk asli. Kondisi tersebut membuka pintu pada modus kedua: penjajahan gaya baru, yaitu bio-imperialisme.
Shiva menyadarkan betapa privatisasi dan sistem paten itu potensial menjadi senjata para “Kartel Racun”—sebutan darinya—untuk mengapropriasi semua kehidupan di planet ini sebagai milik pribadi mereka (hlm. 200). Risiko terdekatnya: semua benih dapat direkayasa secara genetik, lalu dipatenkan, dan menjadi illegal bagi para petani untuk menyimpan, mengolah, dan mendistribusikan itu.
Dan buku ini merekam bagaimana Shiva dan kaum perempuan di India beserta belahan dunia yang lain bekerja sama melawan upaya kerakusan destruktif tersebut.
Cermin
Menariknya, memoar Shiva ini tidak berhenti pada narasi perempuan sebagai korban. Melampaui itu, ia justru menebalkan agensi perempuan, terutama ibu-ibu dalam upaya pelestarian bumi, relasi kesalingterkaitan, dan etos kepedulian. Salah satunya terpendar pada gerakan Chipko memeluk pohon agar tidak ditebang korporasi.
Gerakan ini ternyata diinisiasi kaum perempuan—tidak seperti yang ramai tertulis media mainstream sebagai cetusan Sunderlal Bahuguna. Ini sebuah pelurusan sejarah yang amat penting: merekognisi peran yang tersembunyi, atau bahkan “disembunyikan” oleh budaya patriarkis.
Kita jadi teringat kisah ibu-ibu di Kendeng, Wadon Wadas di Purworejo, perempuan adat di Sorong Selatan, Manokwari, hingga perempuan penjaga tanah ulayat di Batak dan Kalimantan.
Singkat kata, memoar dengan mutu terjemahan apik Elisabet ini adalah “cermin” penting bagi warga Indonesia. Melaluinya, para aktivis, pemerhati, pendamping, dan masyarakat luas terutama generasi muda dapat lebih melek dan bersikap kritis dengan persoalan ekologis di tanah moyang sendiri—tanah yang hidup, bumi yang merasa: terra viva (ruang hidup) kita bersama—sambil terus menolak perusakan sistemik terhadapnya. []
Data Buku
Judul : Terra Viva: Kisah Hidupku dalam Keanekaragaman Gerakan
Penulis : Vandana Shiva
Penerjemah : Elisabet Repelita Kuswijayanti
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun terbit : Cetakan I, Mei 2024
Tebal : vi + 229 hlm.
ISBN : 978-602-0788-55-5