Mubadalah.id – Beberapa pasangan memilih membuat berbagai perjanjian dalam akad pernikahan. Baik yang mengikat salah satu pihak, maupun yang mengikat dua pihak sekaligus.
Dalam fiqh, perjanjian ini dikenal dengan syurut fi an-Nikah (Perjanjian Pernikahan). Perjanjian semacam ini dibolehkan selama tidak melanggar ajaran dasar Islam dan tidak menghapus hak-hak dasar dari pernikahan.
Bahkan beberapa ulama justru menganggap ini penting karena pernikahan menuntut kehati-hatian, sebagaimana dalam penjelasan oleh Syarifuddin dalam Hukum Perkawinan Islam dan Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Uqbah bin Amir ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Syarat-syarat (perjanjian) yang paling layak untuk kalian penuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan”. (HR. Bukhari).
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 sudah mengatur perjanjian pernikahan. Menyebutkan bahwa perjanjian ini dapat pasangan sahkan selama tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan.
Perjanjian tersebut mengikat sejak akad dan berlangsung selama perkawinan dan tidak dapat mereka ubah, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.
KHI juga mengatur lebih rinci hingga mengenai tata cara perjanjian tersebut, termasuk di antaranya adalah taklik talak. Tata cara ini memiliki tujuan memberikan perlindungan yang cukup kepada perempuan dari kemungkinan penelantaran yang banyak laki-laki lakukan.
Hanya saja karena bersifat kontraktual, maka perjanjian tersebut hanya berlaku bagi mereka yang mengikatkan diri dengan perjanjian tersebut. Artinya, tidak semua perkawinan harus dengan perjanjian perkawinan. []