Bulan baik untuk menikah masih berlangsung, tidak heran jika status WA maupun story IG kamu banyak muncul foto pernikahan baik dari teman, saudara hingga kamu sendiri yang melangsungkan pernikahan. Atau kamu mungkin sudah lelah ditanya ‘kapan nyusul?’, menikah memang bukan keputusan yang mudah, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan, selain mempertimbangkan calon pasangan, kamu mungkin khawatir tentang kebebasan setelah menikah kelak.
Misalnya “apakah aku masih bisa menyampaikan pendapatku, memutuskan atas hal yang aku impikan setelah menikah nanti?” “apakah semua keputusan rumah tangga akan dipegang oleh suami? Bolehkah aku ikut memberikan pendapat dan keputusan?”, “apakah suamiku mau bekerjasama dalam menghadapi proses kehamilan, melahirkan dan menyusuiku nanti?”
Tidak heran jika kamu mempunyai pertanyaan seperti itu ditengah masyarakat kita yang patriarkis. Sebagai antisipasi untuk menghadapi keganasan patriarki paska menikah, alangkah baiknya membangun relasi yang seimbang dengan calon pasangan, saling bertukar pikiran untuk mengetahui apakah dia mempunyai keinginan bekerjasama atau mendominasi.
Relasi yang setara antara suami istri akan menjadikan kamu akan tetap ada meskipun setelah menikah, pasangan menganggapmu sebagai manusia utuh yang pendapat dan keputusannya harus dipertimbangkan, saling terbuka untuk ditanya, bertanya ataupun dikritik tentang pemikiran dan sudut pandang tentang suatu hal, sehingga memutuskan berbagai hal secara bersama dengan musyawarah adalah hal yang sering kamu lakukan dengan pasangan.
Rasulullah Swt mencontohkan keseimbangan dan ketrbukaan komunikasi dengan istri, hal ini terekam dalam hadis sebagai berikut; Pertama, hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahihnya (No. 103), Imam Abu Dawud dalam Sunannya (No. 3095), Imam Turmudzi dalam Sunannya (No. 3660), dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (No. 25411, dan 25598).
Dari Ibn Abi Mulaikah, berkata: Bahwa Aisyah ra, Istri Nabi Saw, ketika mendengar apapun yang tidak dikenalnya, akan selalu bertanya memastikan agar ia memahaminya dengan benar. Ketika Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang dihisab, sekecil apapun ia pasti akan diazab”. Aisyah ra bertanya menegaskan “Bukankah Allah Swt berfirman bahwa orang mukmin juga akan dihisab dengan hisab yang ringan?”. Nabi Saw menimpali: “Itu hanya perjumpaan saja, tetapi barangsiapa yang diceburkan untuk sebuah perhitungan, pasti akan binasa.”
Hadis diatas menunjukkan adanya keterbukaan komunikasi antara Nabi saw dengan istri beliau, Aisyah ra, istri berhak menanyakan tentang apa yang tidak diketahui atau dipahami kepada suami, suami tidak perlu marah jika mendapatkan pertanyaan maupun kritik dari istri, begitupun jika istri mendapat pertanyaan ataupun kritik dari suami.
Jika Rasulullah Saw mencontohkan keterbukaan komunikasi dengan istri, adapun hadis yang menceritakan Umar bin Khattab ra yang mengekang istri beliau. Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (No. 4962) dan Imam Muslim dalam Sahihnya (No. 3765).
Dari Ibn Abbas ra, berkata: Bahwa Umar bin Khattab ra berkata: “Kami pada masa Jahiliyah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali, sehingga Allah menurunkan ayat untuk mereka dan memberikan hak-hak mereka. Ketika saya memiliki suatu pendapat tertentu, tiba-tiba istri saya menimpali: “cobalah berbuat yang ini atau yang itu”. Saya jawab “apa hakmu ikut campur pada hal-hal yang menjadi urusan saya. Ini terserah saya”. Sang istri menimpali: “Aneh kamu ini, anak Khattab, tidak mau menerima pendapat istri, padahal putrimu biasa bertukar pikiran dan mendebat bahkan sampai pernah membuat Rasul gundah seharian.” Umar langsung bergegas mengambil selendangnya dan masuk kamar Hafsah, sang putri dan istri Nabi Saw, berujar: “Putri ku, kamu biasa mendebat Rasulullah bahkan sampai ia gundah seharian?”. Hafsah menjawab: “Demi Allah, kami semua biasa mendebatnya.” (Shahih Bukhari).
Umar bin Khattab ra yang masih mengikuti tradisi jahiliyah dengan tidak menganggap pendapat perempuan sama sekali, setelah mengetahui kehidupan Rasulullah Saw, Umar bin Khattab ra berhenti merendahkan istrinya. Selain itu Rasulullah Saw juga meminta pendapat kepada istri atas penyelesaian masalah yang beliau alami, seperti yang terekam dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (No. 2770), Imam Abu Dawud dalam Sunannya (No. 2767) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (No. 19231).
Dari Miswar bin Makhramah ra: Ia mengisahkan perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah Saw selesai dari kontrak perjanjian itu (yang dianggap merugikan umat Islam), baginda berseru kepada sahabat-sahabatnya: “Bangunlah dan sembelihlah kurban-kurbanmu, lalu cukur rambut kamu”. Demi Allah, tidak ada satupun dari sahabat-sahabat Nabi Saw yang berdiri mengikuti perintah, sekalipun perintah itu diulang tiga kali. Setelah terlihat tidak ada satupun yang menunaikan perintah, Nabi Saw masuk ke kemah Umm Salamah sambil menceritakan pembangkangan ini. Umm Salamah ra berkata: “Wahai Nabi, apakah kamu ingin mereka melakukan hal itu? kamu keluar saja dari kemah, tidak perlu berbicara sepatah kata apapun kepada siapapun, kamu mulai saja menyembelih kurbanmu dan undang tukang cukur untuk memangkas rambutmu.” Ketika para sahabat melihat sendiri Nabi melakukan hal itu, merekapun berdiri, menyembelih kurban dan mencukur rambut mereka satu sama lain.” (Shahih Bukhari).
Ketiga hadis diatas sangat jelas tentang teladan Rasulullah Saw, bagaimana beliau bersikap pada istri, menganggap sebagai manusia utuh, mengajak berdiskusi, tidak tersinggung ketika menerima kritik dan masukan, begitupula jika istri mendapat kritik dan masukan dari suami, keterbukaan komunikasi dan kerjasama dalam relasi suami istri penting untuk menghargai kemanusiaan satu dengan yang lain. []