Mubadalah.id – Hampir tiap hari siaran berita menginformasikan kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua umur; anak-anak, remaja, hingga dewasa. Termasuk femisida menjadi kasus kejahatan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum dan paling banyak di dunia.
Dalam hitungan global, hampir satu dari tiga perempuan pernah menjadi korban kekerasan fisik dan seksual pasangan intim, kekerasan seksual pasangan maupun non pasangan yang terjadi sekali dalam hidup.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis kasus sebanyak 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023. Dengan jumlah kasus kekerasan psikis mendominasi dengan jumlah sebesar 3.498 atau 41,55%.
Menyusul kekerasan fisik sebesar 2.081 atau 24,71%, kekerasan seksual sebesar 2.078% atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi sebesar 762 atau 9,05%. Jumlah kasus yang signifikan tersebut berarti setidaknya seorang perempuan terbunuh setiap 10 menit. Tragedi ini semakin parah karena menyasar di berbagai tempat. Termasuk di rumah, tempat kerja dan ruang online, hingga paling buruk dari konflik dan perubahan iklim.
Berita kasus ekstremisme kekerasan terhadap perempuan yang terjadi membuat miris kabar dunia. Butuh pencegahan yang masif dan penanggulangan yang maksimal dalam persebaran kasus yang terjadi. Melihat ramainya kasus femisida kita bisa berkaca dari gigihnya pengalaman An’an Yuliati dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
An’an Yuliati adalah seorang pendiri Sekolah Perempuan yang berkontribusi memberdayakan perempuan dan anak. Sekaligus mengajarkan pesan dan nilai keberagaman yang teraplikasi dalam kesadaran bahwa menghormati perbedaan itu penting. Ia juga melakukan pendampingan pada korban kekerasan melalui pengintegrasian nilai dan pendekatan perdamaian yang efektif.
Kejahatan Kekerasan pada Perempuan Serupa Gunung Es
Beberapa waktu lalu kabar berita media dikejutkan dengan kasus perempuan yang dibakar oleh pacarnya di mana pelaku dan perempuan ini adalah sama-sama mahasiswa di Madura. Sebelumnya di Serdang Bedagai Sumatera Utara, pembunuhan pada korban perempuan terjadi oleh seorang istri yang dibunuh suaminya saat sedang siaran langsung karaoke dengan saudaranya di rumahnya sendiri lantaran cemburu.
Dua kasus ini adalah beberapa dari banyaknya kasus femisida yang sampai hari ini telah banyak terjadi, di mana perempuan jadi korban kejahatan oleh orang terdekat secara personal dan emosional.
Menyusul, kejahatan kekerasan terhadap perempuan juga menyasar pada anak perempuan. Dalam beberapa kasusnya adalah perkawinan anak dan kekerasan gender berbasis daring. Perkawinan anak yang terjadi antara korban dan pelaku dari tindakan orangtua adalah pilihan buruk.
Alih-alih ingin melepas dari praktik zina, justru hanya akan melanggengkan bentuk kekerasan yang bisa jadi terulang dan akan jauh dari kemaslahatan perkawinan. Dampak psikologis, trauma, maupun terampasnya hak kebebasannya sebagai anak menjadi kemungkinan buruk.
Belum lagi kasus kejahatan yang tidak terlapor oleh perempuan yang terpinggirkan keadaannya. Akses pendidikan dan informasi masih serba terbatas sebab masih banyak masyarakat yang tak memiliki internet dan perpustakaan. Sehingga, kasus kekerasan berbasis gender masih langgeng terjadi.
Tanggung Jawab Bersama adalah Kunci
Banyaknya kejahatan femisida didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan. Rasa memiliki perempuan, juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistis.
Jumlah kasus yang banyak bisa saja menjadikan femisida merupakan tindakan balas dendam yang seakan mereka bisa melakukannya. Penyebab lainnya adalah lantaran kurangnya pengetahuan hukum dan pemahaman gender pada masyarakat.
Melihat kenyataan yang terjadi, kita bisa rasakan di lingkungan sekitar kita misalnya, perempuan seakan seringkali menjadi sasaran empuk tindak kejahatan. Sebab mereka menganggap perempuan sebagai sosok kelas dua. Stigma lemah dan tidak berdaya menjadi alasan utama pelaku menyasar mereka, terlebih apabila posisinya jauh lebih tinggi.
Budaya patriarki yang mengakar pada masyarakat, ironisnya menjadi pedoman. Bahwa laki-laki memiliki kuasa lebih untuk jalan hidup perempuan. Sehingga bila tak meyakini hal tersebut, masyarakat akan menganggapnya berbeda dan terkucilkan. Bahkan menurut mereka telah melanggar norma budaya masyarakat.
Dalam tataran masyarakat lokal dan pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk membenahi keyakinan budaya yang ada. Edukasi pencegahan kekeraan berbasis gender dan kajian kesetaraan penting untuk memberi pemahaman atas kenyataan penuh dari permasalahan yang terjadi.
Dengan demikian di tataran global merupakan tanggung jawab bersama, baik pemegang kebijakan, aparat penegak hukum, akademisi, maupun masyarakat untuk membekali diri kesadaran pencegahan dan penanggulan kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan.
Solusi Pendekatan Perdamaian
Kasus kejahatan berbasis gender yang korbannya banyak menimpa perempuan. Di saat yang sama juga timbul semangat pada perempuan untuk berinisiatif melakukan pencegahan dan pemulihan lewat sekolah perempuan.
Kita sudah melihat kasus yang tersebar, maka kita juga perlu membaca bagaimana perempuan memiliki eksistensi dan kuasa untuk menanggulangi kasus dengan pemberdayaan patut untuk dilakukan. An’an Yuliati sebagai aktivis perempuan aktif melakukan pendampingan terhadap kasus korban kekerasan terhadap perempuan sekaligus pendiri sekolah perempuan.
Di satu kesempatan ia pernah menangani kasus pemerkosaan yang terjadi antara korban perempuan dengan pelaku dua laki-laki. Nahasnya, perempuan ini justru harus menikah oleh salah satu pelaku dari pilihan pihak keluarga.
An’an Yuliati mengetahui kasus ini dan memilih membantu menangani kasus dengan mengadakan dialog damai kepada perwakilan keluarga, tokoh lintas agama, dan beberapa tokoh komunitas. Dalam dialog itu ia memberi peraturan kepada beberapa orang tersebut sehingga dialog berjalan dengan baik.
An’an Yuliati sebagai mediator perdamaian menerapkan pendampingan dan penanganan kasus kekerasan seksual dengan melakukan pendekatan damai atau Reflective Stuctured Dialogue (RSD) yang mengedepankan pengalaman dan nilai personal dengan berupaya membangun empati dan rasa nyaman bagi setiap orang yang terlibat.
Dengan berorientasi pada korban sebagai upaya mencari titik temu juga dalam rangka menjaga kerukunan antar masyarakat membuktikan bahwa peran peace builders itu relevan dan kontekstual dilakukan tidak hanya berlaku pada daerah konflik.
Sementara hingga hari ini dan sepanjang peringatan 16 HAKTP Internasional 2024, femisida menjadi puncak kekerasan terhadap perempuan. Bukankah ini adalah ironi pelik yang perlu kita renungi dan perlu ciptakan ruang aman bagi perempuan serta membuka mata bahwa perempuan berhak untuk terus hidup?
Berkaca dari pengalaman An’an Yuliati dalam mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan dan melihat kasus femisida adalah dua hal yang penting diamati. Melalui perjuangan pendekatan perdamaian adalah salah satu upaya besar menciptakan harapan baik. []