• Login
  • Register
Rabu, 11 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kafa’ah bagi Penyandang Disabilitas dalam Perspektif KUPI

Dalam Islam, disabilitas tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan, baik di dunia maupun akhirat.

A.Rachmi Fauziah A.Rachmi Fauziah
26/02/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Kafa'ah bagi Penyandang Disabilitas

Kafa'ah bagi Penyandang Disabilitas

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Konsep kafa’ah bagi penyandang disabilitas berhasil memantik kesadaran saya. Hal ini lantaran pada praktiknya masih banyak problematika keagamaan yang belum merepresentasikan persepektif yang ramah terhadap penyandang disabilitas.

Hal tersebut bisa jadi karena keterbatasan concern sebuah lembaga pemerintah atau organisasi masyarakat yang belum mengakomodir isu ini. Oleh karena itu saya akan mencoba membaca persoalan ini melalui paradigma KUPI. Yakni martabat, adalah, dan maslahah.

Kafa’ah sebagai Realitas Sosial

Dalam wacana turats sebenarnya konsep sekufu ini berdasarkan pada sebuah hadis mashur riwayat Abu Hurairah ra bahwasanya Nabi berkata: “wanita dinikahi karena empat perkara, yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Carilah yang memiliki agama yang baik maka engkau akan beruntung”.

Atas dasar hadits tersebut hikmah dari kesepadanan ini dapat menjadi sarana terciptanya ketenangan, dan ketentraman. Selain itu  juga memungkinkan adanya penghargaan satu sama lain atas dasar kesusuaian aspek-aspek tersebut.

Sehingga jika ada aspek-aspek lain mampu menciptakan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut bisa untuk kita sepakati bersama.

Baca Juga:

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?

Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

Menurut penjelasan Buya KH Husein Muhammad bahwa hadis tersebut merupakan hadis yang bersifat kalam khabari bukan kalam insya’i (perintah). Narasi khabari hadir karena semangat zamannya masih menganggap pride kesukuan atau status sosial juga aspek fisik dan harta sebagai hal yang esensi.

Maka Islam hadir memberi barometer substansial yaitu agama menjadi puncak eksistensi manusia.

Melihat konteks sosio historis hadits tersebut, maka kafa’ah bukan hal yang begitu saklek lantaran preferensi setiap manusia untuk menciptakan kemasalahatan sangat beragam.

Demikian Kang Faqih melihat makna kesepadanan ini sebagai sebuah keselarasan tujuan hidup dalam rumah tangga. Di mana dalam rumah tangga ini tidak menuntut keselarasan secara sempurna di awal. Namun komitmen untuk berproses bersama mencapai tujuan pernikahan yang menjadi cita-cita bersama. Sebagaimana esensi pernikahan adalah tanggung jawab untuk saling melengkapi sesuai keadaan pasangan.

Al-Qur’an Menyapa Kaum Disabilitas

Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan dua kelompok disabilitas fisik. Yaitu tunanetra (‘amma atau umyun) dan tunadaksa (a’roj), dalam beberapa ayat seperti QS. Abasa 1-2, QS. An-Nur: 16, dan QS. Al-Fath: 17.

Terma-terma ini bukan sekadar deskripsi fisik, tetapi lebih pada pengakuan terhadap keberadaan mereka dalam masyarakat. QS. Abasa 1-2, misalnya, mengisahkan peringatan kepada Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pentingnya memberikan perhatian kepada kaum disabilitas. Sebuah pesan penting tentang penghargaan dan kesetaraan.

Selain itu, ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak membedakan antara individu berdasarkan kondisi fisiknya, melainkan menilai hati dan amal mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, disabilitas tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan, baik di dunia maupun akhirat.

Bahkan, agama menghargai perjuangan mereka dalam menghadapi keterbatasan fisik. Ini yang menjadi alasan untuk memberikan perhatian lebih kepada mereka dalam kehidupan sosial.

Paradigma KUPI Sebuah Jalan

Paradigma KUPI berupaya untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Yakni dengan memberikan ruang yang lebih inklusif bagi mereka dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk relasi keluarga.

Dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan pemberdayaan, KUPI mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan ramah dengan cara pandang martabat. Yakni menempatkan setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, pada posisi yang setara dalam derajat kemanusiaan.

Dalam perspektif ini, tolak ukur martabat seseorang tidak  berdasarkan atas kondisi fisik atau kemampuan tertentu. Melainkan pada haknya sebagai manusia yang memiliki nilai intrinsik yang tidak tergantung pada kekurangan atau kelebihan fisiknya.

KUPI menekankan bahwa semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk menikmati hak-hak dasar. Termasuk dalam konteks kafa’ah pernikahan yang tidak boleh sempit dan hanya melihat  aspek fisik atau status sosial semata.

Sebaliknya, kesepadanan seharusnya berdasarkan pada ‘adalah. Yaitu pemahaman bahwa semua manusia memiliki hak yang sama untuk memilih pasangan hidup yang akan mendampingi mereka dalam membangun keluarga yang sakinah, dengan saling menghargai, memahami, dan mencintai.

Lebih jauh lagi, paradigma KUPI mengedepankan prinsip maslahat. Yaitu tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama yang mencakup semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Dalam hal ini, pemberdayaan penyandang disabilitas dalam konteks pernikahan berarti memperhatikan kepentingan mereka secara holistik, menghapus stigma, dan memberikan dukungan sosial yang memadai.

Misalnya, kesetaraan dalam pernikahan bagi penyandang disabilitas bukan hanya tentang hak-hak legal, tetapi juga mengenai kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga tanpa adanya diskriminasi.

KUPI melihat bahwa pernikahan yang inklusif untuk penyandang disabilitas bukan hanya memberi mereka hak-hak dasar. Tetapi juga menciptakan ruang sosial yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua. Di mana perbedaan dipandang sebagai sumber kekayaan dan kekuatan, bukan sebagai hambatan.

Dengan prinsip-prinsip ini, KUPI berupaya mengubah pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dengan cara tidak lagi memandang mereka sebagai individu yang terbatas. Melainkan sebagai bagian integral dari masyarakat yang memiliki kontribusi berharga. []

 

Tags: Fiqh DisabilitasislamKafa'ah bagi Penyandang DisabilitasperkawinanRelasi
A.Rachmi Fauziah

A.Rachmi Fauziah

Terkait Posts

Disabilitas Rungu

Mengaji dalam Sunyi: Meneladani Ponpes Disabilitas Rungu Jamhariyah di Sleman

11 Juni 2025
Karhulta Riau

Karhulta di Riau: Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia dan Keberlanjutan Alam

10 Juni 2025
Dad's Who Do Diapers

Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?

10 Juni 2025
Bersukacita

Bersukacita dalam Membangun Perdamaian Dunia: Menilik Penggembalaan Apostolik Paus Leo XIV Bagi Dunia

10 Juni 2025
Haji yang

Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

9 Juni 2025
Kitab Hadis

Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

9 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kesetaraan yang

    Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Karhulta di Riau: Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia dan Keberlanjutan Alam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengaji dalam Sunyi: Meneladani Ponpes Disabilitas Rungu Jamhariyah di Sleman
  • Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)
  • Benarkah Ruang Domestik Menjadi Ruang Khusus Bagi Perempuan?
  • Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID