Mubadalah.id – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2024 angka pernikahan di Indonesia dalam satu dekade menurun sekitar 28,63 %. Beberapa Provinsi yang mengalami penurunan angka pernikahan di Indonesia di antaranya adalah Jawa Barat. Wilayah ini mengalami penurunan sebanyak 29.000, Jawa Timur mengalami penurunan sebanyak 13.000. Sedangkan Jawa Tengah sebanyak 21.000 dan DKI Jakarta mengalami penurunan sebanyak 4.000.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR Prof Dr Bagong Suyanto Drs MS.i, salah satu penyebab penurunan angka pernikahan adalah terbukanya peluang perempuan untuk mengembangkan potensi diri.
Menurunnya angka pernikahan di Indonesia sejalan dengan tingginya jumlah masyarakat yang memilih untuk tetap lajang. Adapun menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri pada Tahun 2024 jumlah masyarakat lajang di Indonesia mencapai 45 % dari total populasi.
Akan tetapi meskipun begitu masyarakat yang memilih lajang atau biasa kita sebut jomblo di Indonesia tidak jarang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Karena sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa pernikahan adalah bagian dari tahapan hidup yang harus setiap Individu jalani dengan standar sosial yang mengikat.
Misalnya, usia ideal pernikahan di Indonesia sering kali kita anggap berada di rentang 20-25 tahun. Jika melewati usia tersebut, perempuan kerap mendapat stigma sebagai “perawan tua.” Sedangkan laki-laki mendapat sebutan”bujang lapuk.”
Stigma terhadap individu yang memilih untuk tetap lajang tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari keluarga, lingkungan sosial, bahkan media. Tekanan sosial ini kerap membuat mereka merasa terasing atau tidak sesuai dengan ekspektasi norma yang ada. Lajang dan stigma sosial ini merupakan pilihan hidup yang sulit di tengah tekanan masyarakat.
Stigma Sosial Terhadap Lajang
Mereka yang belum menikah seringkali mendapatkan berbagai stereotip, di antaranya adalah :
Pertama dianggap tidak laku. Banyak orang beranggapan bahwa seseorang yang masih lajang pasti memiliki kekurangan, baik dari segi tampilan fisik, kepribadian, ekonomi bahkan kesehatan, sehingga mereka yang lajang kerap mendapat stigma tidak laku, karena dianggap memiliki kekurangan.
Padahal banyak individu yang memilih untuk tetap lajang karena masih menunggu pasangan yang benar-benar cocok. Pernikahan adalah sebuah pilihan yang akan kita jalani seumur hidup, maka dalam menentukan pasangan meminimalisir kekeliruan adalah keharusan.
Kedua, tidak jarang seseorang yang masih jomblo juga anggapannya terlalu mementingkan karir sehingga lupa dengan pernikahan. Akhirnya alih-alih karirnya kita apresiasi malah kita salahkan karena dianggap tidak memenuhi norma sosial yang ada. Di kegiatan reuni sekolah, tongkrongan judgment terhadap lajang selalu saja menjada pembahasan yang menarik.
Ketiga dianggap tidak bahagia. Sebagian masyarakat sering mengukur standar bahagia tidaknya seseorang dari pernikahan. Orang yang menikah kita anggap kebahagiaanya lengkap. Sedangkan yang masih lajang kita anggap kesepian dan tidak bahagia. Padahal banyak individu yang lajang memiliki kehidupan yang bahagia, karena pada dasarnya kebahagiaan datangnya dari dalam diri.
Keempat menjadi sasaran bercandaan. Seringkali seseorang yang lajang menjadi bahan bercandaan, diberikan berbagai pertanyaan kapan dan kenapa, dianggap bisa menikah dengan siapa saja. Meskipun terlihat ringan, candaan semacam ini bisa menjadi beban psikologis, terutama ketika terus kita ulang-ulang.
Kelima hubungan pertemanan dengan lawan jenis yang sering kali dianggap romantis. Salah satu tantangan bagi individu lajang adalah sulitnya menjalin pertemanan dengan lawan jenis tanpa menimbulkan asumsi tertentu. Setiap interaksi sering kali diinterpretasikan sebagai tanda ketertarikan romantis. Baik oleh orang lain maupun oleh pihak yang terlibat dalam pertemanan tersebut. Hal ini dapat membatasi ruang gerak dan kebebasan dalam berinteraksi sosial.
Lalu Mengapa Seseorang Memutuskan Untuk Lajang?
Seseorang yang masih lajang atau memutuskan untuk menunda pernikahan, tentu beragam sekali alasan yang melatarbelakanginya. Tidak bisa kita generalisir. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi alasan seseorang memutuskan untuk melajang atau menunda pernikahan adalah:
Pertama fokus pada cita-cita dan pengembangan diri. Pernikahan adalah sebuah pilihan hidup yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan karena dalam prosesnya kita melibatkan orang lain, bahkan dua keluarga. Maka dalam pilihan tersebut memastikan kematangan finansial, emosial, dan spiritual harus kita maksimalkan agar tujuan pernikahan sakinah mawaddah warahmah bisa terwujud.
Salah satu cara mewujudkan keluarga Sakinah mawaddah warahmah adalah dengan fokus terlebih dahulu terhadap cita-cita dan pengembangan diri. Oleh karena itu dengan fokus terhadap hal tersebut maka bisa membentuk kematangan emosional dan mental, serta kemandirian finansial.
Pernikahan yang Sehat
Selain itu memiliki identitas diri yang kuat sehingga ketika membangun rumah tangga akan menjalani pernikahan yang sehat. Saling melengkapi yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan. Tentu akan banyak melahirkan kemaslahatan bagi keluarga dan bahkan lebih banyak orang.
Kedua adalah belum menemukan pasangan yang tepat. Tidak jarang seseorang yang masih lajang bukan karena tidak ingin menikah atau tidak siap menikah. Akan tetapi karena belum menemukan pasangan yang tepat. Ini kerap terjadi kepada perempuan-perempuan yang sudah mandiri secara finansial dan matang secara karir.
Kepintaran dan kemandirian mereka kerap kali dicap sebagai perempuan yang “terlalu.” Sehingga dihubungkan dengan laki-laki minder dan lain sebagainya. Selain itu juga ada individu yang mudah menemukan pasangan dan ada individu yang sebaliknya. Maka menghakimi Perempuan atau siapun individu yang lajang karena status kelajangannya adalah sesuatu yang bisa melukai individu yang bersangkutan.
Selain karena alasan fokus pada pengembangan diri dan belum menemukan pasangan yang tepat, alasan seseorang untuk lajang atau menunda pernikahan adalah karena dia seorang sandwich generation yang memiliki tanggung jawab. Yakni tidak hanya pada diri sendiri tapi juga keluarganya, sehingga menunda pernikahan menjadi pilihan dalam hidupnya. Tujuannya agar bisa fokus membantu keluarga, sambil menyiapkan kehidupan yang lebih baik.
Kelima memiliki pengalaman buruk di hubungan sebelumnya, di Media Sosial atau di lingkungan sosial, sering kali kita menyaksikan kisah romantis individu yang gagal. Seperti misal ada yang sudah berhubungan 7 (tujuh) tahun dan menuju pernikahan tapi tiba-tiba memutuskan untuk berpisah.
Kemudian ada yang dua hari menuju pernikahan tiba-tiba pernikahannya dibatalkan. Ada yang ikhtiar menemukan pasangan dengan taaruf tapi setiap proses taarufnya gagal karena belum memiliki value yang sama. Maka dari itu mengajukan pertanyaan kapan dan kenapa terus menurus kepada individu yang lajang tidak bijak. Karena kita sungguh tidak tau bagaimana kerumitan yang setiap individu lalui ketika berproses menemukan pasangan.
Mengubah Paradigma Terkait Lajang
Lalu dengan cara apa agar kita bisa menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk setiap lajang yang ada di sekeliling kita? Yang harus kita lakukan adalah mengubah cara pandang atau paradigma terkait lajang tersebut. Di antaranya dengan cara :
Pertama menghargai pilihan hidup orang lain. Setiap orang memiliki pengalaman hidup, pengalaman sosial, pengalaman spiritual yang berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut akan melahirkan pilihan hidup yang berbeda pula.
Maka dari itu menghargai pilihan hidup orang lain adalah sebuah keharusan. Termasuk individu yang memutuskan untuk menunda atau tidak memiliki pasangan. Karena dalam pilihan yang mereka pilih berdasarkan beragam alasan, salah satunya memandang dunia orang lain atas pengalaman pribadi yang kita alami adalah sebuah kekeliruan.
Kedua menghindari candaan yang merendahkan. Dalam budaya masyarakat kita, bercanda seringkali menjadi salah satu cara untuk membangun keakraban atau menjadi pembuka percakapan. Namun tidak jarang justru bercandaan yang kita tunjukan kepada individu yang lajang mengandung unsur menyudutkan atau bahkan merendahkan.
Ungkapan basa-basi seperti halnya “Kapan nikah?”, “Jangan pilih-pilih nanti keburu tua”, “jangan terlalu fokus berkarir.” Seringkali kita anggap bercandaan ringan. Padahal jika terus menerus kita katakan maka akan menjadi bentuk tekanan sosial yang tidak kita sadari. Bahkan bisa mengganggu kesehatan mental seseorang.
Alih-alih menjadi sebuah bentuk perhatian, candaan tersebut hanya akan memperkuat stigma bahwa hidup lajang adalah sesuatu yang kurang. Maka dari itu memiliki empati jauh lebih penting agar bisa saling menghormati dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif bagi siapapun. []