Mubadalah.id – Fiqh Shiyam merujuk pada kajian hukum mengenai ibadah puasa dalam Islam, memiliki kedalaman makna dan aturan yang sangat penting bagi umat Muslim. Salah satu ulama yang memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan fiqh ini adalah Syeikh Hasan Hitou. Dalam pandangannya, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Tetapi juga merupakan sarana untuk mencapai ketakwaan kepada Allah SWT.
Dalam bahasan ini, kita akan mengupas tentang kewajiban puasa menurut Al-Qur’an. Lalu ketentuan puasa bagi golongan tertentu seperti non-Muslim, anak-anak, dan orang gila. Selain itu, bagaimana penetapan bulan Ramadan kita lakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip fiqh shiyam. Baik melalui rukyat (melihat hilal) maupun hisab (perhitungan astronomi), sesuai dengan ajaran yang Syeikh Hasan Hitou sampaikan.
Fiqh Shiyam, yang merupakan cabang ilmu fiqh yang membahas tentang puasa, mengajarkan banyak aspek terkait pelaksanaan ibadah puasa. Termasuk dasar-dasar syariat, hukum, dan tata cara berpuasa. Syeikh Hasan Hitou, seorang ulama besar dalam fiqh shiyam, menjelaskan bahwa puasa adalah kewajiban yang sangat penting bagi setiap Muslim yang sudah baligh dan berakal. Sebagaimana penjelasan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 183.
Kewajiban Puasa dalam Islam: Landasan Al-Qur’an dan Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitou
Dalam pandangannya, puasa memiliki makna yang sangat mendalam, tidak hanya sebagai ibadah yang menahan makan dan minum. Tetapi sebagai sarana untuk mencapai ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan yang dimaksud adalah kondisi di mana seorang Muslim selalu taat kepada perintah Allah. Lalu, menjauhi larangan-Nya, dan selalu berusaha memperbaiki dirinya dalam segala aspek kehidupan.
Syeikh Hasan Hitou juga menekankan pentingnya pemahaman mengenai makna puasa itu sendiri. Puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum. Tetapi juga harus kita sertai dengan peningkatan kualitas diri dalam aspek lain. Seperti menjauhi perkataan buruk, menjaga pandangan, dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Hal ini selaras dengan tujuan utama dari ibadah puasa yang al-Qur’an jelaskan, yaitu untuk mencapai ketakwaan.
Selain itu, Syeikh Hasan Hitou menyoroti pentingnya ibadah puasa ini sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, terutama di bulan Ramadan. Seperti penjelasan dalam surah al-Baqarah ayat 185, bulan Ramadan adalah bulan yang sangat mulia. Di mana di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.
Puasa di bulan ini bukan hanya kewajiban, tetapi juga merupakan kesempatan bagi setiap Muslim untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah mereka. Fiqh Shiyam menurut Syeikh Hasan Hitou memandang puasa sebagai bagian dari upaya spiritual yang lebih besar untuk menjadikan seseorang lebih dekat dengan Allah dan lebih baik dalam menjalani kehidupan.
Ketentuan Puasa bagi Non-Muslim
Syeikh Hasan Hitou juga membahas dengan rinci mengenai ketentuan puasa bagi non-Muslim, anak-anak, dan orang gila dalam kajian fiqh shiyam. Dalam pandangan beliau, meskipun syariat Islam tidak mewajibkan puasa bagi non-Muslim, mereka tetap akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka di akhirat.
Syeikh Hasan Hitou menjelaskan bahwa meskipun puasa yang non-Muslim lakukan tidak sah dalam syariat Islam, mereka akan tetap mendapatkan ganjaran atau hukuman di akhirat berdasarkan niat dan usaha mereka. Namun, karena syarat utama puasa adalah berstatus sebagai seorang Muslim, maka puasa yang non-Muslim lakukan tidak terhitung sebagai ibadah yang sah menurut syariat.
Bagi anak-anak, fiqh shiyam menurut Syeikh Hasan Hitou berpendapat bahwa mereka tidak wajib untuk berpuasa sampai mencapai usia baligh. Namun, ia menganjurkan agar orang tua mulai melatih anak-anak mereka berpuasa sejak usia 7 tahun.
Dalam hal ini, Syeikh Hasan Hitou menekankan pentingnya pendidikan sejak dini dalam melaksanakan ibadah, termasuk puasa. Puasa bagi anak-anak pada usia tersebut lebih bersifat sebagai latihan. Yakni untuk membiasakan mereka dalam menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran.
Puasa bagi Anak-anak dan Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODDP)
Selain itu, Syeikh Hasan Hitou juga mengingatkan agar puasa bagi anak-anak yang sudah mencapai usia mumayyiz. Yakni yang mampu membedakan yang baik dan buruk, dapat mereka lakukan dengan niat dan semangat yang ikhlas. Hal ini juga selaras dengan anjuran Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan cara yang baik. Yaitu dengan memberikan pendidikan agama sejak usia dini.
Puasa bagi anak-anak yang sudah baligh menjadi sah dan mendapatkan ganjaran, namun bagi yang belum mencapai usia baligh, puasa mereka tidak diwajibkan. Namun tetap kita berikan penghargaan jika mereka melakukannya.
Bagi ODDP, Syeikh Hasan Hitou mengutip pandangan para ulama yang menyatakan bahwa orang yang kehilangan akal atau berada dalam keadaan dengan disabilitas psikososial tidak diwajibkan berpuasa. Sebab, seperti halnya dengan anak-anak, amal perbuatannya tidak tercatat oleh malaikat selama ia berada dalam keadaan gila.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi riwayat Imam Ahmad dan yang lainnya, yang menyatakan bahwa amal perbuatan bagi orang yang tidur, anak-anak yang belum baligh, dan orang dengan disabilitas psikososial terangkat. Oleh karena itu, DPDP tidak terbebani kewajiban berpuasa. Sebagaimana mereka juga tidak terbebani kewajiban ibadah lainnya.
Penetapan Ramadan: Rukyat dan Hisab dalam Perspektif Fiqh Shiyam
Penetapan awal bulan Ramadan menjadi hal yang sangat penting dalam fiqh shiyam, karena puasa hanya sah jika kita mulai pada awal bulan Ramadan yang benar. Dalam pandangan Syeikh Hasan Hitou, penetapan awal bulan Ramadan harus melalui dua cara yang terakui dalam syariat. Yaitu rukyat (melihat hilal) dan hisab (perhitungan astronomi).
Menurut Syeikh Hasan Hitou, rukyat adalah cara yang lebih utama dan kita utamakan dalam menentukan awal Ramadan. Alasannya karena syariat Islam mengharuskan umat Islam untuk melihat hilal sebagai tanda masuknya bulan baru. Jika hilal terlihat pada malam ke-30 Sya’ban, maka bulan Ramadan kita mulai keesokan harinya.
Jika hilal tidak terlihat karena faktor cuaca atau langit mendung, maka bulan Sya’ban kita sempurnakan menjadi 30 hari, dan puasa kita mulai pada hari berikutnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam fiqh shiyam, yang mengharuskan rukyat untuk memastikan awal bulan Ramadan.
Namun, Syeikh Hasan Hitou juga memahami bahwa dalam beberapa kondisi, perhitungan ilmiah (hisab) dapat kita gunakan sebagai alat bantu untuk memprediksi kapan bulan Ramadan akan dimulai. Meskipun demikian, beliau menekankan bahwa hasil perhitungan ilmiah harus tetap berdasarkan pada rukyat, yaitu kesaksian dari umat Islam yang adil.
Utamakan Kesaksian Hilal
Dalam hal ini, fiqh shiyam mengutamakan kesaksian dari individu yang melihat hilal. Jika seseorang yakin telah melihat hilal, maka ia wajib berpuasa, meskipun masyarakat umum tidak diwajibkan berdasarkan kesaksiannya.
Syeikh Hasan Hitou juga menegaskan bahwa setiap umat Islam yang mampu melihat hilal dan yakin dengan penglihatannya harus melaksanakan puasa. Bahkan jika hanya dirinya sendiri yang melihatnya.
Namun, kesaksian dari saksi yang adil dan dapat kita percaya tetap menjadi dasar yang paling kuat dalam menentukan awal bulan Ramadan. Alasannya karena kesaksian yang tidak adil atau tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak dapat kita jadikan dasar untuk penentuan puasa umat Islam secara umum.
Dengan demikian, baik rukyat maupun hisab memiliki peranan penting dalam penetapan awal bulan Ramadan. Tetapi keduanya harus kita jalankan sesuai dengan prinsip-prinsip fiqh shiyam yang telah tergariskan oleh para ulama. Termasuk pandangan Syeikh Hasan Hitou yang selalu mengutamakan kesaksian yang sah dan adil dalam menentukan waktu puasa. []
Sumber: Dr. Hasan Hitou. Fiqh Shiyam. Beirut: Daar al-Basyar al-Islamiyah. 1988.