Mubadalah.id – Pemikiran Islam di abad modern semestinya memberikan arah paradigma yang lebih inklusif terhadap kajian fikih. Sebab, banyak persoalan umat muslim yang harus terselesaikan dengan pendekatan fikih sebagai landasan ontologis.
Jika produk pemikiran (fikih) tersebut tidak bersandar pada keberpihakan kelompok minoritas, dalam kondisi tertentu, fikih bisa memberikan efek disparitas. Oleh karena itu, fikih semestinya tidak hanya membahas persoalan agama saja, tetapi juga membahas isu-isu kemanusiaan seperti persoalan disabilitas.
KH. Husein Muhammad menulis buku berjudul Memahami Cita-cita Teks Agama: dari Konservatisme ke Progresivisme, dari Tekstualisme ke Kontekstualisme (2024). Pada halaman 28, Buya Husein menjelaskan pentingnya “Menemani Minoritas”. Sebab kata tersebut mewakili orang-orang yang mengalami subordinasi, marjinalisasi, dan diskriminasi secara sosial. Kata minoritas ini juga merepresentasikan kelompok penyandang disabilitas yang sering kali tereduksi secara hukum (fikih).
Oleh sebab itu, fikih menjadi landasan utama agar umat muslim dapat memahami pentingnya kesetaraan dan inklusivisme dalam beribadah dan bersosial. Kebanyakan orang pada umumnya, perspektif tentang beribadah hanya sebatas kepentingan individu dengan aspek keberadaan Tuhan yang paling utama (teosentrisme).
Namun, sebagian umat muslim melupakan betapa pentingnya beribadah juga mengedepankan keutamaan saling membantu dan menghargai sesama umat manusia sebagai makhluk sosial (antroposentrisme).
Kedua paradigma tersebut secara tidak langsung memunculkan dikotomi pemikiran yang acap kali mempangaruhi berbagai produk fikih yang berkembang. Namun, jika mencermati pemikiran Buya Husein, paradigma fikih inklusif- antroposentrisme inilah yang lebih cocok sebagai pendekatan kontekstual dalam memahami berbagai isu dan problematika penyandang disabilitas, baik dalam ruang lingkup muamalah (tata pergaulan), siyasah (kebijakan publik), dan ahwalusy syahsiyah (perdata Islam/pernikahan dan keluarga).
Landasan Historis
Terdapat landasan historis yang tersampaikan Buya Husein melalui hadis Nabi Muhammad SAW. untuk melihat kedekatan kata “minoritas” dengan “penyandang disabilitas”. Nabi pernah menerima pertanyaan dari seseorang dalam berdiskusi, “Jika aku ingin bertemu lagi denganmu, di mana aku menemui?” Nabi menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hatinya terluka” (hlm.28).
Dari penjelasan singkat hadis Nabi Muhammad SAW. di atas kita dapat mengetahui, bahwa Nabi hadir di tengah-tengah kelompok minoritas (mustad’afin atau madzlumin). Nabi menjadi pengayom, pelindung, dan menjadi “rumah” aman bagi kelompok minoritas di masa itu.
Sebab apa yang mereka rasakan sering kali terabaikan, baik hak-haknya serta keberadaannya dari sebagian orang pada umumnya. Keresahan tersebut Nabi utarakan agar menjadi pengingat untuk umat muslim agar mengerti betapa pentingnya memperjuangkan kesetaraan, fikih, dan nilai-nilai kemanusian.
Oleh sebab itu kita pun memahami, bahwa narasi ketidaksetaraan sering kali tersematkan kepada teman-teman disabilitas. Mereka sering mendapatkan diskriminasi dari berbagai aspek kehidupan, baik dalam pendidikan, agama, budaya, politik, ekonomi dan sosial. Pernyataan ini tidak hanya sekadar asumsi, melainkan dari pembacaan buku Muhammad Khambali berjudul Disabilitas & Narasi Ketidaksetaraan (2025).
Muhammad Khambali merupakan penulis sekaligus pengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta. Ia mengutarakan keresahannya selama ia menjadi pendamping teman-teman difabel melalui tulisan-tulisannya. Tulisan Khambali banyak menyampaikan kritik dalam persoalan aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam ranah pendidikan.
Perlunya Kesetaraan
Khambali menulis “Kita menginginkan kehadiran sekolah inklusi dapat melesap pelbagai cap yang tersematkan kepada anak-anak difabel. Memisahkan sekolah untuk anak-anak difabel dan menyembunyikan perbedaan hanya akan menumbuhkan benih-benih sikap intoleransi dan diskriminatif pada anak-anak.
Ruang kelas adalah laboraturium kehidupan anak-anak. Ruang kelas semestinya menjadi tempat berbagai nilai kemanusiaan agar tertanamkan. Di situlah semua dapat belajar bersama tentang inklusif dan merayakan perbedaan” (hlm.23).
Khambali memberikan informasi secara empiris tentang pentingnya berbagi ruang, rasa, dan pengetahuan berkaitan hak penyandang disabilitas. Anak-anak yang lahir berkebutuhan khusus harus memiliki akses serta pandangan yang setara untuk memperoleh ruang pendidikan yang memadai dari negara.
Mereka juga memiliki potensi akademik yang tidak boleh kita ragukan. Sebab jika kita memandang sebelah mata, tindakan tersebut sama saja merendahkan martabat makhluk yang Tuhan ciptakan!
Kesadaran dan harapan atas kesetaraan yang terutarakan Khambali dalam bukunya memberikan penjelasan yang amat mendalam. Bahwa kesadaran pentingnya inklusivisme dalam ruang pendidikan, agama, sektor ekonomi, politik, sosial, dan budaya amat penting dalam membangun komitmen untuk menciptakan kesadaran kesetaraan dan tentunya pandangan fikih yang sering memiliki otoritas keagamaan.
Fikih disabilitas semestinya memiliki pandangan yang amat komprehensif terhadap persoalan yang sering kali penyandang disabilitas hadapi. Tentu pemahaman terhadap fikih tidak hanya berarti sebagai dasar hukum semata, tetapi yang paling penting ialah implementasi dari produk fikih yang maslahat.
Fikih memang produk pemikiran dari ahli hukum yang dikembangkan dalam menjawab problematika sosial. Seiring berkembangnya zaman, turut mempengaruhi beragam pemikiran fikih yang dihasilkan terkadang menimbulkan otoritas keagamaan yang disalahpahami. Oleh sebab itu, fikih harus mengedepankan aspek progresivitas serta mencermati ruang keterbukaan cara pandang fleksibilitas, terutama dalam fikih disabilitas.
Fikih Progresif
Pada 2018, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembang Pesantren dan masyarakat (P3M), Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD-UB) menulis buku berjudul Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas (2018). Buku tersebut merekam penjelasan penting bagaimana cara pandang fikih yang berpihak terhadap penyandang disabilitas.
Kita dapat menyimak dari kata pengantar; “problem yang sering kali penyandang disabilitas hadapi ialah cara pandang. Secara umum, cara pandang terhadap disabilitas mendominasi oleh cara pandang mistis dan cara pandang naif.
Cara pandang mistis adalah cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas adalah takdir dari Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah seseorang memiliki keterbatasan atau tidak. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya. Sebagian beranggapan bahwa disabilitas adalah aib atau bahkan kutukaan” (hlm.vi).
Sedangkan cara pandang naif melihat bahwa disabilitas adalah akibat dari adanya infeksi penyakit, kecelakaan, keturunan, atau penuaan. Namun dari dua perspektif tersebut sebenarnya bermuara pada cara memahami disabilitas yang selalu menjadi inferior. Yaitu menempatkan disabilitas pada posisi lemah dan tidak berdaya.
Cara pandang atau perspektif inilah yang kemudian harus diubah, dengan menempatkan asas kesetaraan dan keadilan hadir di tengah-tengah mereka.
Penekanan fikih disabilitas semestinya tidak sekadar memberikan informasi terhadap tuntunan beribadah yang dilakukan penyandang disabilitas semata. Fikih disabilitas harus bergerak jauh terutama implementatif cara pandang (perspektif) kesetaraan, aksesibilitas, dan akomodasi yang layak di sektor-sektor rumah ibadah (masjid) dan ruang pendidikan.
Ruang tumbuh kembang bersama harus dilengkapi fasilitas untuk menunjang intelektualitas penyandang disabilitas agar meminimalisir cara pandang superior dari non-disabilitas. Dari situ kita akan yakin, bahwa fikih disabilitas yang progresif adalah benar-benar yang menyampaikan suara-suara minoritas atas kebijakan yang tidak berpihak. []