• Login
  • Register
Rabu, 14 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Diam yang pahit, diam yang sarat dosa bahkan nestapa—karena kekuasaan tanpa keberpihakan adalah pengkhianatan yang nyata.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
11/05/2025
in Rekomendasi, Sastra
0
Pekerja Rumah Tangga

Pekerja Rumah Tangga

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Murni berdiri di depan pintu rumah kontrakan, memegang kantong belanjaan majikannya. Wajahnya letih, rambutnya basah oleh keringat meski senja sudah turun. Di dalam rumah yang pengap, Rara—anak semata wayangnya—berusaha keras mengerjakan PR sekolah sambil mengipas adiknya yang sedang panas tinggi.

Jam dinding sudah menunjuk pukul delapan malam. Murni baru pulang setelah bekerja sejak fajar menyingsing. Hari-hari seperti ini sudah bertahun-tahun dijalaninya. Ibunya dulu juga pekerja rumah tangga. Jalan hidup yang tampaknya diwariskan begitu saja tanpa sempat dipertanyakan.

“Yang penting halal,” kata ibunya dulu, dan kini Murni mengulang kalimat yang sama, meski dalam hatinya, ada jeritan yang tak pernah padam: “Jangan sampai anakku seperti aku.”

Namun kenyataan berbicara lain. Upah jauh dari UMR, tanpa kontrak yang jelas, tanpa jaminan kesehatan atau hak cuti. Jika sakit, tetap harus bekerja. Jika tak kuat lagi, langsung diganti tanpa pesangon, tanpa ucapan terima kasih.

Suatu malam, tubuh Murni tumbang di rumah majikannya. Dilarikan ke rumah sakit, namun sudah terlambat. Paru-parunya rusak, tubuhnya kalah oleh kelelahan yang menumpuk bertahun-tahun.

Baca Juga:

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Hari Buruh dan Luka Pekerja Rumah Tangga: Sampai Kapan RUU PPRT Dibiarkan Menggantung?

Urgensi Pengesahan RUU PPRT di Hari Buruh

Refleksi May Day: Sudahkah Pemerintah Indonesia Berpihak Pada Buruh?

Di rumah duka yang sederhana, Rara memandangi jasad ibunya dengan mata kosong. “Aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” bisiknya pada seorang kerabat yang memeluknya erat.

***

Di gedung parlemen, seorang anggota DPR memandangi layar ponselnya. Berita tentang Murni terpampang jelas: PRT meninggal akibat kelelahan, meninggalkan dua anak yang terlantar. Di bawahnya, berita lain muncul—tentang RUU Perlindungan PRT yang lagi-lagi tertunda pembahasannya.

Tangannya mengepal. Dia teringat percakapan beberapa bulan lalu dengan seorang konstituen yang menceritakan nasib saudaranya, seorang PRT yang hidup tanpa perlindungan hukum sedikit pun.

Hari itu, anggota DPR itu berdiri di tengah sidang, memegang map tebal RUU Perlindungan PRT, dan dengan suara lantang, ia meminta agar pembahasan segera diprioritaskan. Sorak sorai menyambut, ketok palu akhirnya menggema. Di layar berita malam itu, terpampang wajah-wajah bahagia PRT yang akhirnya merasa terakui dan terlindungi.

Namun suara alarm mendadak membuyarkan semuanya.

Anggota DPR itu terbangun dengan keringat dingin. Nafasnya memburu. Ia melirik meja di samping ranjang—di situ map RUU Perlindungan PRT masih tergeletak, utuh, belum ia sentuh lebih jauh. Di layar ponselnya, pesan terbaru dari kolega parlemen: “Bahas RUU PRT? Belum prioritas, Bro. Fokus dulu ke yang lain, arah pimpinan juga belum jelas.”

Dia memejamkan mata, dada sesak. Mimpi yang barusan hadir begitu nyata—tapi ternyata hanya mimpi. Realitasnya jauh lebih keras: rekan-rekan sesama anggota parlemen, para ketua partai, bahkan pemerintah sendiri, tak benar-benar memperlihatkan keberpihakan yang serius.

Di meja kerjanya, ia duduk terpaku, memandangi map RUU yang kini terasa semakin berat. Bagaimana menyadarkan mereka semua? pikirnya. Bagaimana memaksa nurani untuk berbicara di ruang-ruang kekuasaan itu?

Tak ada jawaban malam itu. Hanya buntu yang makin menyesakkan.

Di luar, fajar mulai menyingsing. Dan entah di sudut mana kota ini, seorang Rara yang lain tengah bersiap menggantikan ibunya—memulai lagi lingkaran pekerja rumah tangga yang tak kunjung putus.

***

Di dalam ruang kerjanya yang hening, sang anggota dewan menggenggam map RUU itu erat-erat. Matanya kosong menatap halaman-halaman yang penuh dengan janji-janji perlindungan yang tak kunjung ditepati. Kegetiran menggulung di dadanya—karena sesungguhnya, bukan hanya dia yang gagal.

Ia tahu, dirinya, kawan-kawan di parlemen, para ketua partai, dan terutama pimpinan DPR serta para menteri di kabinet, bahkan presiden yang selalu berbicara tentang keadilan sosial—mereka semua telah membiarkan lingkaran setan ini terus berputar. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas setiap Murni yang tumbang, atas setiap Rara yang kehilangan masa depan, atas setiap pekerja rumah tangga yang hidup tanpa perlindungan.

Dan pagi itu, satu-satunya yang tersisa hanyalah diam. Diam yang pahit, diam yang sarat dosa bahkan nestapa—karena kekuasaan tanpa keberpihakan adalah pengkhianatan yang nyata. Dia merasakanya, serasa-rasanya. []

 

Tags: cerita pendekparlemenPekerja Rumah Tanggaperempuan bekerjaRUU PPRTSenayan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Kebebasan Berekspresi

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

13 Mei 2025
Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version