• Login
  • Register
Selasa, 13 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

Mahasiswi ITB berinial SSS adalah representasi perempuan muda yang berani mengungkapkan kritiknya pada pemerintah.

Ni'am Khurotul Asna Ni'am Khurotul Asna
13/05/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Kebebasan Berekspresi

Kebebasan Berekspresi

658
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa kasus korban kriminalisasi UU ITE telah mengancam kebebasan berekspresi masyarakat. Kasus yang baru saja terjadi adalah mahasiswa ITB Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) berinisial SSS. Ia menjadi tersangka karena menyebarkan meme Prabowo-Jokowi.

Meme yang merupakan modifikasi foto dengan bantuan AI yang viral di media sosial ini kemudian memunculkan praktik sewenang-wenang polisi untuk menangkap mahasiswi tersebut. Banyak para ahli hukum maupun akademisi kemudian merespon dan mengkritik aksi penangkapan polisi kepada mahasiswi tersebut.

Salah satunya, mengutip ungkapan Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang merespon dengan sigap beredarnya kasus ini. Bahwa penangkapan mahasiswa tersebut menunjukkan kenyataan aparat kepolisian terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan. Ia juga mengatakan bahwa ekspresi damai seberapapun ofensif, baik dalam seni, termasuk satir dan meme politik, bukan merupakan tindak pidana. Respon Polri jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Korban kriminalisasi UU ITE sebelumnya juga sempat terjadi pada Septia Dwi Pertiwi, Hariz Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas kasus pencemaran nama baik. Hampir serupa, ketiganya mendapatkan ancaman penahanan oleh jaksa dan didakwa melanggar UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik.

Baca Juga:

Pemecatan Personel Sukatani: Kebebasan Berekspresi dan Ketidakadilan Gender dalam Pendidikan

Sikap dan Rekomendasi Komnas Perempuan terkait Revisi Kedua UU ITE

Membincang Kebebasan Berekspresi di Media Sosial

Penyimpangan Penegakan Hukum Pada Korban KDRT Jadi Tersangka UU ITE

Meski begitu, korban pada akhirnya dinyatakan bebas dan lolos dari tindak pidana. Ini menjadi bentuk kemenangan atas kebebasan berekspresi masyarakat yang masih saja dibatasi. Tapi seharusnya kasus yang telah terjadi dapat menjadi renungan dan evaluasi bersama untuk pemerintah dan kepolisian.

Kebebasan Berekspresi yang Semu

Saya mencoba merespon kasus mahasiswi ITB dengan mengutip amnesty.id bahwa sebetulnya penangkapan ini bertentangan dengan semangat putusan terbaru MK yang berisi bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.

Sikap polri merupakan pembangkangan atas putusan MK yang mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons represif di ruang publik. Respon represif polisi akhirnya menimbulkan banyak kritik menyayangkan tindakan  dari pakar dan lembaga hukum.

Kriminalisasi oleh polisi memberantas kebebasan berekspresi masyarakat dengan adanya UU ITE. Kebebasan berpendapat sejatinya adalah hak dalam hukum HAM internasional, nasional, dan termasuk UUD 1945 yang terlindungi. Standar HAM internasional menganjurkan supaya hal tersebut tidak melalui pemidanaan.

Lembaga negara termasuk Presiden bukan suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum HAM. Artinya, baik Prabowo Subianto dan Joko Widodo telah menyatu menjadi institusi publik bukan sebagai pribadi. Sebagaimana ungkapan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar bahwa  saat seseorang telah menduduki jabatan publik, maka tak ada lagi ruang pribadi miliknya.

Kebebasan berekspresi adalah sarana menuju kemajuan termasuk dalam menyampaikan pendapat. Dalam hal ini kebebasan berekspresi bisa melalui lisan, tulisan, maupun karya dari era keterbukaan untuk mengawasi atau mengkritik kebijakan pemerintah.

Kebebasan dalam mengkritik maupun memberikan penilaian kepada pemerintah juga merupakan hak masyarakat sipil di era demokrasi modern. Hadirnya UU ITE nyatanya masih belum menjamin kebebasan berpendapat di media sosial. Masih ada represi dan pembungkaman yang bisa rezim pemerintahan lakukan.

Hargai Ruang Berekspresi Institusi Pendidikan

Terjadinya kasus ini kemudian membuat saya mengafirmasi respon dari Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan akademik (KIKA), Satria Unggul wicaksono dalam Kompas.id bahwa kasus mahasiswi ITB tidak perlu sampai dengan melakukan pelaporan ke polisi sehingga adanya unsur pidana. Lebih penting adalah adanya dialog dan komunikasi sebagai tindakan persuasif daripada penangkapan maupun tindak pidana.

Solusi dari perguruan tinggi juga perlu berperan untuk mengajak diskusi saat terjadi kasus seperti ini bukan dengan membawa kritik dari mahasiswa untuk diseret ke pengadilan. Lebih dari itu, baik mahasiswa ataupun perguruan tinggi penting untuk dapat memanfaatkan teknologi digital termasuk kecerdasan buatan (AI) untuk penggunaannya berdampak positif. Penting pula memiliki kesadaran atas kritik dari ekpresi, sebab hal ini wajar sebagai kritik terhadap penguasa.

Mahasiswi ITB berinial SSS adalah representasi perempuan muda yang berani mengungkapkan kritiknya pada pemerintah termasuk antara relasi presiden Prabowo Sugianto dan mantan presiden Joko Widodo. Melalui meme tersebut, pasti ada maksud darinya atas uneg-uneg sebagai bentuk ekpresi kritik terhadap presiden.

Sebagai ekspresi kepada pemerintah dan negara, kebebasan berekspresi ataupun berpendapat dari mahasiswa maupun dosen perlu adanya rasa menghargai dari semua pihak. Pemerintah tidak seharusnya anti kritik, represif atau sampai pembungkaman.

Melihat kasus korban UU ITE yang terjadi pada banyak korban baik dari kalangan masyarakat, mahasiswa, maupun pendidik menjadi refleksi dan evaluasi untuk pemerintah atas adanya UU ITE yang agaknya bermasalah dengan ruang kebebasan berekspresi kita.

Begitu pula, polisi juga tidak boleh semena-mena melakukan penangkapan sehingga bukan menjadikan implementasi kebijakan lebih baik justru mengkhawatirkan. Seluruh masyarakat memiliki hak yang sama untuk berpendapat dan berekspresi. Serta mendapatkan keadilan hukum yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan universal. []

Tags: kebebasan berekspresikritik mahasiswamahasiswa ITBperempuan bersuaraUU ITE
Ni'am Khurotul Asna

Ni'am Khurotul Asna

Ni'am Khurotul Asna. Mahasiswa pendidikan UIN SATU Tulungagung. Gadis kelahiran Sumsel ini suka mendengarkan dan menulis.

Terkait Posts

Merapi

Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

12 Mei 2025

Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

12 Mei 2025
Paus Leo XIV

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

12 Mei 2025
Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version