Mubadalah.id – Membebaskan perempuan dari belenggu interpretasi patriarkal atas teks-teks keagamaan bukanlah sekadar upaya modern. Melainkan sebuah pergulatan historis yang terangkum dalam narasi pembebasan sejak awal mula Islam.
Dua pemikir Muslim kontemporer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud, hadir sebagai pelita yang menerangi jalan ini. Menyingkap bagaimana narasi-narasi keagamaan, khususnya kisah Adam dan Hawa, telah terbentuk dan disalahgunakan untuk mengekang, alih-alih memerdekakan perempuan. Pemikiran mereka membuka cakrawala baru dalam memahami relevansi narasi gender dalam Islam.
Mernissi, dalam karyanya ‘Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry’, memulai penelusurannya dengan sebuah anekdot yang menyentuh. Reaksi terkejut seorang pedagang grosir di Maroko ketika ia bertanya apakah seorang perempuan bisa menjadi pemimpin Muslim.
Respons fanatik yang disusul dengan kutipan hadis, “Barangsiapa yang mempercayakan urusannya kepada wanita, mereka tidak akan pernah mengenal kemakmuran,” menjadi titik tolak bagi Mernissi untuk membongkar bagaimana hadis telah menjadi “senjata politik” yang ampuh dalam masyarakat Muslim.
Ia menganalisis konteks historis hadis tersebut, menemukan bahwa perawi utama hadis Abu Bakra, meriwayatkannya seperempat abad setelah kematian Nabi. Yakni di tengah gejolak Perang Unta, saat Aisyah memimpin pasukan melawan Khalifah Ali.
Mernissi mencurigai adanya kepentingan pribadi Abu Bakra, seorang mantan budak yang status sosialnya naik karena dimerdekakan Nabi. Terutama untuk menjustifikasi ketidakikutsertaannya dalam konflik tersebut.
Bantahan Mernissi terhadap Narasi Hadis
Lebih jauh, Mernissi menyoroti pelanggaran metodologis dalam penerimaan hadis ini, mengingat Abu Bakra pernah dihukum cambuk oleh Khalifah Umar karena kesaksian palsunya. Ini menunjukkan bagaimana hadis, yang seharusnya menjadi pedoman kebenaran, bisa termanipulasi untuk melayani agenda politik dan bias individu.
Mernissi kemudian melangkah lebih jauh, membahas hadis lain yang secara langsung merendahkan perempuan. “Nabi berkata bahwa anjing, keledai, dan wanita menginterupsi salat jika mereka lewat di depan orang yang beriman, menempatkan diri di antara dia dan kiblat”. Hadis ini, yang ternisbatkan kepada Abu Hurairah, menempatkan perempuan dalam kategori yang sama dengan hewan sebagai pengganggu ibadah.
Namun, Mernissi dengan sigap membantah narasi ini dengan mengutip perkataan Aisyah sendiri, istri Nabi. Aisyah bersaksi bahwa Nabi biasa salat ketika ia berbaring di antara Nabi dan kiblat, tanpa mengganggunya. Dengan demikian, Mernissi menunjukkan bahwa gambaran Nabi yang mencintai dan menghargai perempuan, seperti yang terlihat dari kedekatan beliau dengan Aisyah, sangat kontradiktif dengan hadis-hadis misoginis yang beredar.
Peran Amina Wadud
Di sinilah peran Amina Wadud menjadi sangat krusial, melengkapi analisis Mernissi dengan fondasi hermeneutikanya. Dalam ‘Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective’, Wadud secara eksplisit berargumen bahwa interpretasi Al-Qur’an selama ini telah didominasi oleh perspektif laki-laki, yang seringkali mengecualikan atau memutarbalikkan pengalaman perempuan.
Wadud mengusulkan sebuah pembacaan Al-Qur’an yang inklusif terhadap pengalaman perempuan. Bebas dari stereotip yang telah mengakar dalam tafsir tradisional.
Misalnya, Wadud secara langsung menantang penafsiran patriarkal atas kisah penciptaan Adam dan Hawa. Ia menolak gagasan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, yang seringkali disalahgunakan untuk mengklaim inferioritas perempuan.
Wadud menekankan bahwa Al-Qur’an, dalam An-Nisa ayat 1, menyatakan bahwa manusia tercipta dari “satu nafs” (jiwa tunggal), dan dari nafs itu tercipta “zawj” (pasangan)nya. Baginya, “nafs” adalah konsep non-gender, dan “zawj” secara inheren menunjukkan kesetaraan dan saling melengkapi.
Dengan demikian, Al-Qur’an menegaskan kesetaraan primordial antara laki-laki dan perempuan, yang seringkali terabaikan dalam tafsir-tafsir tradisional.
Menilik Perdebatan Tafsir
Perdebatan mengenai “darajah” (tingkat) dan “faddala” (preferensi) juga menjadi fokus Wadud. Al-Baqarah ayat 228, yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki “satu darajah di atas mereka (perempuan)”, seringkali ditafsirkan sebagai superioritas mutlak laki-laki.
Namun, Wadud menempatkan ayat ini dalam konteks perceraian, di mana keuntungan laki-laki terbatas pada kemampuannya untuk menceraikan tanpa arbitrasi, bukan superioritas absolut. Ia berargumen bahwa Al-Qur’an menekankan “takwa” sebagai satu-satunya kriteria pembeda antar individu, yang tidak terpengaruhi oleh gender.
Kisah poligami menjadi contoh lain di mana Wadud dengan cermat membongkar beragam distorsi tafsir. Meskipun An-Nisa ayat 3 memungkinkan laki-laki untuk menikahi hingga empat istri, Wadud menekankan bahwa ayat ini pertama-tama berbicara tentang perlakuan adil terhadap anak yatim perempuan dan membatasi poligami dengan syarat keadilan mutlak “yang mustahil dipenuhi”, seperti yang tersiratkan dalam An-Nisa ayat 129: “Kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara para wanita…”.
Poligami, menurut Wadud, secara historis, merupakan praktik-praktik patriarkal di masa Nabi, bukan sebuah gagasan ideal universalitas Islam.
Integrasi Pemikiran Fatima Mernissi dan Amina Wadud
Melihat integrasi pemikiran Mernissi dan Wadud di atas menghasilkan sebuah narasi yang koheren: bahwa diskriminasi gender dalam masyarakat Muslim sebagian besar berasal dari konstruksi historis dan interpretasi yang bias, bukan dari inti ajaran Islam yang membebaskan.
Mernissi membongkar manipulasi hadis sebagai alat kekuasaan. Sementara Wadud menyediakan kerangka hermeneutika untuk menafsirkan kembali Al-Qur’an yang inklusif gender. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang menegakkan keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia bagi semua, tanpa memandang gender.
Emansipasi gender, dalam pandangan mereka, adalah sebuah keniscayaan teologis dan historis yang menuntut pembacaan dan penerapan kembali prinsip-prinsip Qur’ani yang universal dalam konteks modern. Ini adalah seruan untuk kembali kepada spirit Al-Qur’an. Melampaui batasan-batasan interpretasi yang sempit dan bias, menuju masyarakat Muslim yang lebih adil dan setara. []
Daftar Pustaka
Mernissi, Fatima. ‘Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry’. Basil Blackwell: Oxford, 1991.
Wadud, Amina. ‘Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective’. Oxford University Press: New York, 1999.