Mubadalah.id – Di kalangan ulama fiqh, terutama pendapat lima madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Ja’fari, pada dasarnya semuanya mengizinkan dilakukannya azl.
Namun di sini sedikit ada perbedaan mengenai syarat kebolehannya. Madzhab Syafi’i misalnya mengizinkan pemakaian kontrasepsi atau melaksanakan azl oleh suami dengan tanpa izin dari istri. Akan tetapi empat madzhab yang lain mengharuskan minta izin terlebih dahulu kepada istrinya.
Di kalangan para ahli hukum Islam, pemakaian konstrasepsi hanya dilarang oleh ulama fiqh abad pertengahan berkebangsaan Spanyol dari garis literalis (zhahiriyah) bernama Ibnu Hazm al-Zahiri yang juga diikuti oleh beberapa muridnya. Menurut Ibnu Hazm dengan atau tanpa izin suami, azl tetap haram.
Sedangkan seorang ulama terkemuka, Imam Ghazali, juga menyatakan kebolehan untuk melakukan azl. Al-Ghazali menjelaskan bahwa azl sangat berbeda dengan aborsi apalagi dengan penguburan bayi-bayi perempuan hidup yang baru lahir. Sebab keduanya merupakan tindakan pembunuhan janin (the act of felony) pada saat perkembangan.
Lebih lanjut menurut al-Ghazali, azl bisa suami lakukan apabila tujuannya adalah untuk menjaga kecantikan perempuan. Terlebih guna menjaga keharmonisan kehidupan seksual atau karena alasan menjaga kehidupan si istri. Dalam hal ini syari’ah sangat memperbolehkan.
Pendapat Lima Madzhab
Untuk lebih jelas tentang hukum azl di kalangan ahli fiqh berikut ini saya kemukakan pendapat-pendapat dari madzhab lima:
Pertama, Madzhab Hanafi dalam hal ini diwakili oleh Imam al-Kasani menyatakan bahwa hukum azl makruh dilakukan oleh seorang suami kalau tidak disertai izin dari istrinya.
Kedua, Madzhab Maliki dalam hal ini Imam Malik sendiri dalam kitabnya al-Muwattha menyatakan bahwa seorang laki-laki (suami) tidak memiliki hak untuk melakukan azl tanpa disertai izin dari istrinya.
Ketiga, Madzhab Syafi’i dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa melakukan hubungan seksual di mana sebelum ejakulasi seorang laki-laki mencabut penisnya. Dan kemudian proses ejakulasi tersebut ia lakukan di luar vagina istri, hukumnya adalah makruh.
Keempat, Madzhab Hambali dalam hal ini Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa mempraktikkan azl tanpa alasan apapun adalah makruh. Akan tetapi tidak haram. Ibnu Qudamah menganjurkan azl tidak dengan seorang istri yang belum punya anak kecuali tanpa izinya.
Kelima, Madzhab Ja’fari (salah satu madzhab fiqh dari kalangan Syiah) menyatakan bahwa azl dengan perempuan yang masih belum punya anak tidak dihalalkan kecuali mendapat izin darinya.
Berdasarkan uraian di atas, mengapa seringkali harus minta izin kepada istri yang masih belum punya anak, menurut Mohsin Ebrahim karena pada dasarnya seorang istri juga memiliki hak untuk mempunyai anak. Selain alasan itu, alasan lain adalah praktik azl ini seringkali mengurangi rasa kenikmatan dalam hubungan seksual. []