Mubadalah.id – Apa yang kamu ingat dari tragedi sejarah di Indonesia? Sebagai generasi 80-an, saya masih ingat ketika peristiwa Reformasi Mei 1998. Saat itu saya masih duduk di kelas 3 MTsN di Pemalang Jawa Tengah. Usia kira-kira 15 tahun, dan memoriku merekam banyak kejadian memilukan, karena secara kebetulan lokasi pesantrenku persis berada di jantung kota Pemalang.
Hari itu, saya berangkat sekolah seperti biasa. Berjalan kaki dari pesantren, lalu naik angkot di depan Kantor Pos kota Pemalang. Jarak tempuh kurang lebih 15 menitan.
Saya dan teman-teman pergi sekolah seperti biasa, meski suasana kota sudah sedikit agak mencekam paska pengumuman pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Pengumuman itu kami dengarkan beramai-ramai di bilik pesantren melalui siaran berita radio.
Tidak lama berada di kelas, sekolah dipulangkan lebih cepat. Kami bergegas keluar, dan di jalanan sudah ramai warga yang berbondong bondong, berjalan dan berlarian. Tidak ada angkot yang mengangkut siswa hari itu. Jalanan penuh dengan orang. Kami yang masih berseragam biru putih, ikut berjalan kaki ke terminal Sirandu lantas terbawa arus massa hingga sampai ke alun-alun. Bukan untuk ikut aksi massa, tapi pulang ke pesantren.
Penjarahan di Mana-mana
Sepanjang jalan di kota Pemalang, dari tempat kami sekolah hingga ke pesantren, penjarahan terjadi di mana-mana. Kami diuntungkan dengan seragam biru putih yang masih menempel di badan. Tak ada satu orang pun yang memperdulikan kami. Saya lupa, saat itu saya berjalan dengan siapa saja. Kami berlari-lari kecil menghindar dari kerumunan banyak orang yang keluar masuk toko untuk menjarah barang.
Situasi paling parah ketika kami melintas di toserba, saya lupa namanya, toserba ini persis di sudut alun-alun kota Pemalang. Bahkan hingga kini toserba tersebut masih ada. Toserba tempat biasa anak-anak santri belanja kebutuhan sehari-hari. Pemiliknya kebetulan orang Tionghoa.
Entah aksi massa datang dari mana, segerombolan pemuda masuk ke toserba, menjarah apapun yang bisa mereka ambil. Mulai dari barang elektronik, pecah belah, sembako, hingga pakaian yang terpasang di etalase. Saya dan teman-teman bersembunyi di balik becak-becak yang terparkir di sekitar alun-alun. Kami mencari cara bagaimana agar bisa selamat kembali ke pesantren.
Sesampai di pesantren, anak-anak yang baru tiba dikumpulkan oleh pengurus, memastikan kami selamat. Bagi teman-teman yang belum datang, kami tunggu hingga tak ada satupun anak santri yang sekolah di luar luput dari pengawasan. Kami lega, berapa hari kemudian kota Pemalang kembali kondusif, tapi trauma penjarahan itu tetap mengendap dalam ingatanku.
Manusia seakan bukan lagi sebagai manusia. Tak kenal belas kasih, beringas dan serakah. Entah berapa orang Tionghoa yang menjadi korban di hari itu. Entah bagaimana juga perempuan dan anak-anak yang menjadi korban saat peristiwa itu terjadi. Semua gelap, samar dan tak terjamah.
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Lantas kini, Kementerian Kebudayaan tengah menggarap proyek besar, penulisan ulang sejarah Indonesia. Hal ini terungkap oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengatakan bahwa rencana menulis ulang buku sejarah Indonesia dengan melibatkan 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi.
Fadli Zon menargetkan buku sejarah hasil revisi ini dapat selesai di Agustus atau September dan segera terdistribusikan ke sekolah-sekolah. Proyek ini pun menuai kontroversi.
Melansir dari laman Kumparan Woman, sejumlah aktivis dan sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek penulisan ulang sejarah Kemenbud. Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI, Senin (19/5), AKSI menilai proyek ini terburu-buru dan tidak transparan.
Penulisan ulang ini mereka anggap sebagai rekayasa sejarah yang mengabdi pada kepentingan kekuasaan, membatasi kebebasan berpikir, memupuk otoritarianisme, mengkhianati nilai kerakyatan dan berpotensi menghapus memori kolektif bangsa.
Menghilangkan Peran Perempuan dalam Sejarah
Penulisan ulang sejarah Indonesia ini dikhawatirkan akan menghilangkan peran perempuan dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa.
Jaleswari Pramodhawardhani, salah satu aktivis dan Direktur Lab45 juga mengungkapkan bahwa kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, kita semua tahu negara ini memiliki episode sejarah yang panjang dalam proses pembentukannya, tetapi ada penghilangan sejarah di sana, yaitu Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang seakan dibiarkan menghilang.
Hal senada Ita Fadia Nadia sampaikan, seorang sejarawan dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia sekaligus sekretaris AKSI. Menurutnya salah satu kritik utama terhadap penulisan ulang sejarah ini adalah tidak adanya ruang bagi kontribusi perempuan dalam perjalanan bangsa.
Ita menambahkan, di dalam rencana penulisan sejarah Indonesia tidak ada tentang bagaimana kontribusi perempuan di Indonesia dalam pergerakan kebangsaan dan gerakan internasionalisme. Banyak sekali dokumen-dokumen kehebatan perempuan dihilangkan dari sejarah yang akan Kemenbud tuliskan.
Beberapa Hal yang Hilang dari Draft Sejarah
Masih menurut Ita, pada draft sejarah Indonesia yang Kemenbud tulis itu, ada banyak memori bangsa tentang peran perempuan yang hilang, antara lain;
Pertama, pada pemerintahana Presiden Soekarno sudah dikirim sejumlah perempuan untuk ambil bagian dalam berbagai konferensi dunia.
Kedua, sosok Setiati Surasto, seorang perempuan yang duduk di komisi ILO untuk membicarakan tentang upah buruh yang setara bagi laki-laki dan perempuan.
Ketiga, Fransisca Fanggidaej, tokoh perempuan dari kepulauan NTT yang diutus Presiden Soekarno keliling dunia untuk mengabarkan tentang kemerdekaan Indonesia.
Keempat, Suwarsih Djojopuspito tokoh Taman Siswa yang aktif membuka dan mengajar di sekolah luar.
Jika banyak kejadian dihilangkan dari sejarah, maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu makin sulit. Peristiwa penting bisa terlupakan, bahkan disangkal, sedangkan pada beberapa kasus, kebanyakan korban adalah perempuan, termasuk tragedi sejarah 1965 dan 1998.
Sebagaimana yang tersampaikan oleh Irianto Sulistyowati, seorang Guru Besar Antropolog Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, sekarang kita kehilangan sejarah kelam tentang bagaimana perempuan menjadi korban pada 1965 dan 1998.
Tahun 1998 itu untung kita punya satu-satunya memorialisasi, yaitu di Pondok Rangon. Kalau itu tidak ada, kita masih akan terus disangkal. Seolah-olah tidak pernah ada kejahatan terhadap perempuan. Padahal kejahatan itu adalah kekerasan seksual.
Menolak Lupa pada Sejarah yang Luka
Kekerasan berbasis gender dan ketimpangan gender hingga hari ini masih menjadi perkara pelik di negeri ini. Penulisan ulang sejarah Indonesia kita khawatirkan akan semakin menghapus jejak kontribusi peran dan kiprah perempuan dalam perjuangan bangsa.
Jika kontribusi, peran dan pengorbanan perempuan tak tercatat, dan terakui maka upaya untuk mewujudkan keadilan bagi perempuan tak akan pernah utuh.
Tragedi sejarah yang pernah menimpa negeri ini, juga menjadi ingatan kolektif yang harus terus kita ceritakan pada generasi-generasi selanjutnya, agar tragedi serupa tak perlu terjadi kembali. Kita harus menolak lupa, pada guratan sejarah yang telah meninggalkan banyak luka. Terutama bagi para perempuan, anak perempuan dan kelompok rentan yang menjadi korban dari kebiadaban masa lalu. []