Judul Buku: Buku Saku Keluarga Berkah: Bimbingan Islam Mulai Pranikah Hingga Mendidik Anak sebagai Generasi Bermoral
Penulis: KH. Mahsun Muhammad
Jumlah Halaman: 219 Halaman
Penerbit: QAF, Jakarta: 2022
ISBN: 978-623-6219-42-3
Mubadalah.id – Kita tidak bisa menutup mata akan banyaknya fakta yang berlawanan di sekeliling kita. Kita seringkali menyaksikan kejahatan yang bersembunyi di balik teks pengetahuan —termasuk pengetahuan agama. Kita juga seringkali mendengar berita korupsi yang pejabat lakukan dengan latar belakang intelektualitas yang tinggi dan berpendidikan. Dan masih banyak ironi tragedi lainnya yang terjadi di sekeliling kita ini.
Menjadi sebuah paradoks, jika ruang pendidikan, baik formal ataupun non formal –yang seharusnya melahirkan generasi dengan intelektualitas dan moralitas yang tinggi, justru melahirkan perbuatan-perbuatan jahat (baca: korupsi, kekerasan, dan merusak lingkungan). Ruang pendidikan kita, hanya berhasil melahirkan generasi dengan kecerdasaan secara kognitif, namun hampa secara etis.
Di sinilah, hakikat berkeluarga mesti kita hadirkan, untuk mendidik anak sejak dalam pikiran. Sebab, tidak sedikit dari pelaku kejahatan yang lahir dari kehampaan peran keluarga (broken home). Namun, banyak pula yang lahir dari keluarga yang utuh, bahkan mapan secara ekonomi. Hal ini, menyisakan sebuah pertanyaan akan seberapa pentingnya peran keluarga –terutama ayah dan ibu dalam membentuk moral seorang anak?
Dalam persoalan demikian, buku yang ditulis oleh KH. Mahsun Muhammad salah satu adik kandung dari K.H. Husein Muhammad, dengan judul “Keluarga Berkah Bimbingan Islam Mulai Pranikah Hingga Mendidik Anak sebagai Generasi Bermoral” (2022), dapat kita jadikan salah satu bahan refleksi kita dalam menghadapi problematika moral dalam kelindan kehidupan. Terlebih untuk mengimplementasikannya kepada anak-anak bangsa yang kelak menjadi generasi penerus.
Membentuk Intelektualitas dan Moralitas
Menurut Kyai Mahsun, intelektualitas dan moralitas tinggi yang seorang anak miliki bukan sekadar terbentuk sejak ia lahir, tapi jauh sebelum itu. Seperti memperbaiki diri, memilih pasangan dan menjalani hubungan harmonis dalam keluarga, adalah hal yang tidak bisa kita kesampingkan dalam membentuk intelektualitas dan moralitas seorang anak.
Namun proses yang saya sebutkan demikian, tidaklah begitu mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Ia perlu berdasarkan dengan hal yang paling fundamental. Yaitu niat yang akan melahirkan sebuah tindakan. Kyai Mahsun menawarkan pendekatan yang tidak lapuk termakan zaman dengan menyuguhkan cara pandang baru dalam menjalani kehidupan berkeluarga dan mendidik anak.
Sebagaimana Thomas Samuel Kuhn, seorang filsuf dan sejarawan Amerika Serikat (1997) yang mengatakan “bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya dapat terlaksana jika kita mau merubah paradigma lama yang tidak lagi relevan dengan realitas. Perubahan paradigma yang dimaksud bukan sekadar pemikiran, pemahaman dan cara pandang saja. Namun juga termasuk nilai dan perilaku yang disandarkan terhadap cara pandang tertentu” (Keraf, 2014).
Tentu saja, jika kita analogikan apa yang Kyai Mahsun tawarkan dalam buku ini dengan apa yang tersampaikan oleh Kuhn, akan menarik benang merah yang sama. Kyai Mahsun menyajikan paradigma baru dalam menjalani kehidupan berkeluarga dan mendidik anak. Di mana jika kita adopsi, akan mengubah pemahaman, cara pandang, dan akhirnya tindakan manusia. Hal ini sejalan dengan gagasan Kuhn tentang kemajuan ilmu pengetahuan yang menuntut perubahan kerangka berpikir lama.
Sehingga, menikah bukan sekadar memenuhi tuntutan budaya atau kebutuhan biologis semata, tetapi sebagai bentuk pengabdian tulus kita kepada Tuhan yang tidak pernah pupus. Sejalan dengan ini, apa yang telah dikatakan Sabrang Mowo Damar Panuluh, sang Musisi yang ngintelek, bahwa “jika cinta diletakkan pada mata, apa artinya jika kulit sudah menua.” Ini menandakan bahwa fondasi keluarga yang kokoh harus melampaui aspek fisik yang sementara.
Kehidupan Berkeluarga Adalah Amanah Bukan Sebuah Beban
Paradigma atau kerangka berpikir yang ditawarkan dalam buku ini, Kyai Mahsun mengarahkan pembacanya agar menganggap kehidupan berkeluarga adalah amanah, bukan sebuah beban. Kyai Mahsun selalu menyisipkan cara pandang mendekatkan diri kepada Allah. Mulai dari memilih pasangan bagi laki-laki atau perempuan, mendampingi pasangan hidup, menyambut kehadiran anak dan mendidik anak.
Menurutnya, sebuah ikatan keluarga yang terikat dengan niat ibadah maka ia akan senantiasa, tidak lapuk termakan zaman. Di samping itu, ia akan terjamin oleh Allah dari segala aspeknya, termasuk rezeki, keharmonisan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Bagi penulis, pendekatan yang Kyai Mahsun tawarkan dalam buku ini, mencakup dua sisi krusial kehidupan manusia dalam menjalin hidup berkeluarga. Yaitu sisi langit (transendental) yang menjamin kebutuhan hidup berkeluarga, dan sisi bumi yang wajar bagi manusia untuk menginginkan hidup senantiasa dengan kekasihnya.
Begitu pula dalam menyambut dan mendidik anak. Kyai Mahsun memberikan cara pandang yang sama, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya, rasa senang dan gembira hendaknya nampak dari kedua orang tua dalam menyambut kehadiran anak.
Beliau berpandangan, dengan kelahiran anak, orang tua telah Allah berikan kepercayaan untuk mengasuh dan mendidiknya. Kedua, dia telah dipandang oleh Allah sebagai orang yang mampu. Ketiga, jika Allah sudah memercayainya dan memandangnya mampu, maka janganlah ragu Allah akan memberikan fasilitas untuk membutuhi kebutuhannya (hlm, 127).
Dalam mendidik anak, Kyai Mahsun tidak melepaskan kerangka berpikir “bahwa anak adalah titipan Allah, bukan menjadi beban.” Sehingga, pendidikan tulus yang orang tua berikan kepada anaknya, menjadi faktor atas perilaku anak dalam hal kebaikan menjadi tulus. Tanpa paksaan dan ancaman yang bisa mengganggu mental.
Mendidik Anak dengan Pola Islami
Kyai Mahsun bukan hanya memberikan kerangka berpikir dalam membangun karakter seorang anak. Melainkan secara praktis beliau menjelaskannya secara rinci dan proporsional. Pada saat balita, setidaknya ada tiga pola pembelajaran yang tersematkan dalam buku ini:
Pertama, pola pembiasaan. Dalam hal ini, anak yang masih menginjak usia balita hendaknya kita biasakan dalam hal kebaikan. Ketika kebaikan menjadi hal yang terbiasa, anak akan merasakan bahwa itu merupakan bagian dari hidupnya, meninggalkannya akan menjadikan anak merasa ganjil.
Kedua, pola keteladanan. Pada usia balita, anak-anak selalu melihat apa yang orangtuanya lakukan, adalah apa yang harus ia lakukan juga. Sehingga memberikan teladan baik kepada anak sedini mungkin adalah bentuk pengajaran moral secara langsung.
Ketiga, pola pemberian. Jika anak melakukan apapun, hendaknya orang tua memberikan feedback terhadap apa yang anaknya lakukan. Jika perbuatan itu baik, berilah apresiasi. Namun, jika kurang tepat, Kyai Mahsun menyarankan untuk memberikan pujian terlebih dahulu, lalu dengan lembut dan konstruktif mengingatkan apa yang seharusnya kita luruskan, menghindari paksaan atau ancaman yang bisa mengganggu mental anak (hlm, 168-182).
Namun, jika seorang anak sudah dapat berpikir kritis, berikan ia dengan pola nasihat dan dialog, dengan begitu anak tidak merasa hampa ketika dirundung masalah. Ia tidak merasa sendirian dalam menjalani hidup, dan ia merasa dirinya berharga untuk belajar dan terus hidup dalam ruang intelektual dengan iringan moralitas yang setara.
Sekiranya, buku ini adalah bentuk jawaban untuk keluarga dalam menghadapi era krisisnya moral. Demikianlah hakikat keluarga, menghidupkan moral sejak dini untuk mendampingi intelektualitas yang anak dapatkan pada saat dewasa kelak. []