• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

Sikap menolak kerusakan lingkungan bukanlah tindakan radikal, melainkan kewajiban moral, sosial, sekaligus agama.

Miranti Miranti
02/07/2025
in Publik
0
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan ini publik ramai memperbincangkan istilah wahabi lingkungan. Kata ini pertama kali dilontarkan Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU) dalam perdebatan terkait tambang di Raja Ampat pada 12 Juni 2025 di Kompas TV. Istilah tersebut diarahkan kepada aktivis lingkungan yang dinilai terlalu keras menolak proyek pertambangan dan berbagai bentuk eksploitasi alam.

Sayangnya, pelabelan ini seolah menempatkan mereka yang bersikap tegas dalam menjaga lingkungan sebagai pihak ekstrem, mirip dengan cap “garis keras” dalam ranah agama. Padahal, jika kita menengok lebih dalam, penolakan terhadap aktivitas tambang yang merusak lingkungan justru lahir dari fakta-fakta memprihatinkan yang selama ini kerap terabaikan.

Indonesia menyimpan catatan kelam terkait industri ekstraktif. Aktivitas pertambangan telah berulang kali mencemari lingkungan, merampas sumber air bersih warga, serta memicu konflik agraria yang kerap berujung pada kekerasan terhadap masyarakat adat.

Data WALHI

Pada 2023, WALHI mencatat ada 346 konflik agraria melibatkan lahan seluas 638 ribu hektare, berdampak pada sekitar 135 ribu keluarga. Mayoritas terkait tambang dan alih fungsi lahan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga melaporkan hingga Maret 2025 sedikitnya terdapat 110 kasus konflik yang melibatkan masyarakat adat, dengan perampasan wilayah adat mencapai jutaan hektare yang dilakukan tanpa konsultasi layak.

Di Halmahera Timur, Maluku Utara misalnya, masyarakat adat yang menolak tambang nikel justru mendapat perlakuan represif. Bahkan dikriminalisasi ketika mereka berusaha mempertahankan tanah warisan leluhur dan ekosistem hutan yang menjadi sumber hidup.

Baca Juga:

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

Ironisnya, alih-alih mendengar jeritan masyarakat korban tambang, sebagian elite justru sibuk menempelkan stigma wahabi lingkungan kepada para pejuang lingkungan. Tuduhan ini tentu tidak hanya berlebihan, tetapi juga mengaburkan substansi persoalan: kerusakan lingkungan yang nyata dan masif.

Lebih memprihatinkan lagi, label tersebut dilempar tanpa memerhatikan nilai-nilai agama khususnya Islam yang justru menekankan pentingnya merawat bumi.

Pandangan Islam

Dalam Islam, manusia adalah khalifah yang mengemban amanah menjaga keseimbangan alam, bukan merusaknya demi kepentingan sesaat. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Dengan demikian, sikap menolak kerusakan lingkungan bukanlah tindakan radikal, melainkan kewajiban moral, sosial, sekaligus agama.

Bahkan, aktivis lingkungan yang gigih memperjuangkan kelestarian alam dan keadilan sosial semestinya didukung, bukan dicap dengan label peyoratif semacam “Wahabi lingkungan”.

Pada akhirnya, bumi ini adalah rumah kita satu-satunya. Tak peduli seberapa besar kekuasaan, setinggi apa jabatan, atau sebanyak apa harta yang kita timbun, semua tak berarti jika tanah retak, air tercemar, dan udara kita racuni sendiri.

Maka dari itu, mengejek atau menertawakan mereka yang bersuara lantang menjaga lingkungan sama saja menutup mata dari fakta bahwa kita sedang menggali lubang kubur untuk masa depan anak cucu kita sendiri.

Aktivis lingkungan mungkin sering dicap terlalu keras, terlalu ribut, atau terlalu idealis. Tetapi sejujurnya, justru merekalah yang paling waras di tengah hiruk-pikuk dunia yang rakus menjarah alam.

Oleh karena itu, menjaga bumi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral, sosial, bahkan spiritual yang tak bisa kita tawar. Sebab ketika hutan habis, air hilang, tanah longsor, dan bencana datang silih berganti, kita semua akan merasakan akibatnya.

Maka, sebelum semuanya terlambat, barangkali sudah saatnya kita berhenti melempar stigma murahan seperti wahabi lingkungan, lalu mulai mendengar, memahami, dan berdiri bersama mereka yang sejak lama berjuang agar bumi ini tetap layak kita tinggali. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? []

Tags: aktivis lingkunganDicapIroniKerusakan AlamMerajalelaWahabi Lingkungan
Miranti

Miranti

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Terkait Posts

Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID