Mubadalah.id – Belakangan ini publik ramai memperbincangkan istilah wahabi lingkungan. Kata ini pertama kali dilontarkan Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU) dalam perdebatan terkait tambang di Raja Ampat pada 12 Juni 2025 di Kompas TV. Istilah tersebut diarahkan kepada aktivis lingkungan yang dinilai terlalu keras menolak proyek pertambangan dan berbagai bentuk eksploitasi alam.
Sayangnya, pelabelan ini seolah menempatkan mereka yang bersikap tegas dalam menjaga lingkungan sebagai pihak ekstrem, mirip dengan cap “garis keras” dalam ranah agama. Padahal, jika kita menengok lebih dalam, penolakan terhadap aktivitas tambang yang merusak lingkungan justru lahir dari fakta-fakta memprihatinkan yang selama ini kerap terabaikan.
Indonesia menyimpan catatan kelam terkait industri ekstraktif. Aktivitas pertambangan telah berulang kali mencemari lingkungan, merampas sumber air bersih warga, serta memicu konflik agraria yang kerap berujung pada kekerasan terhadap masyarakat adat.
Data WALHI
Pada 2023, WALHI mencatat ada 346 konflik agraria melibatkan lahan seluas 638 ribu hektare, berdampak pada sekitar 135 ribu keluarga. Mayoritas terkait tambang dan alih fungsi lahan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga melaporkan hingga Maret 2025 sedikitnya terdapat 110 kasus konflik yang melibatkan masyarakat adat, dengan perampasan wilayah adat mencapai jutaan hektare yang dilakukan tanpa konsultasi layak.
Di Halmahera Timur, Maluku Utara misalnya, masyarakat adat yang menolak tambang nikel justru mendapat perlakuan represif. Bahkan dikriminalisasi ketika mereka berusaha mempertahankan tanah warisan leluhur dan ekosistem hutan yang menjadi sumber hidup.
Ironisnya, alih-alih mendengar jeritan masyarakat korban tambang, sebagian elite justru sibuk menempelkan stigma wahabi lingkungan kepada para pejuang lingkungan. Tuduhan ini tentu tidak hanya berlebihan, tetapi juga mengaburkan substansi persoalan: kerusakan lingkungan yang nyata dan masif.
Lebih memprihatinkan lagi, label tersebut dilempar tanpa memerhatikan nilai-nilai agama khususnya Islam yang justru menekankan pentingnya merawat bumi.
Pandangan Islam
Dalam Islam, manusia adalah khalifah yang mengemban amanah menjaga keseimbangan alam, bukan merusaknya demi kepentingan sesaat. Allah SWT berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Dengan demikian, sikap menolak kerusakan lingkungan bukanlah tindakan radikal, melainkan kewajiban moral, sosial, sekaligus agama.
Bahkan, aktivis lingkungan yang gigih memperjuangkan kelestarian alam dan keadilan sosial semestinya didukung, bukan dicap dengan label peyoratif semacam “Wahabi lingkungan”.
Pada akhirnya, bumi ini adalah rumah kita satu-satunya. Tak peduli seberapa besar kekuasaan, setinggi apa jabatan, atau sebanyak apa harta yang kita timbun, semua tak berarti jika tanah retak, air tercemar, dan udara kita racuni sendiri.
Maka dari itu, mengejek atau menertawakan mereka yang bersuara lantang menjaga lingkungan sama saja menutup mata dari fakta bahwa kita sedang menggali lubang kubur untuk masa depan anak cucu kita sendiri.
Aktivis lingkungan mungkin sering dicap terlalu keras, terlalu ribut, atau terlalu idealis. Tetapi sejujurnya, justru merekalah yang paling waras di tengah hiruk-pikuk dunia yang rakus menjarah alam.
Oleh karena itu, menjaga bumi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral, sosial, bahkan spiritual yang tak bisa kita tawar. Sebab ketika hutan habis, air hilang, tanah longsor, dan bencana datang silih berganti, kita semua akan merasakan akibatnya.
Maka, sebelum semuanya terlambat, barangkali sudah saatnya kita berhenti melempar stigma murahan seperti wahabi lingkungan, lalu mulai mendengar, memahami, dan berdiri bersama mereka yang sejak lama berjuang agar bumi ini tetap layak kita tinggali. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? []