• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Isu marital rape bukan sekadar persoalan domestik yang tertutup rapat, melainkan isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan keagamaan yang sangat serius.

Ibnu Fikri Ghozali Ibnu Fikri Ghozali
02/07/2025
in Keluarga
0
Marital Rape

Marital Rape

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di banyak forum keagamaan, rumah tangga sering kali tergambarkan sebagai surga kecil, sebuah tempat di mana cinta tumbuh, ibadah terpelihara, dan jalan menuju ridha Tuhan tertempuh bersama. Gambaran ini indah dan menginspirasi, namun realitas yang terjadi di lapangan tidak selalu seindah itu. Di balik dinding rumah, banyak perempuan menangis dalam diam.

Mereka tersakiti oleh suami sendiri bukan dengan pukulan, melainkan dengan pemaksaan biologis yang kerap dibungkus dengan dalih “kewajiban istri”. Fenomena marital rape atau pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan masih dianggap tabu di ruang-ruang publik. Bahkan dalam ceramah keagamaan sekalipun.

Padahal, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, kekerasan dalam rumah tangga tetap menempati posisi tertinggi, dan banyak kasusnya berkaitan dengan relasi seksual tanpa persetujuan.

Sayangnya, ketika korban berusaha bersuara, tanggapan yang mereka terima sering kali tidak memihak dan bahkan menyalahkan. Ucapan seperti “namanya juga istri, ya harus melayani suami” masih sering terdengar dalam masyarakat luas. Pernikahan mereka pandang sebagai lisensi mutlak yang memberi suami kewenangan penuh atas tubuh istri.

Akibatnya, kekerasan seksual dalam pernikahan sering kali tidak terkenali sebagai bentuk kekerasan. Bahkan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, dalam relasi yang sehat dan berlandaskan nilai Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), kerelaan dan kenyamanan pasangan menjadi prinsip utama dalam membangun rumah tangga.

Baca Juga:

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Definisi Marital Rape

Marital rape sendiri secara definisi merupakan bentuk kekerasan seksual. Di mana seorang suami memaksakan hubungan seksual terhadap istrinya tanpa persetujuan. Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tahun 2022, marital rape sudah terakui sebagai salah satu jenis kekerasan seksual yang diatur secara hukum.

Namun, dalam praktiknya, aparat penegak hukum masih sering menghadapi kebingungan dalam mengklasifikasikan dan menangani kasus ini. Hal ini tidak terlepas dari norma sosial dan tafsir agama yang berkembang di masyarakat kita yang belum sepenuhnya mengakui realitas dan kompleksitas kekerasan seksual dalam pernikahan. Relasi seksual dalam pernikahan masih dominan tafsir patriarkal yang menekankan pada “kewajiban istri” untuk patuh dan melayani suami tanpa batas.

Banyak teks agama yang sering menjadi rujukan untuk membenarkan pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan. Salah satunya adalah hadis yang menyatakan bahwa jika seorang istri menolak ajakan suaminya ke ranjang, maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi.

Hadis ini kerap terbaca secara literal tanpa melihat konteks sosial, psikologis, maupun prinsip dasar Islam yang mengedepankan kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan manusia. Pembacaan seperti ini menempatkan perempuan dalam posisi pasif, tunduk total, dan tanpa ruang untuk menolak.

Bahkan ketika perempuan sedang tidak siap secara fisik maupun emosional. Akibatnya, perempuan terpaksa mematuhi aturan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat Islam sebagai agama rahmat.

Pendekatan Tafsir Mubadalah

Di sinilah KH. Faqihuddin Abdul Kodir memperkenalkan pendekatan tafsir mubadalah yang menjadi sangat relevan dan progresif. Pendekatan ini menegaskan bahwa relasi antara suami dan istri harus berdasarkan pada prinsip kesalingan. Yakni saling mencintai, saling menghormati, dan saling melayani.

Tidak ada satu pihak pun yang memiliki kuasa mutlak atas yang lain, termasuk dalam urusan seksual. Kang Faqih dalam bukunya Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam (2019) secara eksplisit menyatakan bahwa,

“Hubungan seksual dalam pernikahan harus dibangun dengan prinsip saling menyenangkan, saling memuaskan, dan saling meridhai. Jika salah satu pihak tidak menginginkannya, maka tidak boleh dipaksakan. Karena itu bukan bagian dari nilai-nilai Islam.”

Pernyataan ini menegaskan kembali bahwa hubungan seksual bukanlah kewajiban sepihak yang harus kita turuti tanpa kehendak. Justru sebaliknya, hubungan intim dalam pernikahan harus menjadi ruang kebahagiaan dan kerelaan bersama. Dengan demikian, tafsir mubadalah menjadi koreksi atas tafsir-tafsir patriarkal yang selama ini membungkam suara perempuan dan membenarkan kekerasan dalam nama agama.

Tafsir mubadalah tidak hanya sekadar membongkar teks yang kaku, tetapi juga mengajak kita melihat konteks sosial yang memengaruhi pemahaman agama. Tafsir ini memberi ruang bagi perempuan untuk memiliki otonomi atas tubuh dan kehendaknya sendiri tanpa kehilangan kedudukannya dalam kerangka keagamaan. Prinsip kesalingan dalam mubadalah menuntut kita untuk membaca teks agama secara holistik, inklusif, dan berkeadilan. Sehingga agama menjadi instrumen pembebasan, bukan alat penindasan.

Bukan Sekadar Persoalan Domestik

Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan sebagai pembenaran ketidakadilan. Mustahil Islam membenarkan seseorang terpaksa melakukan hubungan seksual dalam keadaan takut, paksaan, atau rasa sakit. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan sebagai suami yang lembut dan penuh empati terhadap istrinya. Dalam banyak riwayat, beliau meminta izin kepada istrinya sebelum melakukan hubungan intim, menandakan pentingnya persetujuan dan kehendak bersama dalam relasi suami-istri.

Dengan pendekatan tafsir mubadalah, Islam bukan hanya menjadi pelindung perempuan, tapi juga menjadi sumber inspirasi untuk membangun rumah tangga yang sehat, adil, dan harmonis. Tafsir ini mengajak kita untuk menjadikan Islam sebagai cahaya yang menerangi relasi antar manusia, bukan topeng yang menyembunyikan luka dan penderitaan di balik rumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam pernikahan tidak bisa terus kita biarkan dibenarkan atas nama sakralitas keluarga.

Isu marital rape bukan sekadar persoalan domestik yang tertutup rapat, melainkan isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan keagamaan yang sangat serius. Menolak kekerasan seksual dalam pernikahan bukan berarti melawan ajaran agama, melainkan sebaliknya merupakan bentuk pengamalan paling tulus terhadap nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi martabat dan hak manusia.

Bukan Isu yang Tabu

Maka dari itu, sangat penting agar lebih banyak ulama, tokoh agama, pesantren, dan lembaga dakwah berani membuka ruang dialog tentang consent (persetujuan) dan hak-hak perempuan secara terbuka dan progresif. Tafsir mubadalah harus kita dorong menjadi landasan utama dalam membangun relasi keluarga Muslim yang berkeadilan dan bermartabat.

Jika kita terus membiarkan agama kita gunakan sebagai tameng untuk membenarkan pemaksaan dan kekerasan, maka kita tidak sedang menjaga Islam, melainkan menyalahgunakannya. Sudah saatnya kita berbicara, bukan untuk mempermalukan keluarga, tapi untuk menyelamatkan keluarga dari luka yang selama ini tersembunyi dalam diam.

Marital rape bukan lagi isu tabu yang harus kita tutup-tutupi. Ia nyata dan memerlukan penanganan yang serius. Islam sebenarnya telah menyediakan jalan keluar yang manusiawi dan adil, yakni melalui cinta yang berdasarkan pada kesalingan dan saling ridha. Tafsir mubadalah telah menunjukkan jalannya, dan sudah saatnya umat Islam mengikutinya. []

Tags: KDRTKekerasan seksualMarital RapeperkawinanRelasi
Ibnu Fikri Ghozali

Ibnu Fikri Ghozali

Saat ini sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di Prince of Songkla University, Thailand.

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID