Mubadalah.id – Di era digital ini, kita sering menyaksikan fenomena yang paradoks. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang demokratis bagi siapa saja untuk bersuara. Namun di sisi lain, ruang yang sama kerap menjadi arena intimidasi. Terutama bagi perempuan yang berani mengungkapkan pengalaman kekerasan atau ketidakadilan yang mereka alami.
Ketika seorang perempuan mengunggah cerita tentang pelecehan atau diskriminasi yang ia alami, respons yang muncul sering kali justru berupa serangan balik. Komentar-komentar yang menyalahkan korban, meragukan kredibilitas mereka, atau bahkan menyerang penampilan fisik mereka menjadi pemandangan yang terlalu familiar di timeline kita. Yang lebih memprihatinkan, banyak dari komentar destruktif ini justru datang dari akun-akun laki-laki.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, mengapa sebagian laki-laki merasa tak punya tanggung jawab ketika melihat kekerasan digital terhadap perempuan?
Ruang Aman Digital sebagai Kebutuhan Mendasar
Ruang aman dunia digital bukanlah konsep yang berlebihan atau terlalu sensitif. Ini adalah kebutuhan mendasar dalam masyarakat yang mengklaim diri sebagai beradab. Ruang aman digital adalah lingkungan terbuka bagi setiap individu, khususnya perempuan, dapat mengekspresikan diri, berbagi pengalaman, dan mencari dukungan tanpa takut menghadapi serangan, pelecehan, atau victim blaming.
Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa kekerasan digital terhadap perempuan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Banyak perempuan yang akhirnya memilih untuk diam daripada menghadapi risiko cyberbullying atau serangan verbal di media sosial. Ironisnya, kebisuan ini justru melanggengkan siklus kekerasan karena pelaku merasa bebas melakukan tindakannya tanpa konsekuensi.
Dalam konteks dakwah dan pendidikan Islam, ruang aman digital menjadi semakin krusial. Bagaimana mungkin kita bisa membangun masyarakat yang berkeadilan jika separuh dari populasinya merasa tidak aman untuk bersuara? Bagaimana mungkin nilai-nilai Islam tentang keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah bisa ditegakkan jika kita membiarkan intimidasi digital berlangsung di hadapan kita?
Media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan dan pencerahan, malah kerap berubah menjadi medan pertempuran yang merugikan pihak yang sudah rentan. Ini adalah kontradiksi yang harus kita atasi bersama.
Mengapa Banyak Laki-Laki Merasa “Bukan Urusanku”?
Salah satu fenomena yang paling problematis dalam diskusi tentang kekerasan digital adalah sikap apatis sebagian laki-laki. Mereka cenderung memandang masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai “urusan internal” perempuan, sehingga merasa tidak perlu terlibat atau bahkan sekadar peduli.
Sikap ini mencerminkan pemahaman yang dangkal tentang tanggung jawab sosial dan keagamaan. Banyak laki-laki yang tidak menyadari bahwa dengan memilih diam ketika menyaksikan kekerasan digital, mereka sebenarnya sedang memberikan ruang bagi kekerasan tersebut untuk terus berlanjut. Dalam banyak kasus, diam sama saja dengan membiarkan, dan membiarkan sama saja dengan turut bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi.
Ada juga kecenderungan untuk meminimalkan dampak kekerasan digital dengan menganggapnya sebagai “hal sepele” atau “Cuma di internet”. Padahal, dampak psikologis dari cyberbullying dan victim blaming bisa sangat serius dan berkepanjangan. Komentar yang dianggap “biasa saja” oleh pelaku bisa menjadi trauma yang mendalam bagi korban.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika sikap apatis ini dibalut dengan justifikasi keagamaan yang keliru. Ada laki-laki yang merasa bahwa tidak peduli dengan masalah perempuan adalah bagian dari “menjaga jarak” atau “tidak ikut campur”. Padahal, ajaran Islam justru menekankan pentingnya saling melindungi dan membela yang lemah, terlepas dari gender.
Peran Transformatif Laki-Laki dalam Ruang Digital
Laki-laki memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menciptakan ruang digital yang aman. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma dari “bukan urusanku” menjadi “ini tanggung jawabku juga”. Ketika laki-laki mulai memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah bersama yang memerlukan solusi bersama, barulah perubahan sejati bisa terjadi.
Peran paling mendasar yang bisa dilakukan laki-laki adalah tidak menyalahkan korban. Ketika seorang perempuan berani bersuara tentang kekerasan yang dialaminya, respons yang seharusnya diberikan adalah dukungan dan empati, bukan skeptisisme atau pembenaran terhadap pelaku. Korban kekerasan membutuhkan ruang untuk bersuara, bukan ruang untuk dihakimi atau dipertanyakan kredibilitasnya.
Selain itu, laki-laki juga bisa berperan sebagai edukator bagi sesama laki-laki. Banyak perilaku victim blaming atau kekerasan digital yang terjadi karena kurangnya kesadaran tentang dampaknya. Laki-laki yang sudah memiliki kesadaran gender bisa berperan aktif dalam mengedukasi teman-temannya melalui diskusi, sharing konten edukatif, atau sekadar memberikan perspektif yang berbeda ketika melihat perilaku problematis.
Peran lain yang tidak kalah penting adalah menjadi pembela aktif. Ketika menyaksikan komentar yang merendahkan atau menyerang perempuan, laki-laki bisa langsung memberikan respons yang membela korban. Ini bukan berarti harus terlibat dalam perdebatan panjang, tapi setidaknya memberikan sinyal bahwa perilaku tersebut tidak dapat diterima.
Menuju Transformasi Kolektif
Menciptakan ruang aman digital bukanlah proyek individual, melainkan tanggung jawab kolektif yang memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak. Laki-laki, dengan privilege dan power yang sering kali mereka miliki di ruang digital, memiliki peran yang sangat strategis dalam transformasi ini.
Ketika laki-laki mulai memahami bahwa menciptakan ruang aman digital adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai Muslim, sebagai manusia, dan sebagai anggota masyarakat, maka perubahan yang sesungguhnya akan terjadi. Ruang aman bukanlah privilege eksklusif untuk perempuan, melainkan hak dasar bagi semua orang yang menginginkan lingkungan yang adil dan saling menghormati.
Setiap laki-laki memiliki pilihan setiap hari, yakni apakah akan diam dan membiarkan kekerasan digital terus berlanjut, ataukah akan mengambil peran aktif dalam menciptakan perubahan. Pilihan ini bukan hanya tentang perempuan, tapi juga tentang karakter masyarakat yang ingin kita bangun bersama.
Ruang aman digital adalah investasi untuk masa depan yang lebih adil. Ketika kita berhasil menciptakannya, kita tidak hanya melindungi perempuan dari kekerasan, tapi juga membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan untuk berkontribusi dalam pembangunan masyarakat yang lebih baik.
Laki-laki pun bisa menjadi bagian dari perubahan ini dengan memilih untuk tidak diam, tidak menyakiti, dan selalu berdiri bersama kebenaran. Saatnya untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya penonton, melainkan agen perubahan yang aktif dalam menciptakan dunia digital yang lebih aman dan adil untuk semua. []