Mubadalah.id – Setiap pergantian waktu, baik tahun Masehi maupun Hijriyah, seharusnya menjadi pengingat untuk memperlambat langkah, menoleh sejenak ke belakang, dan bertanya “sudah sejauh mana saya menjadi pribadi yang lebih baik?.”
Bulan Muharam, sebagai bulan pembuka dalam kalender Hijriyah, menyimpan makna spiritual yang dalam. Ia bukan sekadar pergantian angka tahun, tetapi menjadi momentum reflektif untuk mengevaluasi diri dan memperbarui niat. Tradisi muhasabah di bulan ini bukan hanya bentuk ibadah. Tetapi juga wujud kesadaran manusia untuk terus bertumbuh, meski pelan, meski jatuh-bangun.
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 36:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan) yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36)
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya menjaga diri dan menghindari perbuatan zalim, terlebih di bulan-bulan mulia seperti Muharam. Momentum ini seharusnya dimaknai bukan hanya sebagai waktu yang suci, tetapi sebagai panggilan untuk menyucikan niat, pikiran, dan tindakan.
Bulan Muharam juga mengingatkan kita pada makna “hijrah”. Hijriyah bukan hanya soal perpindahan tempat, tetapi lebih dari itu: hijrah adalah perubahan sikap, niat, dan arah hidup.
Dalam konteks ini, tahun baru Hijriyah menjadi titik awal untuk menata ulang hidup, meninggalkan yang buruk, memperbaiki yang rusak, dan meluruskan yang bengkok.
Di Pesantren
Saya masih ingat pengalaman pribadi ketika berada di lingkungan pesantren. Setiap malam 1 Muharam, suasana berubah menjadi sangat tenang dan khusyuk. Para santri berjalan perlahan ke masjid membawa mushaf, membaca Al-Qur’an, bersalawat, dan mendengarkan nasihat dari para kiai.
Di momen itu, banyak yang meneteskan air mata. Bukan karena suasana haru semata, tapi karena sadar: banyak kesalahan yang telah diperbuat, baik pada diri sendiri, orang tua, guru, maupun teman.
Muharam menjadi waktu di mana kami saling meminta maaf dan mendoakan agar bisa lebih baik ke depannya. Karena, tidak ada yang merasa paling benar, tidak ada yang merasa suci. Semua sedang belajar memperbaiki diri, bersama-sama.
Salah satu hari penting dalam bulan ini adalah Hari Asyura, yaitu tanggal 10 Muharam. Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa puasa Asyura dapat menjadi penebus dosa selama setahun sebelumnya. Ini bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga simbol harapan: bahwa siapa pun bisa memulai dari awal, dan setiap dosa punya ruang untuk dimaafkan selama ada kesungguhan untuk berubah.
Introspeksi bukan berarti menenggelamkan diri dalam penyesalan, tetapi menjadi jalan untuk tumbuh lebih kuat. Bahkan dalam konteks spiritual dan sosial, introspeksi dapat membantu manusia untuk lebih sadar diri, rendah hati dan bijak dalam menapaki langkah hidup berikutnya.
Menjadi manusia bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang memiliki kesadaran untuk memperbaiki diri terus-menerus. Setiap tahun yang berganti adalah kesempatan kedua atau bahkan kesempatan keseratus yang diberikan Tuhan agar kita tidak terus berada di tempat yang sama.
Karena sejatinya, waktu terus berjalan, dan tugas kita adalah memastikan diri tidak sekadar ikut bergerak, tetapi juga bertumbuh. []