Mubadalah.id – Ungkapan “menikah itu sunnah” begitu sering kita dengar dalam ceramah-ceramah keagamaan atau nasihat orang tua. Kalimat ini seolah-olah menjadi pengingat bahwa menikah adalah bagian dari ibadah, dan siapa yang tidak melaksanakannya dianggap menyalahi ajaran agama.
Padahal, dalam diskursus fiqh Islam, hukum menikah tidak bersifat tunggal. Ia bersifat kondisional. Bahkan sangat bergantung pada kesiapan dan keadaan seseorang yang akan menjalaninya.
Mayoritas ulama fiqh sudah sejak lama merumuskan bahwa menikah bisa sunnah, wajib, makruh, bahkan haram, tergantung situasi orang yang bersangkutan.
Hal ini seperti dijelaskan oleh ulama besar Ibn Daqiq al-‘Id, menikah bisa menjadi wajib bila seseorang khawatir dirinya terjerumus dalam perzinahan jika tidak menikah.
Namun sebaliknya, bisa menjadi haram jika pernikahan justru akan menjadi ruang kezaliman terhadap pasangan—misalnya karena ketidakmampuan memberi nafkah lahir maupun batin, atau karena adanya niat menyakiti (lihat Fath al-Bari, jilid X, hlm. 138–139).
Bahkan dalam kondisi tertentu, pernikahan hanya sunnah jika seseorang tidak tergantung secara biologis dan emosional terhadap pasangan. Namun tetap melihat manfaat dalam ikatan tersebut.
Jika justru berpotensi menimbulkan mudharat dan tidak membawa manfaat apa pun, maka hukum menikah bisa turun menjadi makruh. Dengan kata lain, hukum pernikahan tidak bisa kita samaratakan, apalagi kita paksakan atas nama ajaran agama.
Sayangnya, banyak umat Islam masih memahami hadis “menikah adalah sunnah” secara literal dan kontekstual sempit, seolah berlaku mutlak untuk semua orang, dalam semua kondisi.
Pandangan Ulama Fiqh
Padahal, para ulama fiqh sudah sangat cermat membaca konteks kehidupan nyata di balik teks hadis tersebut. Mereka menyadari bahwa institusi pernikahan tak selalu membawa berkah, dan dalam banyak kasus bisa menjadi sumber penderitaan.
Dalam Islam, ada nilai yang jauh lebih prinsip daripada hanya sekadar menikah atau tidak menikah, yakni keadilan, kesalingan, dan penolakan terhadap kezaliman.
Maka, jika sebuah perkawinan hanya akan menjadi ajang kekerasan, penistaan, atau eksploitasi terhadap salah satu pihak—baik perempuan maupun laki-laki. Maka pernikahan itu wajib ia cegah.
Dalam kaidah fiqh disebutkan, segala hal yang mengarah pada mudharat atau keburukan harus ditolak. Prinsip ini lebih utama daripada sekadar memenuhi anjuran menikah.
Untuk itulah, penting untuk memaknai kembali ajaran “menikah itu sunnah” dengan lebih kritis dan bijaksana. Karena pada akhirnya, Islam lebih mengutamakan kemaslahatan, keadilan, dan martabat manusia. []