Mubadalah.id – Ketika Laskar Pelangi tayang pada 2008, film ini segera menjadi fenomena nasional. Diangkat dari novel Andrea Hirata, film garapan Riri Riza ini bukan sekadar kisah anak-anak miskin di Belitung yang berjuang bersekolah.
Ia adalah cermin bagaimana kesalingan antara guru, murid, keluarga, dan komunitas mampu melahirkan cahaya harapan di tengah keterbatasan. Film ini mengajak kita menengok kembali makna pendidikan: bukan hanya soal gedung megah atau kurikulum modern, tetapi tentang hati yang saling menguatkan.
Guru dan Murid: Relasi Kesalingan yang Menghidupkan
Tokoh Bu Muslimah dan Pak Harfan adalah simbol dedikasi. Meski mengajar dengan fasilitas seadanya—bangku reyot, atap bocor, papan tulis usang—mereka tetap mengabdi. Bu Mus digambarkan bukan hanya sebagai guru, tetapi juga ibu kedua bagi murid-muridnya. Ia mengajarkan kesabaran, cinta, dan keyakinan bahwa setiap anak berhak bermimpi.
Sementara itu, Lintang, Ikal, Mahar, dan teman-temannya memperlihatkan bentuk kesalingan lain: menghormati guru, bersemangat belajar meski dengan keterbatasan, dan tidak menyerah pada keadaan. Lintang menempuh puluhan kilometer bersepeda hanya untuk hadir di kelas. Itu bukan sekadar tekad pribadi, tetapi juga penghargaan kepada guru yang setiap hari menunggu mereka di sekolah.
Dalam perspektif Islam, relasi ini sangat dekat dengan hadis Nabi ﷺ: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Guru dan murid bukan dua pihak yang terpisah, tetapi saling menghidupkan. Guru memberi ilmu, murid memberi energi dan makna. Kesalingan di sini adalah fondasi peradaban.
Masyarakat dan Negara: Antara Ketiadaan dan Kehadiran
Film ini menggambarkan paradoks: negara hadir dalam simbol kebijakan pendidikan, tetapi sering absen dalam kenyataan. Sekolah Muhammadiyah yang hampir ditutup karena muridnya tinggal 10 orang adalah potret getir ketidakadilan struktural.
Namun, di sisi lain, masyarakat justru saling menopang. Orang tua tetap menyekolahkan anak, meski harus berhemat. Komunitas kampung mendukung, karena mereka tahu pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib. Di sini terlihat kesalingan rakyat dengan rakyat, guru dengan komunitas, anak-anak dengan impian mereka.
Pertanyaannya: mengapa negara yang seharusnya menjadi pilar utama pendidikan justru sering hadir terlambat? Data UNESCO 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius: sekitar 1 dari 5 anak di pedesaan kesulitan menyelesaikan pendidikan dasar. Film Laskar Pelangi menjadi refleksi nyata dari data tersebut: tanpa dukungan masyarakat dan guru, banyak anak kehilangan masa depan.
Pendidikan sebagai Investasi, Bukan Beban
Laskar Pelangi mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak boleh dipandang sebagai beban anggaran, tetapi sebagai investasi peradaban. Dari satu guru lahir puluhan anak berdaya. Dari satu sekolah kecil lahir cahaya harapan satu kampung.
Prinsip kesalingan menuntut agar semua pihak berperan. Negara wajib menyediakan fasilitas dan kebijakan yang adil. Masyarakat wajib mendukung dengan partisipasi aktif. Guru wajib mengajar dengan ketulusan. Murid wajib berusaha dengan sungguh-sungguh. Jika salah satu abai, pendidikan rapuh. Jika semua saling menopang, pendidikan menjadi tangga peradaban.
Dalam maqashid syariah, menjaga ilmu (hifdz al-‘ilm) adalah bagian dari tujuan dasar agama. Itu berarti pendidikan bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga tanggung jawab spiritual. Film ini menegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar janji konstitusi, melainkan ibadah kolektif.
Laskar Pelangi sebagai Cermin Kesalingan
Laskar Pelangi bukan hanya film tentang anak-anak miskin di Belitung, tetapi kisah universal tentang kesalingan. Dari Bu Mus kita belajar bahwa dedikasi tidak ditentukan oleh gaji. Dari Lintang kita belajar bahwa jarak panjang tidak bisa mengalahkan semangat. Dari Ikal kita belajar bahwa mimpi bisa tumbuh bahkan di tanah yang gersang.
Kesalingan dalam film ini menegaskan: pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Guru tidak bisa sendirian, masyarakat tidak bisa pasif, negara tidak boleh abai, dan murid tidak boleh menyerah. Kemerdekaan sejati baru terasa jika semua pihak saling menguatkan.
Ketika kita menonton Laskar Pelangi, kita tidak hanya menyaksikan kisah Belitung. Kita sedang melihat wajah bangsa kita sendiri. Sebuah bangsa yang masih berjuang agar pendidikan tidak berhenti di papan tulis reyot, tetapi benar-benar menjadi cahaya peradaban. []