Mubadalah.id – Perkembangan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), dalam beberapa tahun terakhir begitu pesat. AI mampu menghadirkan banyak kemudahan: membantu pekerjaan manusia, mendukung proses pembelajaran, mempercepat riset, hingga menjadi sarana hiburan.
Namun, di balik manfaatnya, AI juga menyimpan sisi gelap yang tidak boleh diabaikan. Ia bisa disalahgunakan untuk tujuan merusak, bahkan menimbulkan korban nyata di dunia nyata.
Kasus terbaru di Kota Cirebon seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Melansir dari Radarcirebon.com puluhan siswa dari sekolah favorit di kota tersebut menjadi korban penyalahgunaan teknologi AI.
Tiga remaja diduga menggunakan kecerdasan buatan untuk mengedit foto teman-temannya menjadi bermuatan asusila, kemudian memperjualbelikannya lewat aplikasi Telegram. Ironisnya, keuntungan dari aksi kriminal itu dipakai untuk membiayai judi online.
Tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan kemanusiaan. Foto yang dipalsukan dengan muatan asusila meninggalkan luka mendalam bagi para korban, terutama dari sisi psikologis. Mereka trauma, cemas, dan merasa masa depan akademik serta sosialnya bisa hancur.
Menurut kuasa hukum korban seperti dalam wawancara Kompas.com, korban mengalami rasa takut akan stigma sosial yang menyakitkan. Bayangkan, di usia remaja yang seharusnya menjadi fase pertumbuhan dan pembentukan identitas diri, mereka justru harus menanggung beban psikis akibat kejahatan digital.
Dalam kasus ini, sekolah memang telah memberikan pendampingan psikologis. Namun, sanksi terhadap para pelaku hanya berupa surat peringatan, yang oleh banyak pihak menganggapnya terlalu ringan.
Akhirnya, keluarga korban memilih menempuh jalur hukum. Saat ini polisi tengah mengusut kasus tersebut dengan pasal-pasal terkait perlindungan data pribadi dan pornografi digital. Tiga pelaku pun akhirnya mengundurkan diri dari sekolah.
Pelajaran Bagi Kita
Kasus ini mengajarkan kita dua hal penting. Pertama, perkembangan teknologi tanpa dibarengi etika akan menghasilkan kerusakan yang nyata. AI bukan sekadar alat pintar, melainkan pisau bermata dua. Ia bisa dipakai untuk kebaikan, tapi juga bisa dipakai untuk melukai.
Kedua, sistem pengawasan di lingkungan pendidikan maupun keluarga masih lemah dalam menghadapi tantangan digital. Para remaja ternyata bisa begitu mudah memanfaatkan teknologi canggih, namun tidak memiliki bekal pemahaman moral dan etika digital yang memadai.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, penegakan hukum harus tegas. Kasus ini tidak bisa kita anggap sepele hanya karena pelakunya masih remaja. Efek jera sangat penting agar masyarakat, khususnya generasi muda, sadar bahwa penyalahgunaan teknologi memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Kedua, literasi digital harus kita perluas. Pemerintah, sekolah, dan orang tua perlu bekerja sama untuk memberikan edukasi tentang bahaya penyalahgunaan teknologi digital, termasuk deepfake, pornografi digital, dan judi online.
Oleh karena itu, remaja harus paham bahwa setiap jejak digital yang mereka buat bisa berdampak panjang, baik bagi hidupnya maupun orang lain.
Pendampingan Korban
Ketiga, pendampingan korban jangan dilupakan. Trauma yang dialami para siswa di Cirebon bukan sesuatu yang mudah hilang. Dukungan psikologis yang berkelanjutan sangat dibutuhkan, agar mereka bisa pulih dan kembali percaya diri untuk menatap masa depan.
Keempat, pembelajaran etika digital harus menjadi bagian dari kurikulum. Sama seperti kita belajar pendidikan agama dan Pancasila, etika digital pun sudah seharusnya menjadi mata pelajaran wajib. Generasi muda perlu kita bekali bukan hanya kecakapan menggunakan teknologi, tetapi juga tanggung jawab moral dalam menggunakannya.
Oleh karena itu, dari kasus Cirebon seharusnya tidak berhenti sebagai berita heboh sesaat. Ia harus menjadi pelajaran kolektif, bahwa teknologi canggih tanpa etika hanya akan melahirkan kejahatan.
Semoga dari kasus ini, kita semua yaitu orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat luas untuk lebih serius membangun generasi digital yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab. []