Mubadalah.id – Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Indonesia selalu menjadi momen yang istimewa. Ia tidak hanya berlangsung di ruang-ruang ibadah seperti masjid, surau, dan majelis taklim, tetapi juga di pondok pesantren, lembaga sosial, bahkan instansi pemerintahan.
Kehadiran Maulid Nabi Saw di ruang publik menegaskan betapa kuatnya posisi Nabi dalam kehidupan umat Islam Nusantara bukan sekadar teladan spiritual, melainkan juga simbol pemersatu dan penguat kebudayaan.
Di berbagai daerah, tradisi Maulid memiliki nama dan bentuk berbeda. Di Cirebon, ia dikenal dengan istilah Muludan. Sementara di Yogyakarta dan Surakarta, puncak perayaannya disebut Grebeg Muludan. Ritual ini khas karena raja membagi makanan yang dikemas dalam bentuk gunungan untuk diperebutkan rakyat.
Tradisi yang diselenggarakan setiap 12 Rabiul Awal itu memperlihatkan keterjalinan erat antara Islam, budaya keraton, dan masyarakat. Maulid bukan hanya acara keagamaan, melainkan juga pesta rakyat yang menyatukan semua lapisan sosial.
Perayaan biasanya dimulai sejak siang. Jalan-jalan kota dipenuhi masyarakat yang berbondong-bondong menuju pusat acara, baik masjid, alun-alun, maupun keraton. Anak-anak, pelajar, pemuda, hingga orang tua terlibat dalam pawai keliling kampung atau kota.
Perayaan Maulid di Sejumlah Tempat
Di sejumlah tempat, Maulid bahkan menjadi momentum sosial melalui kegiatan seperti khitanan massal gratis untuk warga kurang mampu. Anak-anak yang dikhitan diarak, diberi pakaian baru, lalu menjalani prosesi dengan penuh suka cita.
Ketika malam tiba, puncak peringatan berlangsung dengan nuansa khidmat sekaligus meriah. Masyarakat biasanya menghadirkan penceramah terkenal yang mengurai kisah hidup Nabi sejak lahir hingga wafat. Tidak jarang pula, kelompok pembaca shalawat hadir untuk melantunkan madah-madah Nabi, membangun suasana religius yang penuh rasa cinta kepada Rasulullah.
Di pondok pesantren, majelis taklim, maupun lingkungan kampung, Maulid lebih menekankan dimensi keilmuan dan spiritual. Sirah Nabawiyah mereka bacakan, baik dalam bentuk narasi prosais maupun puisi.
Kitab-kitab klasik seperti Maulid al-Diba’i karya Abd al-Rahman al-Diba’i, Qashidah Burdah karya al-Bushairi, atau Al-Barzanji karya Syekh Zain al-Abidin al-Barzanji, menjadi bacaan utama.
Dari teks-teks inilah masyarakat belajar mengenal sosok Nabi bahwa tidak hanya sebagai figur sejarah, tetapi juga sebagai teladan akhlak, pemimpin moral, dan cahaya bagi kehidupan umat.
3 Nilai
Jika kita perhatikan, perayaan Maulid Nabi Saw di Indonesia memiliki tiga nilai sekaligus. Pertama, nilai spiritual. Maulid menjadi media menumbuhkan cinta kepada Rasulullah dan memperdalam pengetahuan tentang beliau.
Kedua, nilai sosial. Momentum ini bisa kita gunakan untuk memperkuat solidaritas, misalnya melalui bakti sosial, khitanan massal, atau pembagian makanan.
Ketiga, nilai kultural. Maulid Nabi Saw menyerap unsur-unsur tradisi lokal, seperti gunungan di keraton Jawa atau arak-arakan di pesisir, menjadikannya identitas khas Islam Nusantara.
Namun, pertanyaan penting muncul: apakah Maulid cukup kita pahami sebatas seremoni tahunan? Di tengah berbagai tantangan kebangsaan—kemiskinan, intoleransi, polarisasi sosial—peringatan Maulid bisa lebih dari sekadar perayaan kelahiran Nabi. Ia bisa menjadi ruang refleksi untuk menghidupkan kembali ajaran Rasulullah tentang kasih sayang, persaudaraan, dan keadilan.
Dalam konteks Indonesia, Maulid Nabi bahkan memiliki nilai kebangsaan. Ia memperlihatkan bagaimana Islam bisa hidup berdampingan dengan tradisi lokal tanpa kehilangan ruhnya.
Dari keraton Jawa hingga surau di pelosok desa, dari pesantren hingga alun-alun kota, Maulid menegaskan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang ramah, membumi, dan penuh kearifan lokal.
Dengan demikian, Maulid Nabi Saw di Indonesia bukan hanya tradisi turun-temurun. Ia adalah perayaan spiritual, sosial, dan kultural yang menyatukan umat.
Lebih jauh lagi, ia menjadi pengingat bahwa cinta kepada Rasulullah harus kita wujudkan dalam tindakan nyata yaitu menjaga persaudaraan, memperkuat solidaritas, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah hiruk pikuk zaman modern, semangat Maulid mengajak kita untuk tidak sekadar merayakan, tetapi juga meneladani. Sebab, Rasulullah tidak hanya lahir untuk dikenang, melainkan untuk diikuti jejaknya: sebagai rahmat bagi semesta. []