Mubadalah.id – Bulan Maulid identik dengan lantunan selawat, zikir, memperdalam pemahaman tentang sirah Nabi, serta melakukan amalan kebaikan seperti yang dulu Nabi saw lakukan. Yakni bersedekah, berpuasa sunnah, berbagi makanan serta kasih sayang kepada sesama, dan lain-lain.
Namun, di bulan mulia ini, tidak hanya lantunan selawat yang bergema, tetapi juga peristiwa yang sangat kontradiktif. Jauh dari nilai-nilai kenabian, yang kita dengar.
Kita semua tahu betapa adiluhungnya Nabi Saw. Dalam hal apapun, di mana pun, di bidang apapun. Dalam hal kepemimpinan, misalnya. Ketika Nabi Saw mengejawantahkan sikap yang santun, ramah, dan berbasis pada kasih sayang kemanusiaan, di negeri ini yang terjadi justru sebaliknya.
Terutama para anggota DPR dan sejumlah elit di tingkat daerah, sebut saja misalnya Bupati Pati. Semuanya tampak terpaut jauh dari apa yang pernah diajarkan Nabi Saw. Bahkan mendekatinya pun sulit kita membayangkan.
Di bulan yang agung, untuk mengenang manusia paling berpengaruh dalam sejarah alam raya, sang kekasih Allah swt, alangkah baiknya para pejabat publik dan aparat penegak hukum, di manapun dan kapanpun, agar bisa mengendalikan segala tindak-tanduknya, baik ucapan maupun tindakan. Sebab, sedikit saja kesalahan, bisa membikin rakyat marah, yang dampaknya bisa luar biasa.
Rentetan Demonstrasi
Seperti rentetan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Arogansi pejabat publik, bertambah dengan kebijakan yang tidak pro rakyat, dapat memercikan api. Api itu lalu perlahan berkobar menjadi besar, besar, dan besar. Jika tidak dipadamkan, niscaya kobaran api bisa melahap apa saja. Tentu saja ini akan menambah masalah dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terhitung sejak 30 Agustus 2025 (utamanya sejak terlindasnya Affan oleh mobil brimob) hingga sekarang, kita telah menyaksikan tidak sedikit peristiwa demonstrasi di berbagai daerah. Dari aksi yang digelar oleh para ojol, hingga demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis seperti pembakaran gedung, perusakan fasilitas umum, hingga penjarahan, sampai timbulnya korban jiwa.
Di Kota Pekalongan, misalnya, masyarakat membakar gedung DPRD dan kantor Walikota. Mereka juga mengambil barang-barang yang ada di gedung tersebut. Beberapa hari berselang, beredar pengumuman di media sosial. Inti pengumuman itu, warga diminta mengembalikan barang-barang yang dijarah lewat kelurahan masing-masing. Identitas penjarah akan disembunyikan, dan juga tidak akan diproses secara hukum.
Dalam konteks tulisan ini, saya tidak membela para penjarah. Namun, rasanya kurang adil jika rakyat kecil yang terus menerus dinilai anarkis, tak beradab, dan brutal. Kita sepakat, tindakan anarkis bukan sifat yang diteladankan oleh Nabi.
Tapi kita juga perlu mempertanyakan, apakah hal yang sama harus kita tegakkan ke para pejabat korup? Mereka yang mencuri uang rakyat dengan jumlah yang sangat banyak, sudah seharusnya ditindak tegas dan diminta juga agar menyerahkan kembali uang yang mereka curi, tanpa berkurang sepeser pun.
Sahkan RUU Perampasan Aset
Di sinilah pentingnya RUU perampasan aset agar disahkan. RUU Perampasan aset merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi. Di mana RUU ini kita yakini menjadi instrumen penting dalam mengejar aset hasil korupsi hingga pencucian uang. RUU ini tidak saja sebagai pendekatan memiskinkan pejabat korup untuk efek jera, tapi juga sebagai simbol bahwa negara masih berdiri di pihak rakyat.
Negara harus betul-betul hadir menyerap aspirasi rakyat jika tidak ingin terulang peristiwa pembakaran gedung DPRD dan penjarahan-penjarahan ke rumah pejabat lainnya.
Apapun alasannya, aksi penjarahan ke rumah beberapa anggota DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, tidak bisa kita benarkan. Selain menyebabkan kerugian harta, aksi tersebut juga menimbulkan trauma dan ketakutan pada pemilik rumah dan keluarganya.
Lalu, kita kemudian bertanya lagi, bagaimana jika yang berperangai anarkis adalah para pejabat? Tentu yang dirugikan bukan cuma satu dua keluarga, tapi ribuan bahkan jutaan orang yang menggantungkan hidupnya lewat jalan berdagang, bertani, berlayar, dan lain sebagainya.
Apabila pemegang kekuasaan menilai rakyat berbuat anarkis hanya karena merobohkan fasilitas umum, menjarah rumah para pejabat, dan membumihanguskan istana DPRD. Lalu penguasa yang memberi izin bagi perusahaan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, pejabat yang bikin kebijakan hanya menguntungkan para oligarki, hingga pemimpin yang bikin aturan-aturan yang tak berpihak ke rakyat kecil, itu kita sebut apa?
Saya yakin rakyat tidak akan bertindak sebrutal dan se-anarkis itu, jika lapangan pekerjaan melimpah ruah, gaji guru dan dosen honorer dinaikkan, petani hingga nelayan lebih diperhatikan kesejahteraannya. Tidak hanya itu, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan korupsi juga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Gaya hidup mewah para pejabat yang doyan flexing juga harus berkurang, agar tidak memancing amarah publik.
Tidak Asap Jika Tidak Ada Api
Jika kita melihat lebih dalam derasnya gelombang demonstrasi belakangan ini, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Dalam arti, gelombang demonstrasi di berbagai daerah sejak akhir Agustus hingga Awal September lalu bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Poin kuncinya: rakyat merasa tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang mendalam dari pemerintah. Itu di satu sisi. Di sisi lain, negara terkesan lebih peduli terhadap kemakmuran para elit.
Hasilnya dapat kita tebak. Masyarakat mulai mual. Pada akhirnya, mereka dari mulai mahasiswa, buruh, aktivis sosial, ojol, sampai emak-emak, pun berbondong-bondong turun ke jalan. Ada aspirasi yang mereka sampaikan, yakni terkait berbagai masalah dan kesulitan ekonomi yang masyarakat hadapi. Antara lain terkait pengangguran, pelemahan daya beli dan iklim investasi belum kondusif.
Pada momentum yang sama, secara kebetulan kaum alit tersuguhi perilaku elit dan pejabat publik yang kontradiktif dengan situasi ekonomi dan sosial masyarakat yang sedang cemas. Seperti pemberian posisi tambahan sebagai komisaris BUMN bagi para wakil menteri, serta pemberian tunjangan perumahan yang fantastis untuk anggota DPR. Lebih memprihatinkan, penampilan anggota DPR berjoget ria saat Sidang Tahunan MPR (15 Agustus 2025).
Secara lengkap, ada 17+8 tuntutan masyarakat yang tertuju masing-masing kepada Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Umum Partai Politik (Parpol), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kementerian Sektor Ekonomi. Ada banyaknya tuntutan perbaikan dari rakyat, pada akhirnya membuat kita pun perlu mempertanyakan, sejauh mana bentuk kasih sayang pemerintah kepada rakyatnya?
Catatan Refleksi
Gelombang demonstrasi semoga bisa membuat para pejabat tinggi, baik eksekutif maupun legislatif, lebih peka lagi terhadap persoalan yang ada di akar rumput. Pun begitu, para wakil rakyat perlu lebih berhati-hati lagi dalam bertindak dan berucap.
Pejabat publik yang selama ini arogan dan suka pamer kemewahan, juga perlu berhenti dari sikap tak terpujinya itu. Kita tentu sangat berharap, jangan sampai ada korban jiwa lagi akibat demonstrasi di negeri yang Baldatun Tayibatun Warabbun Ghafur ini.
Di bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, para elit penguasa dan pengendali partai politik, perlu kiranya merefleksikan diri. Tanyakan dalam-dalam di dada kalian masing-masing, sudah sejauh mana berbuat yang terbaik dan adil untuk rakyat? Seberapa besar perhatian yang kau curahkan untuk rakyat yang dulu telah memilih mu?
Dalam hal ini Nabi Saw harus kita jadikan suri tauladan. Nabi Saw sangat menyayangi dan mencintai umatnya melebihi diri sendiri. Terbukti dari berbagai tindakan seperti berdoa untuk umatnya, memperjuangkan kemaslahatan mereka dengan mengorbankan harta dan waktu. Lalu memberikan syafaat di hari kiamat, hingga menunjukkan kasih sayang melalui sikap lemah lembut dan memaafkan dalam dakwahnya, bahkan kepada musuhnya.
Jika para pemegang kuasa di Indonesia tidak mampu memberikan syafaat bagi rakyatnya di hari kiamat kelak, paling tidak, di dunia ini jangan membuat rakyat patah harapan dan hilang semangat. []