Mubadalah.id – Pendidikan dan pengasuhan anak yang adil gender memegang peran penting dalam membentuk masyarakat yang sehat, setara, dan penuh kemaslahatan. Negara mana pun, termasuk Malaysia, jangan berharap akan hidup yang penuh keadilan apabila setengah dari populasinya masih terhambat oleh stereotip dan perlakuan diskriminatif terhadap masyarakatnya.
Meski berbagai kebijakan telah digagas untuk mendorong kesetaraan. Namun dalam praktik di lapangan menunjukkan jalan yang masih panjang. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk mengeksplorasi potensi diri. Justru sering kali menjadi ruang untuk mereproduksi pandangan yang mendiskriminasi.
Di sejumlah sekolah menengah Malaysia, misalnya, kegiatan ekstrakurikuler masih dibagi berdasarkan jenis kelamin: anak perempuan diarahkan pada menjahit atau memasak. Sementara anak laki-laki difokuskan pada olahraga atau teknologi.
Sekilas tampak wajar, tetapi sesungguhnya pola ini membatasi kebebasan anak untuk memilih dan mengekspresikan minat mereka. Padahal, adanya pendidikan bertujuan membuka ruang seluas-luasnya, bukan membatasi anak pada kotak gender yang sempit.
Ketidakadilan Gender di Lingkup Keluarga
Selain di sekolah, ketidaksetaraan juga tampak jelas dalam pola asuh keluarga. Anak laki-laki sering diberi kebebasan lebih luas, bahkan didorong tampil sebagai pemimpin. Sebaliknya, anak perempuan diarahkan pada kepatuhan dan tugas domestik.
Dengan pola asuh seperti ini artinya ruang keluarga masih menciptakan ruang yang sangat timpang. Anak laki-laki mereka dorong untuk tumbuh. Sedangkan anak perempuan terbiasa mengalah.
Jika situasi ini dibiarkan, maka budaya ketidaksetaraan akan terus diwariskan lintas generasi. Karena itu, SIS Forum Malaysia menekankan pentingnya melibatkan anak laki-laki dan perempuan dalam proses pendidikan kesetaraan sejak dini.
Mereka perlu kita ajarkan bahwa menghormati laki-laki dan perempuan bukan sekadar persoalan moral pribadi. Melainkan fondasi bagi masyarakat yang adil dan beradab. Dengan cara ini, anak laki-laki dan perempuan akan tumbuh sebagai mitra setara yang siap membangun masa depan bersama.
Tantangan Kebijakan dan Implementasi
Di tingkat kebijakan, pemerintah Malaysia sebetulnya telah mendorong program pendidikan yang lebih setara gender. Namun, hambatan besar muncul pada tahap implementasi. Misalnya beberapa kurikulum masih belum cukup inklusif, pelatihan bagi guru minim, dan kesadaran orang tua kerap tertinggal.
Oleh sebab itu, beberapa bentuk diskriminasi gender yang terjadi baik di sekolah maupun di rumah, menunjukkan bahwa transformasi budaya tidak bisa selesai hanya dengan aturan formal.
Melainkan, pendidikan formal harus kita topang dengan pembaruan pola asuh dalam keluarga. Tanpa perubahan di rumah, nilai-nilai kesetaraan di sekolah akan cepat tergerus.
Pada akhirnya, pendidikan dan pengasuhan anak yang adil gender bukan semata soal memberi hak yang sama, melainkan membentuk karakter yang menghargai keberagaman. Anak yang tumbuh dalam lingkungan inklusif akan terbiasa bekerja sama, mendukung satu sama lain, dan memandang kesetaraan sebagai hal yang wajar, bukan ancaman.
Jika Malaysia serius ingin membangun masyarakat yang berkeadilan, langkah konkret harus segera diperkuat: revisi kurikulum agar lebih adil gender, pelatihan guru yang komprehensif, dan kampanye kesadaran bagi orang tua.
Bahkan, semua pihak—sekolah, keluarga, dan komunitas—perlu bergandengan tangan untuk menyiapkan generasi yang tidak lagi terjebak dalam pola diskriminasi.
Kesetaraan gender bukanlah tujuan akhir, melainkan fondasi untuk masyarakat yang lebih terbuka, adil, dan manusiawi. Dan proses itu, mau tidak mau, harus kita mulai sejak dini. Termasuk dari ruang kelas dan ruang keluarga. []