Mubadalah.id – Hingga saat ini, wacana keagamaan yang masih dipegang kuat oleh mayoritas muslim di seluruh dunia, adalah bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Ini sebuah istilah yang ingin menggambarkan bahwa perempuan adalah subyek yang dapat memicu kekacauan dan gangguan sosial.
Pemaknaan ini sebenarnya telah berubah dari makna genuinnya. Yakni cobaan atau ujian yang bisa ditujukan kepada semua orang baik laki-laki maupun perempuan.
Fitnah, dengan pemaknaan yang bias dan sempit itu kemudian menjadi kata kunci untuk menilai dan membatasi secara ketat seksualitas perempuan. Kata ini berkembang dan menyebar dalan teks-teks fikih pada setiap perbincangan mengenai isu-isu perempuan.
Sehingga dapat kita katakan bahwa secara umum, seksualitas perempuan pada akhirnya hanya dalam ruang domestik yang sempit dan menyesakkan. Wacana keagamaan ini berlangsung dan terbakukan untuk waktu yang sangat panjang. Bahkan tersosialisasi secara massif pada masyarakat muslim di seluruh dunia.
Sejarah fikih menunjukkan bahwa pembakuan wacana seksualitas perempuan ini sejak abad ke IV H/10 M. Sistem sosial yang patriarkhi kembali menguat dan mengakar. Selama lebih dari 10 abad, fikih Islam mengalami stagnasi. Kritisisme tidak berkembang, bahkan dalam banyak kasus kritik atas wacana keagamaan mainstream ini seringkali membahayakan dan mengancam.
Karena itu tak dapat kita ragukan bahwa nalar religius masyarakat muslim sampai hari ini adalah nalar yang telah terkonstruksikan dalam bingkai kebudayaan patriarkhi dengan corak Arabia abad pertengahan.
Prinsip-prinsip humanisme universal : kebebasan, kesetaraan, keadilan, sebagai cita-cita Islam menjadi seakan-akan “tak terpikirkan” lagi dan hilang dalam memori kolektif mereka.
Konsekuensi logis atas keadaan ini, adalah bahwa masyarakat dunia hanya mengerti Islam sebagai agama yang tidak memberikan tempat di ruang publik yang luas bagi seksualitas perempuan. Sekaligus mereduksi hak-hak privat mereka.