Mubadalah.id – Diterimanya perempuan memperoleh harta waris, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 11 adalah bagian dari keberhasilan reformasi Islam di atas. Perempuan, sebelum Islam, sama sekali tidak memperoleh bagian apapun dari harta yang ditinggalkan keluarganya yang wafat (meninggal dunia). Mereka mengatakan :
La nuritsu man la yarkabu farasan wa la yahmilu kallan wa Ia yanka-u aduwwan (kami tidak akan memberikan waris kepada mereka yang tidak menunggang kuda, tidak memikul beban ekonomi dan tidak berperang melawan musuh).
Perempuan adalah entitas yang tidak melakukan peran-peran tersebut. Ini sejatinya bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena secara sosial memang sengaja tidak mereka libatkan. Atau karena jargon tersebut memang sengaja disampaikan sebagai argumen yang menguntungkan laki-laki.
Para juris Islam berpendapat bahwa bagian waris perempuan adalah separoh bagian laki-laki, 1:2. Mereka mengambil legitimasi dari QS. an-Nisa ayat 11. Mereka juga menganggap dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan adalah prinsip dan mutlak. Ini berbeda dengan pandangan al-Qur’an sendiri. Bagian waris untuk ayah dan ibu, misalnya, menurut al-Qur’an dibagi secara sama ketika terdapat ahli waris anak (QS. an-Nisa ayat 11).
Tidak Stagnan
Dalam beberapa kasus, proporsi 2:1 juga tidak bisa kita terapkan secara konsisten. Misalnya kasus yang kita kenal dengan Umariyatain (dua keputusan Umar). Contohnya seorang perempuan mati, dengan meninggalkan ahli waris: suami, ibu dan ayah. Hukum waris akan membagi : suami, seperdua, ibu, sepertiga dalam kapasitas mereka sebagai “dzawu al furudh” (pemilik hak pasti), dan ayah sisanya.
Di sini tampak bagian ayah (laki-laki) lebih kecil dari ibu (perempuan). Bagaimana pula kita menghitungnya secara proporsi tadi, ketika yang mati adalah laki dengan ahli waris istri, ibu dan ayah?. Al-Qur’an menyebutkan bahwa bagian istri seperempat dan ibu sepertiga sebagai hak pasti mereka. Lalu berapakah bagian ayah (laki-laki)? Bukankah itu 5/12 yang secara pasti tidak dua kali dari ibu (perempuan)?
Adalah menarik bahwa teks al-Qur’an menyebutkan pembagian waris laki-laki dan perempuan tersebut dengan kalimat : “Li al dzakar mistl hazh al untsayain”. Secara literal berarti “bagian laki-laki “seperti” bagian dua orang perempuan”.
Pernyataan ini memperlihatkan nuansa tidak memutlakkan, tetapi relativitas. Dengan kata lain ada kemungkinan bagi perempuan untuk memperoleh bagian waris yang sama dengan laki-laki atau lebih besar. Dengan begitu maka prinsip proporsi 2:1 tidaklah mutlak.
Apa yang pada akhirnya ingin saya sampaikan melalui uraian singkat di atas adalah:
Pertama, bahwa hak-hak sosial-ekonomi perempuan sebagaimana disebutkan oleh teks-teks suci Islam tidaklah bersifat stagnan, melainkan dinamis, karena dibangun di atas landasan sistem sosial yang keberadaannya selalu dinamis. Oleh karena itu ia bisa berubah atau bisa dilakukan perubahan sejalan dengan perubahan konteks sosio-kulturalnya.
Kedua, bagian waris perempuan separoh dari bagian laki-laki adalah tidak mutlak, melainkan relatif. Muhammad Sahrur, menganggap bahwa bagian-bagian waris dalam al-Qur’an tidaklah rigid. Ia menganggapnya sebagai batas maksimal dan batas minimal. Sahrur terkenal dengan teorinya yang ia sebut Hududiyyah. []
Sumber: Buku Perempuan, Islam dan Negara karya KH. Husein Muhammad.