Mubadalah.id – Di dunia yang fana ini, niat baik saja bukan satu-satunya bahan bakar perubahan. Sebab, niat baik tanpa ada usaha memahami bagaimana cara penyampaian sering kali berakhir sebagai suara lirih yang tenggelam di keramaian jagat maya. Bahkan bisa-bisa menjadi boomerang. Itulah satu hal yang saya renungkan setelah mengikuti webinar bersama Bu Ainun Chomsun, bertajuk “Strategi Kampanye Inklusivitas di Media Sosial”.
Sebagai gambaran, jika ingin memberikan sarapan gratis, tapi cara pemberiannya adalah dengan melempar, ya nggak mashok. Itulah kenapa niat baik saja tak pernah cukup. Apalagi jika menyoal kampanye inklusivitas di sosial media.
Dalam Islam, niat adalah fondasi, sebagaimana sabda Nabi: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya”(HR. Bukhari-Muslim). Tapi Islam juga mengajarkan amal saleh harus dirancang dan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Maka, kampanye inklusi pun perlu niat yang tulus sekaligus strategi yang matang.
Nah dalam arena sosial media, kita juga harus paham gimana algoritma ini bekerja. Sebagai Digital Communication Strategist, beliau menjelaskan dengan gamblang: media sosial bukan sekadar kanal komunikasi, melainkan arena advokasi, ruang edukasi, sekaligus panggung untuk membangun reputasi. Iya, medsos ternyata jauh lebih kompleks, karena itu ia menuntut narasi yang menyentuh, bahasa yang membumi, serta konsistensi yang teruji.
Mengapa Harus Dimulai dari Why?
Bu Ainun mengutip Simon Sinek: mulailah dari Why. Sebab, orang tidak selalu tergerak oleh data, tetapi oleh alasan di balik gerakan. Ketika sebuah organisasi berbicara tentang mengapa ia berjuang untuk inklusi, mengapa pendidikan harus terbuka bagi difabel, mengapa ruang publik mesti ramah lansia, maka ia menyentuh sisi emotif audiens. Dari situlah lahir kepercayaan, bahkan bisa berujung pada aksi nyata.
Kampanye inklusivitas yang berangkat dari why akan terasa berbeda dengan sekadar jargon atau angka statistik. Ia akan menghadirkan wajah yang lebih manusiawi, menyentuh rasa, dan membuka ruang pertemuan batin. Misalnya, ketika kita tidak hanya bicara soal “aksesibilitas pendidikan”, tetapi menghadirkan kisah seorang anak difabel yang gigih belajar meski penuh keterbatasan.
Dari cerita semacam itu, pesan tidak lagi berhenti di telinga, melainkan sampai ke hati. Kurang lebih begitu penjelasan Bu Ainun yang saya tangkap. Dengan demikian, why menjadi pintu yang menyatukan empati dan aksi.
Sekali lagi, narasi inklusi yang berhasil bukanlah yang penuh data atau jargon ndakik-ndakik, melainkan yang manusiawi dan apa-adanya. Bu Ainun menekankan, kampanye harus menghadirkan cerita. Misal kisah nyata tentang perjuangan seorang difabel menembus tembok birokrasi, tentang guru di sekolah desa yang dengan sabar merangkul anak berkebutuhan khusus, atau tentang ibu-ibu yang mengusahakan akses jalan bagi para lansia di desanya.
Bersaing dengan Sensasi
Di media sosial, sensasi sering kali lebih cepat viral daripada refleksi. Namun, kampanye inklusi tidak sedang ikut lomba adu cepat. Kuncinya, kata Bu Ainun, adalah menghadirkan sudut pandang yang berbeda dengan cara yang konsisten, autentik, dan menyentuh hati. Inklusi tidak lahir dari teriakan paling keras, melainkan dari suara yang jujur dan terus diulang-ulang.
Iya, kampanye inklusi tidak perlu mengandalkan kehebohan sesaat, karena tujuan utamanya bukan sekadar viral, melainkan perubahan nyata dalam cara pandang dan sikap masyarakat. Sama seperti air yang menetes sedikit demi sedikit, akhirnya bisa melubangi batu. Mungkin begitu perumpamaan perjuangan ini.
Oleh sebab itu, kampanye inklusif sebaiknya dirawat dengan semangat istiqamah. Tidak perlu risau jika jangkauan awalnya kecil, sebab keotentikan akan menemukan jalannya sendiri untuk menumbuhkan kepercayaan. Pada titik inilah, inklusi menjadi bukan sekadar strategi komunikasi, tetapi juga jalan dakwah bil hikmah, yakni menyampaikan pesan dengan kebijaksanaan, keteladanan, dan kelembutan hati.
Islam dan Misi Inklusivitas
Sejatinya, gagasan inklusi bukan hal baru dalam Islam. Rasulullah pernah bersabda: “Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit” (HR. Muslim). Bukankah ini prinsip inklusi yang paling mendasar? Bahwa kita tidak bisa mengabaikan satu kelompok, sebab luka mereka adalah luka kita semua.
Karenanya, kampanye inklusi di media sosial adalah bagian dari jihad kemanusiaan: mengingatkan publik bahwa semua manusia layak mendapat ruang, hak, dan cinta yang sama.
Yah, pada akhirnya niat baik adalah langkah awal, tapi strategi yang tepat menjadikannya punya makna di jalur perjuangan. Semoga saja kita bisa terus istiqamah. []