Mubadalah.id- “Fanda (nama samaran) adalah seorang gadis kecil yang tumbuh dari sebuah keluarga yang cukup hangat. Jika dilihat sekilas, ia seperti gadis kecil pada umumnya. Namun jika diperhatikan lebih cermat, pola wajahnya nampak sedikit berbeda. Setelah ditelusuri, ia memang memiliki keterbatasan atau disabilitas intelektual, nampaknya down syndrome.
Seperti yang telah saya amati, ia tumbuh berbaur dan bermain dengan anak-anak yang lain. Jika bertemu dengan orang yang ia kenal, ia menyapa dan memanggil nama. Ketika proses pembelajaran privat maupun bersama anak-anak sebayanya, ia terlihat agak sulit mengikuti dan terkadang murung. Namun ia terlihat semangat dan antusias untuk belajar.”
Sebagai makhluk sosial, sudah seharusnya untuk memahami dan melatih empati terhadap orang-orang di sekitar kita. Jika kita jabarkan secara teori, empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan serta pikiran individu yang lain.
Teori empati dalam psikologi menyelaraskan diri terhadap apa, bagaimana dan latar belakang perasaan serta pikiran seorang individu sebagaimana individu tersebut merasakan dan memikirkannya.
Selain itu empati juga melibatkan kemampuan seseorang untuk memasuki dan memahami dunia individu lain. Menangkap perasaannya dan berbuat untuk meringankan penderitaan individu yang lain. Terdapat proses atau tahapan empati dalam psikologi yang melibatkan berbagai aspek di antaranya perspektif, fantasi dan perasaan belas kasihan.
Pandangan para Psikolog
Lebih rincinya, bahwa empati menunjuk pada sensitifitas, mengerti perasaan atau keadaan psikologi seseorang (Smith, 2006). Empati menurut Allport (1961) yaitu sebagai perubahan emosi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Sedangkan menurut Rogers (1951) menyatakan bahwa empati terdiri dari dua konsep.
Konsep pertama, empati yaitu mampu melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat. Kedua, dalam memahami orang lain individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain tersebut sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain tersebut, tapi tanpa kehilangan identitas dirinya.
Sedangkan Batson dan Cole (dalam Eisenberg dan Strayer, 1987) mendefinisikan bahwa empati sebagai perasaan atau keadaan emosional seseorang.
Teori ini senada dengan Bullmer (dalam Eisenberg, 2000) mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain yang meliputi pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya. Seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering mereka anggap sebagai semacam resonansi perasaan.
Kemampuan Mengenali Orang Lain
Berdasarkan pendapat di atas dapat kita simpulkan secara lebih ringkas bahwa empati adalah kemampuan di mana seseorang mampu mengenali, merasakan dan mempersepsi perasaan, pikiran dan emosional orang lain.
Sebagai makhluk sosial, sudah seharusnya memiliki keterhubungan antara satu dengan yang lain. Melatih empati bisa kita mulai dari memenuhi dan mengenali kebutuhan diri sendiri terlebih dahulu atau jika dalam bahasa anak muda sekarang adalah self love.
Mencintai diri sendiri atau self love ialah memiliki apresiasi, ketertarikan, dan penghargaan positif terhadap diri sendiri. Hal ini juga berkaitan erat dengan self esteem (harga diri) dan kasih sayang terhadap diri sendiri. Ketika memiliki self love yang kuat, kamu akan memahami nilai diri dan memperlakukan diri sendiri dengan cara yang penuh kasih.
Hal yang perlu kita pahami, bahwa self love berbeda dengan narsisme. Sikap narsisme lebih kepada mementingkan diri sendiri, bahkan secara berlebihan. Sementara itu, self love adalah sifat yang positif, yakni mencintai dan memiliki pemahaman yang baik tentang kekuatan serta kelemahan diri sendiri. Self love juga berdampak positif pada kesejahteraan, kesehatan mental, dan hubungan antar sesama.
Setelah seseorang sudah full dengan dirinya sendiri dalam arti lain, segala kebutuhan dan keperluan diri terpenuhi dengan baik maka secara tidak langsung empati terhadap sesama akan tumbuh dengan sendirinya. Terlebih hanya tumbuh, empati juga perlu terus dijaga, dirawat dan dilatih. Hal tersebut berangkat dari pengalaman pribadi penulis yang pernah didiagnosa disabilitas intelektual gangguan bipolar.
Kelompok Masih Rentan
Empati dalam hal ini, bisa berkaitkan dengan disabilitas. Karena kaum disabilitas intelektual, mereka masih memahami sebagai kaum yang rentan terhadap diskriminasi. Dalam masyarakat awam, kaum disabilitas juga tidak jarang menjadi kaum yang seolah terpinggirkan bahkan kurang mendapatkan perhatian.
Mengutip pandangan Bu Nyai Nur Rofi’ah (MM KUPI/Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia) pada acara Studium Generale dengan tema Mengenai Isu Disabilitas dalam Advokasi, Kebijakan, dan Perspektif KUPI di Aula lantai 5 Pascasarjana, bahwasanya yang sama hasilnya, bukan prosedurnya.
Sehingga hasilnya sama-sama maslahat. Artinya, salah satu bentuk empati terhadap kaum disabilitas adalah dengan membuat kebijakan untuk non disabilitas maupun disabilitas yang memiliki tujuan kemaslahatan bersama walaupun dengan prosedur atau cara yang sedikiti berbeda.
Dengan melihat realitas tersebut, khususnya di daerah tempat tinggal saya masih memerlukan respons seperti yang Fanda alami, sehingga dalam hal ini kerjasama antarsesama, terutama juga pemerintahan daerah secara solid, agar para penyandang disabilitas dapat tersupport dengan baik dan layak. Yakni setara dengan non disabilitas pada umumnya sehingga tercipta kemaslahatan bagi kita semua. []