Mubadalah.id – Pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto hadir di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York. Kehadiran ini bukan sekadar formalitas. Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina dan solusi dua negara. Selain itu menunjukkan kesiapan Indonesia untuk berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Termasuk melalui pengiriman pasukan penjaga perdamaian jika dibutuhkan.
Bagi Indonesia, dukungan terhadap Palestina bukan hal baru. Sejak era Sukarno, negara ini menempatkan Palestina sebagai salah satu pilar politik luar negeri. Penolakan terhadap penjajahan dan dukungan terhadap hak rakyat Palestina telah menjadi bagian dari identitas bangsa. Hal ini tercermin dalam prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang menjadi dasar diplomasi Indonesia.
Kehadiran Prabowo di forum PBB bisa kita pahami melalui Teori Diplomasi Moral (Moral Diplomacy) Woodrow Wilson. Wilson menekankan bahwa negara harus bertindak berdasarkan prinsip etis dan moral. Bukan semata mengejar kepentingan material atau dominasi kekuatan.
Dalam konteks Palestina, diplomasi moral Indonesia berarti menegaskan hak rakyat Palestina, memperjuangkan perdamaian, dan mengambil posisi etis di arena Internasional. Dukungan politik dan bantuan kemanusiaan Indonesia bukan hanya strategi diplomatik, tetapi juga tanggung jawab moral sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan.
Menilik Diplomasi Moral Indonesia
Pendekatan ini juga terlihat dari pertemuan bilateral Presiden Prabowo dengan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres di Brasil pada November 2024. Pertemuan tersebut membahas isu strategis, termasuk kemerdekaan Palestina dan perubahan iklim. Ini menunjukkan bahwa Indonesia aktif memanfaatkan setiap kesempatan diplomatik untuk menegaskan posisi moral dan strategisnya.
Selain itu, diplomasi moral Indonesia juga mendapat legitimasi dari opini publik. Masyarakat Indonesia mayoritas melihat dukungan terhadap Palestina sebagai kewajiban moral sekaligus cerminan identitas bangsa. Ini memberi kekuatan tambahan bagi pemerintah untuk menegaskan posisi Indonesia di forum internasional. Karena suara Indonesia tidak hanya terdengar, tetapi juga dihormati karena konsistensi prinsip etis yang dijalankan.
Di sisi lain, tantangan diplomasi moral jelas ada. Normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel, pergeseran aliansi global, dan dinamika internal Palestina membuat posisi negara ini semakin rentan. Perpecahan politik antara Fatah dan Hamas menambah kompleksitas. Sehingga Indonesia harus menyeimbangkan prinsip moral dengan strategi pragmatis agar diplomasi tetap efektif.
Dalam konteks ini, kerangka diplomasi multilateral sangat relevan. Seperti penjelasan Baylis, Smith, dan Owens dalam The Globalization of World Politics (2017), negara-negara dapat memperkuat pengaruh mereka melalui forum internasional, membangun koalisi dengan pihak-pihak yang memiliki pandangan serupa, dan memanfaatkan aturan serta prosedur global.
Indonesia, dengan posisi strategis di Asia Tenggara dan populasi Muslim terbesar di dunia, mampu memaksimalkan pengaruhnya melalui forum PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sehingga suara negara menengah tetap terdengar.
Legitimasi Indonesia Secara Global
Selain diplomasi formal, prinsip moral juga memperkuat legitimasi Indonesia secara global. Teori konstruktivisme dalam hubungan internasional menekankan bahwa identitas, norma, dan nilai sangat penting dalam membentuk kebijakan luar negeri (Dunne, Kurki, & Smith, 2016).
Indonesia menempatkan keadilan, solidaritas, dan hak asasi manusia sebagai dasar diplomasi, sehingga negara ini terakui sebagai agen etis dalam berbagai isu internasional. Identitas moral ini membuat posisi Indonesia dihormati, sekaligus mempengaruhi opini dunia tentang Palestina.
Kehadiran Presiden Prabowo di PBB juga menunjukkan bahwa diplomasi moral bukan sekadar pidato atau simbol. Diplomasi ini menuntut tindakan nyata. Advokasi, kerja sama multilateral, dan peran aktif dalam agenda global. Dengan menekankan prinsip moral, Indonesia menunjukkan bahwa negara menengah pun dapat memiliki pengaruh signifikan, selama strategi diplomasi berlandaskan etika, nilai, dan kepedulian terhadap keadilan global.
Kunjungan Presiden Prabowo ke PBB menegaskan konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina melalui pendekatan diplomasi moral. Indonesia menunjukkan bahwa prinsip etis, keadilan, dan hak asasi manusia bisa menjadi fondasi diplomasi yang efektif.
Dengan menggabungkan diplomasi moral, kerja sama multilateral, dan legitimasi publik, Indonesia memperkuat posisinya di forum internasional sekaligus menegaskan identitas bangsa sebagai negara yang konsisten memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia.
Langkah ini membuktikan bahwa diplomasi berbasis moral dapat menjadi instrumen kuat untuk membentuk dunia yang lebih adil dan damai, sekaligus memberikan inspirasi bagi negara-negara lain dalam menjalankan politik luar negeri yang beretika dan berprinsip. []