• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tak Ada yang Sempurna dalam Usaha Menciptakan Pernikahan Setara

Pernikahan, baik yang sudah lama maupun baru sebentar, memiliki jalan sunyi masing-masing

Ayu Alfiah Jonas Ayu Alfiah Jonas
03/06/2024
in Personal, Rekomendasi
2
Pernikahan Setara

Pernikahan Setara

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sewaktu membagi undangan pernikahan pada 2022, saya lebih banyak mendapat pertanyaan “kenapa menikah?” ketimbang ucapan “selamat menikah”. Sejujurnya, ini tak begitu mengagetkan, tapi membuat saya berpikir agak panjang. Saya kemudian tersadar, ada satu hal yang mungkin mendasarinya.

Dalam beberapa tulisan populer dan podcast yang tersebar di internet, saya pernah menyungguhkan beberapa pernyataan tentang pernikahan. Dua yang saya ingat adalah: (1) menikah bukanlah pembuktian cinta. (2) pernikahan hanya terjadi untuk menggenapi norma sosial, menjalankan perintah agama, dan mengesahkan secara hukum.

Saya rasa tak ada yang salah dari pernyataan—opini tersebut. Tapi beberapa rekan dan kolega tampak agak keberatan. Mereka bilang, “Bila demikian, lantas mengapa menikah? Bukankah pernyataan tersebut adalah penggiringan opini agar orang lain memutuskan untuk tidak menikah?”

Bias-bias Penyimpulan

Penyimpulan dari pemahaman yang mungkin menjadi concern tersebut termasuk dalam kategori association bias. Penjelasan lengkap dapat kita baca dalam buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika (2020) karya Fahruddin Faiz. Association bias adalah penghubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Padahal sebenarnya tidak berhubungan. Sebagai misal:

“Si A menganggap bahwa pernikahan bukan pembuktian cinta dan hanya untuk menggenapi norma sosial-agama-hukum, ia meracuni orang lain agar tidak menikah, padahal ia sendiri akhirnya menikah.”

Baca Juga:

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Menghubungkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali biasanya terjadi karena beberapa hal. Salah satunya adalah kesalahan karena pemahaman yang berbelok ke orangnya. Dalam penyimpulan atas kalimat-kalimat di podcast tersebut, subjek pembicaraan—entah kenapa—justru tertuju kepada orang yang membuat pembicaraan. Bukan kebenaran pernyataannya.

Biasanya, kesalahan berpikir karena fokus pada orang yang membuat pernyataan terjadi karena argumen ad hominem yakni kesesatan berpikir yang terjadi saat orang yang membuat pernyataan diserang. Dalam kasus saya, bisa kita sebut tersangka/tertuduh.

Pernyataan yang saya lontarkan dianggap sebagai ajakan. Topik yang saya bahas melenceng pada motif dan karakter pribadi. Serangan ini mewujud dalam dua bentuk yakni secara circumstantial (tidak membahas kebenaran pernyataan, namun membahas situasi) dan tu quoque (dianggap tidak menjalankan pernyataan sendiri) yang termaktub dalam pernyataan “lantas mengapa menikah?” dan tuduhan soal penggiringan opini.

Tiga Alasan Utama

Agar tak terjadi bias-bias kesalahan berpikir atas pernyataan-pernyataan yang pernah saya buat, mari memeriksa satu per satu apa yang menjadi maksud dan makna apa yang terkandung di dalamnya.

Pertama, menggenapi norma sosial.

Selama hidup, kita terikat dengan kontrak sosial. Kontrak sosial adalah norma yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi kesepakatan masyarakat. Kita bisa mendefinisikannya sebagai sebuah perjanjian antara rakyat dengan para pemimpin, atau antara orang-orang yang tergabung dalam komunitas tertentu. Mulai dari tingkat keluarga, RT, RW, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara.

Budi Hardiman dalam Filsafat Modren: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche (2004), memaparkan tentang kontrak sosial yang dikemukakan seorang filsuf bernama Jean Jacques Rousseau. Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat, kontrak sosial sangat dibutuhkan dan terjadi tanpa paksaan.

Di Indonesia, hubungan yang terjadi antara lawan jenis wajib kita kukuhkan melalui pernikahan setara. Tanpanya, hubungan yang terjadi akan menabrak banyak norma dan dianggap menentang konstruksi sosial. Kesepakatan ini terjadi tanpa paksaan dan telah melalui persetujuan mayoritas masyarakat.

Sebab itu, pernyataan saya tentang menikah untuk menggenapi norma sosial adalah argumen yang berdasar, bukan ajakan untuk tidak menikah, bukan pula inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan. Sebab, tanpa kontrak sosial, manusia akan kehilangan arah dan kembali purba.

Kedua, menjalankan perintah agama.

Bagian ini paling saya tekankan, bersandar pada buku Buya Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (2001). Dijelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, perkawinan akan mengakibatkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Hak dan kewajiban sejatinya berlandaskan beberapa prinsip yakni kesamaan, keseimbangan, dan keadilan. Bukan legitimasi saling memiliki dan menormalisasi objektifikasi.

Seringnya, bila argumen yang kita percaya adalah “menikah untuk membuktikan cinta”, perasaan pada manusia biasanya akan jauh lebih kuat ketimbang rasa cinta pada Allah Swt. Tanpa sadar, pasangan pun menjelma menjadi berhala kecil menyesatkan. Rasa memiliki dan menguasai lebih dominan ketimbang daya dan upaya menjadi support system untuk tumbuh bersama.

Bila pembuktian cinta yang kita maksud demikian, bagaimana keseimbangan dapat terwujud sementara sejak mula mencinta, ada pihak yang sudah berat sebelah?

Masih dalam buku yang sama, bertolak dari makna keluarga sakinah dengan pemaknaan Mu’asyarah bil Ma’ruf. Pernikahan menjadi pergaulan atau pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan. Hal-hal itu terbangun secara bersama-sama, melalui cara-cara yang baik, dan sesuai dengan tradisi—situasi masyarakat masing-masing. Tapi tidak bertentangan dengan norma-norma agama, akal sehat, dan fitrah manusia.

Ibarat rumah baru, pernikahan yang terbangun di atas fondasi kokoh nan berkualitas akan cemerlang, terlimpahi ketenangan. Sebaliknya, bila fondasi yang kita dirikan hanya asal comot, tanpa menimbang baik-buruknya terlebih dahulu, biasanya akan rapuh serapuh-rapuhnya. Meskipun terlihat baik-baik saja bila kita lihat melalui kacamata orang lain.

Sejalan dengan pernyataan saya tentang menikah untuk menjalankan perintah agama, ajaran agama Islam inilah yang menuntun kita untuk membangun pernikahan dengan fondasi yang baik, sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits.

Ketiga, mengesahkan secara hukum.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan kita maknai sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami—istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang saya sebutkan, maka perkawinan/pernikahan yang terjadi harus melalui prosedur dan syarat-syarat yang telah diatur dalam undang-undang. Pernikahan menjadi sah jika mampu kita laksanakan dengan memenuhi seluruh ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

Perkawinan yang sah akan memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum. Orang yang melangsungkan perkawinan pun menjadi terlindungi. Hak-hak dan kewajiban dapat terpenuhi, sah secara hukum, dan dapat kita gugat bila sewaktu-waktu ada masalah melanda. Inilah yang saya maksud dengan mengesahkan secara hukum.

Tak Ada yang Sempurna

Pernikahan, baik yang sudah lama maupun baru sebentar, memiliki jalan sunyi masing-masing. Ada yang begitu terjal sampai membuat limbung, ada yang mulus-mulus saja, ada yang berkelok-kelok tak karuan, ada yang masuk jurang tanpa aba-aba, dan berbagai macam rupa keadaan yang menerpa bahtera rumah tangga.

Tak ada yang sempurna dalam menciptakan pernikahan yang setara. Kadang, kita dipaksa mundur agar dapat berlari lebih jauh. Atau, kita dipaksa berhenti sebentar, menjeda napas, lalu kembali berjalan. Apa pun jalan yang akan, sedang, dan telah kita lalui, meniti dengan rencana dan doa akan membawa kita mampu melewati semuanya.

Mari terus usahakan pernikahan yang setara itu. []

Tags: CintaJodohkeadilanKesetaraanLogikaPernikahan SetaraRelasiSesat Pikir
Ayu Alfiah Jonas

Ayu Alfiah Jonas

Penulis dan editor lepas

Terkait Posts

Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Membaca Kartini

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

10 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version