Mubadalah.id – Saat pertama kali mendengar Rima Hassan, bayangan saya menuju pada penculikan 12 aktivis kemanusiaan di kapal MV Madleen saat memasuki perairan Gaza (Palestina) oleh tentara Israel sekitar bulan Juni 2025.
Rima Hassan menjadi satu dari tiga perempuan yang tergabung dalam tim kemanusiaan untuk memeberikan bantuan logistik kemanusiaan terhadap masyarakat Palestina. Kapal MV Madleen bertolak dari Pelabuhan Catania di selatan Italia, Minggu (1/6/2025) sore waktu setempat dengan membawa obat-obatan, makanan, dan peralatan medis.
Pada 9 Juni 2025, kapal MV Madleen berisikan 12 aktivis kemanusiaan mendekat ke perairan Gaza pukul 01.17 waktu setempat. Tepat pukul 02.00, tentara-tentara Israel menghentikan dan membajak kapal MV Madleen dengan menyekap seluruh aktivis yang ada.
Israel telah menyiapkan pasukan elit angkatan laut Shayetet 13 untuk menyerbu dan mengambil alih kapal layar Madleen di perairan internasional. Unggahan FFC dalam telegram (9/06) memperlihatkan bahwa seluruh aktivis duduk dalam kapal menggunakan jaket pelampung dan mengangkat tangan ke atas.
Menurut laporan dari Al-Jazeera, seluruh kru dalam kapal memaksa agar seluruh akses telepon dan internet tetap mati. Ketika kapal bantuan untuk Gaza berhenti karena militer Israel.
Penculikan ke-12 aktivis kemanusiaan tersebut sangat memantik perhatian mata masyarakat dunia. Banyak masyarakat dunia yang mengutuk aksi tentara Israel yang sangat brutal dan membahayakan bagi ke-12 aktivis.
Terlebih, terdapat tiga perempuan di dalam kapal itu, diantaranya Gretha Thunberg (Aktivis iklim), Rima Hassan (Aktivis Kemanusiaan), dan Yasemin Acar (Aktivis Kemanusiaan).
Mengenal Rima Hassan: Perempuan Parlemen yang Lahir di di Kamp Pengungsi Neirab
Rima Hassan adalah seorang cendekiawan hukum dan aktivis hak asasi manusia berdarah Palestina-Prancis yang kini menjabat sebagai anggota Parlemen Eropa. Ia lahir pada 28 April 1992 di Suriah, dari keluarga pengungsi Palestina yang terdampak peristiwa Nakba.
Sejak kecil, ia hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian sebagai seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Masa kecilnya ia habiskan di kamp pengungsi Neirab di pinggiran kota Aleppo.
Pada usia sepuluh tahun, Rima berpindah ke Prancis bersama keluarganya melalui program reunifikasi. Kota Niort di Prancis barat menjadi tempatnya tumbuh dan memulai babak baru kehidupan. Ia memperoleh kewarganegaraan Prancis ketika berusia delapan belas tahun, suatu titik balik yang membuka banyak peluang dalam pendidikannya.
Rima memilih untuk menekuni studi hukum dan melanjutkan hingga tingkat magister di bidang hukum internasional di Universitas Sorbonne Paris. Dalam studinya, ia menulis tesis mengenai apartheid di Afrika Selatan dan Israel, topik yang mencerminkan kepeduliannya terhadap keadilan global.
Kepedulian Rima terhadap isu-isu kemanusiaan tidak berhenti di ruang akademik. Pada tahun 2019, ia mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Refugee Camp Observatory. Lembaga ini berfokus pada penelitian dan penyebaran informasi mengenai kondisi kamp pengungsi di berbagai belahan dunia.
Menyuarakan Isu Kemanusiaan dari Bangku Parlemen
Di Parlemen Eropa, Rima terus menyuarakan pentingnya keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap komunitas pengungsi Palestina dan masyarakat tertindas. Meski kerap menuai pujian, Rima juga tidak lepas dari kontroversi dan kritik publik.
Sikap vokalnya dalam mengkritik kebijakan Israel telah memunculkan pertentangan dari berbagai pihak. Ia pernah dituduh menyuarakan antisemitisme, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari partainya, France Insoumise (LFI).
Pada Maret 2024, sebuah acara penghargaan “Women of the Year” dari Forbes France dibatalkan meskipun Rima telah terpilih sebagai salah satu dari 40 perempuan paling berpengaruh. Ia terpilih karena tekanan politik dan kritik dari tokoh publik seperti pembawa acara Arthur yang menuduhnya menyebarkan kebencian dan membela terorisme.
Tuduhan tersebut memuncak pada April, ketika Rima dan pemimpin LFI, Mathilde Panot, dipanggil polisi karena pernyataan partai mereka yang mengaitkan serangan Hamas dengan kebijakan pendudukan Israel. Rima kemudian memberikan klarifikasi bahwa pernyataannya telah disalahpahami. Ia menegaskan bahwa dirinya selalu mengkritik kekerasan dari kedua belah pihak, baik dari Hamas maupun dari Israel.
Dukungan untuk Rima Hassan
Selama masa kampanyenya, Rima mengalami tekanan besar di dunia maya. Ia menerima ancaman rasis dan seksis setiap hari. Namun, ia memilih untuk tidak diam. Ia mengajukan berbagai pengaduan dan mengambil langkah hukum untuk membela haknya sebagai warga negara dan tokoh publik.
Pada Februari, lebih dari 500 tokoh politik menandatangani surat dukungan untuk Rima dan para pendukung Palestina lainnya. Mereka menyebut serangan terhadap Rima sebagai bentuk penganiayaan terhadap suara-suara kritis. Bahkan, muncul laporan bahwa tentara Israel pernah menuliskan namanya di sebuah bom, sesuatu yang memperlihatkan tingginya risiko yang ia hadapi.
Dalam banyak pernyataannya, Rima menyoroti kesamaan antara perjuangan rakyat Palestina dan sejarah kolonial Prancis, khususnya di Aljazair. Ia mendorong masyarakat Prancis untuk tidak melupakan sejarah mereka sendiri dan belajar darinya.
Setelah terpilih sebagai anggota Parlemen Eropa, Rima berkomitmen menjadikan Gaza sebagai prioritas dalam pekerjaannya. Ia tidak melupakan akar keluarganya dan terus terhubung dengan kamp Neirab, tempat ayahnya masih tinggal.
Refleksi
Saya selalu kagum dengan bagimana Ria Hassan menggunakan posisi (jabatan) untuk membantu, menyuarakan, dan menolong masyarakat Palestina. Kekaguman terhadap bagaimana sosok seperti Rima Hassan mengoptimalkan posisi yang ia emban untuk berjejaring dan berafiliasi pada advokasi isu Palestina. Khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Saya melihat yang Rima Hassan lakukan menjadi bentuk sebuah utilisasi (pemanfaatan) terhadap political capital dan institutional leverage. Rima Hassan menggunakan podium formal untuk melawan narasi dominan yang bias atau terdistorsi mengenai konflik, dengan memfokuskan pada realitas lapangan yang dialami perempuan dan anak-anak. Saya rasa, politik seperti inilah yang kedepannya akan terus kita butuhkan untuk menyelamatkan masa depan masyarakat Palestina!
I was cuffed and the European Parliament remained silent
– Rima Hassan (Member of the European Parliament detained on the Gaza Flotilla)
.Referensi:
Margareth Ratih. F (2025). Profil Rima Hassan: Aktivis yang Memperjuangkan Pengakuan Palestina di Eropa. [online] Narasi Tv. Available at: https://narasi.tv/read/narasi-daily/profil-rima-hassan [Accessed 30 Jul. 2025].