Mubadalah.id – Wangari Muta Maathai seorang aktivis lingkungan yang lahir pada tanggal 1 April 1940 di Desa Ihithe, Divisi Tetu, Distrik Nyeri, Kenya. Ia berasal dari keluarga petani sederhana yang termasuk dalam kelompok etnis Kikuyu.
Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan pedesaan yang dekat dengan alam, tempat ia mulai mengenal pentingnya tanah, air, dan pohon dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Sejak usia dini, ia menunjukkan ketekunan dalam belajar dan mendapat kesempatan bersekolah di sekolah misi Katolik setempat, yang memberikan dasar pendidikan awal yang kuat.
Perjalanan Hidup Wangari Muta Maathai
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Kenya, Wangari mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Amerika Serikat melalui program Mboya Airlift. Ia belajar di Benedictine College, Kansas, dan memperoleh gelar sarjana dalam bidang biologi pada tahun 1964.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang magister di University of Pittsburgh dalam bidang ilmu biologi. Setelah itu, ia kembali ke Kenya dan melanjutkan studi doktoral di Universitas Nairobi, menjadi perempuan pertama di Afrika Timur yang meraih gelar Ph.D. di bidang anatomi hewan dan berkontribusi terhadap lingkungan.
Selain menjadi peneliti dan pengajar, Wangari juga aktif dalam kegiatan akademik di Universitas Nairobi, di mana ia menjadi dosen dan kemudian menjabat sebagai dekan perempuan pertama di fakultas tersebut. Kehidupan akademiknya mencerminkan komitmen pada ilmu pengetahuan serta keterlibatan dalam pengembangan sumber daya manusia.
Advokasi dan Peran Wangaari dalam Perdamaian dan Lingkungan
Wangari memulai langkah awal perjuangannya pada tahun 1974 dengan menanam sembilan batang pohon di halaman rumahnya. Dari kegiatan sederhana ini, ia menyadari pentingnya pelestarian lingkungan hidup dalam kehidupan masyarakat Kenya.
Tiga tahun kemudian, pada 1977, ia mendirikan Gerakan Sabuk Hijau, sebuah organisasi nonpemerintah yang bertujuan mengatasi kerusakan lingkungan melalui penanaman pohon.
Gerakan tersebut melibatkan perempuan di pedesaan, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, untuk menanam pohon sebagai upaya menjaga tanah dari erosi dan mempertahankan ketersediaan kayu bakar. Hingga tahun 2004, gerakan ini telah menanam sedikitnya 40 juta batang pohon di berbagai wilayah Afrika.
Melalui Gerakan Sabuk Hijau, Maathai memberikan ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam pelestarian alam sekaligus memperkuat peran mereka di tengah masyarakat.
Upaya tersebut menjadi respons terhadap penurunan tajam tutupan hutan di Kenya, yang pada akhir abad ke-20 hanya menyisakan sekitar 2% wilayah berhutan. Padahal, standar yang Perserikatan Bangsa-Bangsa sarankan adalah minimal 10%. Penebangan liar yang berlangsung bertahun-tahun mengakibatkan berkurangnya sumber air bersih dan menurunnya mutu tanah.
Maathai mendorong perempuan untuk menggali sumur, menyemai bibit, dan melindungi tanaman. Karena konsistensinya, ia mendapat julukan Mama Miti atau Ibu dari Pepohonan dalam bahasa Swahili.
Selain fokus pada lingkungan, Maathai juga terlibat aktif dalam isu sosial dan politik. Dari tahun 1976 hingga 1987, ia tergabung dalam organisasi perempuan nasional Kenya, Maendeleo Ya Wanawake, dan menjabat sebagai ketua selama enam tahun.
Pada masa yang sama, ia juga mendirikan Gerakan Sabuk Biru yang mengangkat isu pendidikan dan gizi. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Penasihat Perlucutan Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjuangannya menghadapi tantangan berat, termasuk penahanan dan serangan fisik di masa rezim Presiden Daniel Arap Moi.
Salah satu aksi pentingnya adalah penyelamatan Taman Uhuru di Nairobi dari pembangunan proyek komersial yang didukung pemerintah.
Perjuangan politik Maathai berlanjut dengan pencalonan sebagai presiden Kenya pada tahun 1997, meskipun tidak berhasil terpilih. Namun, pada pemilu Desember 2002, ia memenangkan kursi di Parlemen Kenya dengan dukungan suara sebesar 98%.
Setahun kemudian, ia menjadi Asisten Menteri Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Margasatwa. Ia juga mendirikan partai politik bernama Mazingira Green Party of Kenya.
Pidato Wangari dalam Penerimaan Nobel Perdamaian untuk Lingkungan
Dalam pidatonya pada upacara penerimaan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2004, Wangari berkata bahwa penghargaan ini tidak hanya diberikan kepadanya secara pribadi, melainkan untuk seluruh masyarakat Kenya, Afrika, dan dunia.
Ia berkata, “Sebagai perempuan Afrika pertama yang menerima penghargaan ini, saya menerimanya atas nama rakyat Kenya dan Afrika, bahkan seluruh dunia.”
Ia juga menyampaikan bahwa penghargaan tersebut merupakan pengakuan atas kerja banyak individu dan kelompok yang bekerja untuk melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia, dan memastikan kesetaraan gender.
“Dengan demikian, mereka menanam benih perdamaian. Saya tahu mereka juga bangga hari ini,” tambahnya.
Wangari juga mengajak rakyat Afrika untuk melihat penghargaan ini sebagai dorongan untuk memperkuat komitmen terhadap demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan.
Ia menyampaikan rasa terima kasih kepada rakyat Kenya yang tetap berharap pada masa depan yang lebih baik.
“Rekan-rekan Afrika, saat kita menerima pengakuan ini, mari kita manfaatkan untuk memperkuat komitmen kita kepada rakyat. Mari kita dukung pemerintahan yang demokratis, lindungi hak asasi manusia, dan lindungi lingkungan kita.” Bagi Maathai, pengakuan internasional ini juga menunjukkan bahwa perubahan harus dimulai dari dalam masyarakat itu sendiri.
“Saya selalu percaya bahwa solusi untuk sebagian besar masalah kita harus datang dari kita sendiri.”
Dalam bagian akhir pidatonya, Wangari menjelaskan bagaimana aktivitas lingkungan yang ia lakukan berawal dari pengalaman masa kecil di pedesaan Kenya. Ia melihat bagaimana penebangan hutan mengganggu keseimbangan alam dan berdampak pada kehidupan masyarakat.
“Saya menyaksikan hutan ditebang dan digantikan oleh perkebunan komersial yang menghancurkan keanekaragaman hayati lokal dan kapasitas hutan untuk melestarikan air.”
Ia menjelaskan bahwa penanaman pohon adalah solusi sederhana yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh perempuan pedesaan. “Penanaman pohon itu sederhana, mudah dicapai, dan menjamin hasil yang cepat dan sukses dalam jangka waktu yang wajar.” []
Referensi:
Earth Island Journal (2008). Wangari Maathai – an excerpt from the Nobel Peace Prize winner’s acceptance speech. [online] Earth Island Journal. Available at: https://www.earthisland.org/journal/index.php/magazine/entry/wangari_maathai_an_excerpt_from_the_nobel_peace_prize_winners_acceptance_sp/ [Accessed 19 Aug. 2025].
London School of Economics and Political Science (2021). Wangari Maathai. [online] London School of Economics and Political Science. Available at: https://www.lse.ac.uk/africa/Hub-for-African-Thought/Thinkers/Wangari-Maathai [Accessed 19 Aug. 2025].
the Nobel prize (2011). The Nobel Peace Prize 2004. [online] NobelPrize.org. Available at: https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2004/maathai/facts/ [Accessed 19 Aug. 2025].












































