Mubadalah.id – Belakangan ini pesantren menjadi sorotan publik khususnya setelah kasus ambruknya Pondok Pesantren Khozini yang memakan banyak korban. Berbagai kritikan ditujukan pada pesantren tersebut terkait infrastrukturnya, kelalaian pengurusnya hingga tanggapan dari pengasuhnya.
Namun yang disayangkan adalah kritik tersebut semakin lama tidak lagi obyektif namun melebar kemana-mana. Kritik menjadi sebuah generalisir sempit, mendorong reaksi publik dan menciptakan framing buruk terhadap pondok pesantren secara umum. Puncaknya ketika TV Nasional Trans7 menayangkan cuplikan kehidupan Pondok Pesantren dengan voice over yang memicu kemarahan publik.
Sebagai orang yang pernah tinggal di lingkungan pesantren, penulis akan memaparkan beberapa miskonsepsi yang dinarasikan publik (media, warganet) dengan apa yang penulis pahami selama hidup di pondok pesantren.
Budaya Memuliakan Kyai vs Feodalisme
Dalam budaya pondok pesantren para santri diajarkan untuk memuliakan kyai dengan menunduk, mencium tangan Kyai bahkan ‘ndengkul’ berlutut (di sebagian pondok tradisional).
Beberapa orang di luar kalangan pesantren menyebutnya sebagai kecenderungan feodalisme bahkan pengkultusan Kyai. Padahal sebagai santri saya tidak melihat hal tersebut. Yang sedang pesantren lakukan adalah pembentukan karakter kepada para santrinya (adab).
Orang mungkin akan menyangkal, penanaman adab tidak perlu dengan cara-cara yang merendahkan, namun justru disini titik tolaknya, yang tidak diajarkan di luar pesantren. Manusia akan cenderung bersikap angkuh dengan daya yang ia miliki (katakanlah ilmu). Para santri diajarkan merendah terlebih dahulu agar kelak ketika telah berilmu dia tidak berfikir untuk meninggi dan merendahkan orang lain. Ini yang saya pahami dari konsep “al-adab fauqal ilmi”
Secara praktis kita bisa melihat efektifitas metode adab ala pesantren ini sebagai sarana pembentukan karakter peserta didik. Jika boleh membandingkan, di luar pesantren mudah sekali kita temui murid yang berbicara kasar bahkan bersikap ‘kurang ajar’ kepada gurunya sendiri, namun di lingkungan pesantren, hal tersebut akan sulit kita jumpai. Pesantren menjadi lembaga yang menerapkan pendidikan karakter tidak hanya secara teoritis namun juga secara praksis.
Budaya Ngalap Barakah vs Pengkultusan
Kemudian konsep ‘ngalap berkah’ yang sering disalahpahami sebagai bentuk pengkultusan pada Kyai. Tuduhan ini menurut saya sangatlah tidak mendasar. Bagaimana mungkin pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah bertahan selama berabad-abad menciderai nilai dasar keislaman itu sendiri? Yang saya lihat di sini adalah adanya kesenjangan perspektif antara pengamat dan pelaku.
Para pengamat melihat fenomena ‘ngalap barakah’ dari sudut pandang zahiriyah saja dan menyamakannya dengan feodalisme ala monarki.
Sementara para pelaku (santri, Kyai, kalangan pesantren) melihatnya dari sudut pandang batiniyah. Yang mereka hormati dan agungkan adalah ilmunya bukan manusianya. Nur ilmu ini melekat pada sosok Kyai sebagai guru mereka. Konsep nur ini lebih cocok kita pahami dengan tasawuf bukan sosiologi.
Budaya Khidmah dan Ro’an vs Eksploitasi
Ro’an atau kerja bakti di lingkungan pesantren ini menjadi cukup kontroversial, khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur pondok pesantren yang sempat viral. Beberapa orang menarasikan ro’an maupun khidmah (pengabdian di pondok) sebagai bentuk eksploitasi Kyai terhadap santri yang sedang belajar.
Padahal faktanya, ro’an dan khidmah dalam budaya pondok pesantren bersifat sukarela. Tidak ada paksaan maupun intimidasi dari kyai untuk melakukan hal-hal seperti yang mereka tuduhkan.
Memang glorifikasi khidmah muncul di kalangan santri yang membuat mereka sangat antusias untuk berkhidmah tanpa adanya paksaan. Namun glorifikasi ini bukan dalam rangka pemenuhan kepentingan Kyai, melainkan untuk melatih santri sebagai pengabdi di masyarakat kelak. Output pesantren adalah untuk mengajar dan mengabdi, bukan pekerja yang digaji.
Tuduhan feodal ini justru lahir dari sistem modern yang sangat kapitalis. Wali santri sudah membayar, untuk apa santri mengabdi? Harusnya santri fokus belajar untuk mendapat ilmu. Begitulah sudut pandang kapitalis. Orang berlomba untuk mendapat atau menguasai sesuatu dan selalu mengkalkulasikan dengan angka. Sistem pesantren mengajarkan pola sebalikya, santri terlatih untuk memberi dan berkontribusi tanpa adanya kalkulasi materi (Ikhlas).
Sehingga yang ada dalam pikiran santri adalah “Saya belum bisa mengajar ngaji, maka bentuk kontribusi saya pada agama adalah menjadi pelayan orang yang mengajar ngaji (Kyai)”. Adapun sistem upah yang kapitalis itu, diarahkan menjadi bentuk yang lebih abstrak “barokah”. Konsep mengabdi dengan ikhlas ini gagal dipahami oleh sudut pandang modern sehingga dibaca sebagai eksploitasi.
Sampai di sini saya ingin bertanya, tidakah kita melihat ideal moral yang sangat tinggi terbangun dalam sistem pesantren? Ideal moral yang mungkin tidak terbangun dalam sisitem pendidikan modern? Bukankah kita sudah terlalu muak dengan dunia yang saling merampas dan menuntut? Tanpa perlu menjawabnya panjang lebar mungkin maqalah “al-yadul ulya khairun minal yadis sufla” sudah cukup menjelaskanya.
Budaya Salam Tempel vs Komodifikasi Agama
Banyak narasi negatif bermunculan ketika orang di luar pesantren melihat budaya salam tempel atau ‘ngamplopi’ Kyai. Banyak orang yang mengasumsikan Kyai sebagai tokoh “penjual agama”. Sungguh tuduhan ini sangatlah miris, dan pantas membuat para santri marah. Sebab realita yang terjadi di lingkungan pesantren sangatlah berbanding terbalik.
Para santri melihat sendiri bagaimana perjuangan serta ketulusan Kyai dan uztadz-uztadz mereka dalam membagikan ilmunya. Para Kyai di usia senjanya biasa mengajar ngaji marathon berjam-jam tanpa di bayar, beberapa ustadz yang tinggal di luar pesantren tetap datang mengajar meski jaraknya jauh dan hujan deras sekalipun (dengan bayaran ala kadarnya). Banyak juga pesantren yang menyediakan beasiswa gratis untuk santrinya.
Hal-hal tersebut tentu tidak pernah terekspos oleh media, dan hanya terlihat oleh kalangan santri yang pernah mondok di Pesantren. Yang tersorot oleh media adalah acara-acara besar di Pesantren saat Kyai dan para dzuriyah (Keluarga Kyai) tampil dengan pakaian terbaiknya. Juga saat para alumni dan wali santri ngamplopi Kyai, sebagai bentuk apresiasi atas jasa mereka mendidik putra-putrinya.
Kyai Hedonis atau Media Komoditif
Seandainya mereka melihat kesederhanaan para Kyai setiap harinya, bahkan bangunan rumahnya jauh lebih sederhana dari pondok pesantrenya. Apalagi jika mengetahui sejarah panjang pendirian sebuah pesantren yang berasal dari gotong-royong santri, wali santri, Kyai, alumni, jauh dari uluran donatur maupun pemerintah.
Dengan segala keterbatasan yang ada, santri hanya berpikir “bagaimana menyelesaikan mengaji” begitu pula Kyai yang selalu memikirkan “bagaimana terus bisa mengajar”. Jauh dari kata hedonis seperti yang mereka tuduhkan.
Dari kasus Trans7 kemarin penulis melihat bahwa media hanya mencoba mencari celah algoritma melalui framing buruk Pesantren yang sedang menguat akhir-akhir ini. Tanpa melakukan riset lebih lanjut, dengan kumpulan cuplikan vidio serta voice over sensasional, media menarasikan pesantren dengan buruk secara terang-terangan.
Kembali menyoal tentang komodifikasi agama. Kalau boleh fair, siapa sebenarnya aktor utamanya? Kyai yang sudah mengabdi dengan ilmu sepanjang hidupnya, atau media yang memanfaatkan algoritma, framing serta sensasional untuk menarik engagement masa? dengan konten Pondok Pesantren sebagai salah satu Institusi agama.
Kritik Sehat bukan Framing Jahat
Pondok pesantren sebagai salah satu institusi agama memang tak luput dari kesalahan, pun perlu kita kritik saat melakukan kesalahan. Kyai sebagai tokoh agama juga demikian. Namun yang perlu kita perhatikan adalah mana kritik sehat untuk menjadi bahan evaluasi, dan mana framing jahat yang sengaja mereka buat untuk menggiring opini dan menyebabkan disinformasi serta miskonsepsi.
Tentu saya tidak menutup mata pada kasus-kasus yang terjadi di lingkungan pesantren seperti bullying, pelecehan, hingga kelalain yang terjadi di pondok Khozini kemarin. Bukankah kasus-kasus serupa juga terjadi di institusi lain?
Namun mengapa selalu nama pesantren dan Kyai yang disorot? Sedang banyak kebaikan pesantren lainya tidak terekspos? Seperti tauladan para kyainya, prestasi santri-santrinya, hingga sistem pendidikan serta perekonomian di dalamnya.
Di Balik Framing Media
Pada akhirnya media yang semula berfungsi sebagai saluran penyampai informasi berubah menjadi alat framing untuk tujuan tertentu. Yang terjadi di masyarakat (khususnya di luar kalangan pesantren) adalah generalisir keburukan pesantren, kesalahpahaman atas budaya pesantren dan yang paling jauh adalah menjadikan masyarakat resisten dengan Pesantren dan Kyai.
Efek dominonya adalah hilangnya kepercayaan umat terhadap ulama dan pesantren sebagai pemegang otoritas dan institusi keagamaan. Masyarakat lebih mudah percaya pada narasi dan framing yang dibentuk media. Orang tua akan takut memasukan anaknya ke pesantren. Lalu apa yang tersisa? Tentu nasib generasi selanjutnya yang terombag-ambing dalam arus informasi digital tanpa filter dari ulama dan institusi agama.
Pertanyaan kritisnya adalah kemana arah semua ini? Apakah tujuan media melakukan framing buruk terhadap pesantren sebagai institusi agama Islam yang telah mapan di Indonesia? Mengapa sekelas TV nasional seperti Trans7 turut melakukan framing tersebut? Hingga siapa yang paling diuntungkan atau dirugikan dengan semua ini?
Semua pertanyaan di atas sangatlah kompleks dan tidak akan mungkin saya bahas dalam tulisan singkat ini. Namun pertanyaan tersebut bisa menjadi bahan renungan sekaligus rambu-rambu bagi kita agar lebih aware dalam membaca rentetan peristiwa yang sedang terjadi. []