Mubadalah.id – Berita kurang baik tentang pesantren terus bermunculan akhir-akhir ini. Sedih sekali, setiap kali membaca atau mendengarnya. Sebagai perempuan yang lahir, tumbuh dan besar di lingkungan pesantren, aku tidak membantah ataupun mengiyakan. Tetapi menjadi catatan, lalu apa yang harus kita lakukan ke depan?
Tentu dengan tidak meninggalkan tradisi lama yang baik, berdasarkan prinsip al-Muhafazhah ‘alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik).
Karena, jujurly sebagai orang tua yang kini anaknya sedang menimba ilmu di pesantren yang jauh, tentu perasaan cemas kerap hadir menyapa. Terutama terkait isu perundungan santri dan maraknya kasus kekerasan seksual di pesantren. Bismillahirrahmanirrahim, aku percayakan pada Abah Kiai, Ibu Nyai dan seluruh ustadz serta ustadzah untuk menjaga dan melindungi anakku di negeri Majapahit itu.
Lantas ketika gonjang-ganjing pesantren kembali menyeruak, terutama di jelang puncak Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 mendatang, aku kembali teringat dengan buku yang tidak hanya dibaca, tapi tumbuh bersama kita. Bagiku, buku Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH. Saifuddin Zuhri termasuk salah satunya.
Buku ini bukan sekadar kumpulan kisah tentang kehidupan santri, tapi juga tentang perjalanan manusia dalam mencari ilmu, adab, dan makna pengabdian. Aku pertama kali membacanya saat masih duduk kelas 6 di sekolah dasar—usia yang terlalu muda untuk memahami isinya secara utuh, namun cukup untuk merasakan kehangatan di setiap kisahnya.
Pesantren Membentuk Wajah Bangsa
Buku itu aku temukan di antara tumpukan bacaan milik kakak aku yang waktu itu sudah mondok. Hampir setiap hari, diam-diam aku membuka halamannya dan berusaha memahami kalimat demi kalimat, meskipun banyak kata yang belum aku kenal. Ada suasana yang berbeda dari buku-buku lain. Dalam setiap kisahnya, aku seakan diajak memasuki dunia yang tenang, di mana ilmu menjadi pusat kehidupan, dan guru diperlakukan dengan penuh hormat.
KH. Saifuddin Zuhri menulis dengan bahasa yang sederhana, tapi sarat makna. Ia bercerita tentang kehidupan para santri yang menempuh jalan panjang untuk menuntut ilmu, tentang perjuangan para kiai yang sabar mendidik di tengah keterbatasan, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh di dunia pesantren. Ia tidak menulis dengan gaya seorang pejabat atau akademisi, tetapi dengan suara seorang murid yang mengenang gurunya.
Semakin aku tumbuh besar, semakin aku menyadari bahwa buku ini lebih dari sekadar catatan pribadi. Guruku Orang-Orang dari Pesantren adalah cermin sejarah tentang bagaimana pesantren membentuk wajah bangsa.
Melalui kisah KH Saifuddin Zuhri, aku melihat betapa besar peran santri dan kiai dalam perjuangan melawan penjajahan. Mereka tidak hanya berdakwah, tapi juga berjuang mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negeri ini. Dari pesantren lahir semangat kebangsaan yang berpadu dengan keimanan.
Inspirasi Mondok di Pesantren
Mungkin karena itu pula, sejak kecil aku tumbuh dengan keinginan untuk suatu hari belajar di pondok pesantren. Ada sesuatu yang istimewa dalam kehidupan yang digambarkan KH Saifuddin Zuhri. Yaitu tentang kesederhanaan yang melahirkan kekuatan, tentang ilmu yang menumbuhkan keteguhan.
Aku membayangkan kehidupan para santri yang bangun sebelum fajar, membawa kitab kuning, belajar bersama di bawah lampu minyak. Dalam imajinasi aku, suasananya hangat, meski serba terbatas. Buku ini seperti menanam benih kecil dalam hatiku, yakni keinginan untuk menjadi bagian dari dunia itu.
Ketika akhirnya aku benar-benar menuntut ilmu di lingkungan pesantren, banyak hal yang membuat aku teringat kembali pada buku itu. Aku melihat bahwa yang dulu hanya aku baca kini hidup di hadapan mata. Ada kebersamaan dalam belajar, rasa hormat yang dalam kepada guru, dan ketulusan dalam setiap aktivitas. Buku itu ternyata tidak hanya membentuk cara pandangku tentang pesantren, tapi juga menyiapkan hatiku untuk menjalaninya.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Apa yang membuat karya KH. Saifuddin Zuhri begitu kuat? Adalah kejujurannya. Ia tidak berusaha menampilkan pesantren sebagai dunia yang sempurna, melainkan dunia yang apa adanya—kadang keras, kadang lembut, tapi selalu mengajarkan makna kesabaran. Gaya tulisnya mengalir seperti percakapan, membuat pembaca merasa sedang duduk di serambi pesantren, mendengarkan kisah dari seorang guru tua yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, Guruku Orang-orang dari Pesantren terasa seperti oase yang menenangkan. Buku ini mengingatkan bahwa kemajuan bukan berarti meninggalkan akar. Justru dari tradisi yang kuat, kita bisa melangkah dengan lebih mantap. Nilai-nilai pesantren yang dihidupkan KH Saifuddin Zuhri—keikhlasan, kesabaran, tawadhu’, dan cinta ilmu—adalah fondasi yang tetap relevan di masa kini.
Bagiku, Guruku Orang-orang dari Pesantren bukan hanya buku sejarah, tetapi juga cermin perjalanan pribadi. Ia menjadi saksi kecil yang pernah menyalakan keinginan belajar, bahkan sebelum aku tahu ke mana arah jalan itu membawa.
Kini, setiap kali melihat buku itu di rak, aku seperti melihat bayangan masa kecil yang sedang duduk membaca dengan mata berbinar. Buku itu mengantarkanku memahami bahwa menuntut ilmu bukan sekadar mencari pengetahuan, melainkan membentuk diri dan hati.
Guruku Orang-Orang dari Pesantren bukan sekadar kisah tentang lembaga pendidikan Islam, tapi tentang manusia dan nilai. Ia mengajarkan bahwa ilmu tidak pernah berdiri sendiri—ia tumbuh bersama keikhlasan, doa, dan adab. Dan bagiku sendiri, cahaya itu pertama kali muncul dari halaman-halaman buku tua yang dulu aku pinjam diam-diam dari lemari—dan sejak saat itu, cahayanya tidak pernah padam. []