Mubadalah.id – Pendidikan inklusif adalah hal yang masih tabu di lembaga pendidikan kita. Mayoritas lingkungan pendidikan memandang kelompok disabilitas sebagai orang dengan keterbatasan yang sulit melakukan aktivitas. Sehingga perlu tempat khusus bagi mereka agar tidak mempersulit proses belajar.
Penyandang disabilitas seringkali tidak boleh melakukan pekerjaan terlalu berat atau berpikir terlalu berat. Atas dasar rasa kasihan dan menganggap sebagai bentuk kepedulian ini, justru terkadang menjadi ruang pembatas bagi berkembangnya potensi mereka.
Di era yang serba canggih ini, manusia telah mampu bersaing bahkan melampaui kapasitas kemampuan yang ia miliki. Begitu pula bagi kelompok disabilitas. Sejatinya mereka lebih mampu dan berdaya dari apa yang kita pikirkan.
Di Indonesia sendiri telah banyak prestasi yang ditorehkan oleh kelompok disabilitas. Baik dalam bidang seni, olahraga, politik maupun akademik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi yang sama dengan yang lainnya. Sehingga seharusnya kesempatan dalam berbagai hal juga dapat diberikan kepada kelompok disabilitas tanpa diskriminasi.
Salah satu hal paling mendasar yang menjadi hak warga Negara adalah pendidikan. Pemerintah telah menyediakan lembaga pendidikan untuk kelompok berkebutuhan khusus melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun yang menjadi pertanyaan apakah itu saja cukup?. Atau sejatinya pendidikan inklusif harus hadir menyempurnakannya.
Pendidikan Inklusif Hapuskan Diskriminasi
Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang mengakomodir dan memberikan kesempatan bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Melalui pendidikan inklusif, penyandang disabilitas dapat belajar di ruang yang sama dengan non disabilitas dengan akses yang layak.
Melalui pendidikan inklusif, penyandang disabilitas mendapatkan informasi, pengetahuan dan ilmu dari sumber yang sama dengan non disabilitas. Sehigga penyandang disabilitas berpeluang memiliki potensi yang sama dengan siswa lainnya.
Pendidikan inklusif ini menghapuskan diskriminasi bagi kelompok disabilitas yang meski dengan keterbatasan, ia memiliki kemampuan untuk bersaing. Pandangan ‘manusia lemah’ terhadap kelompok disabiltas jangan sampai justru membatasi potensi mereka.
Pendidikan inklusif harus tersedia mulai dari tingkat dasar. Khususnya pemerintah, harus memperhatikan aksesibilitas yang layak bagi penyandang disabilitas di lembaga-lembaga pendidikan.
Perlunya Membangun Kesadaran Inklusif di Lembaga Pendidikan
UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama.
Dalam lingkup pendidikan, setiap siswa memiliki kendalanya masing-masing dalam proses belajar. Menghadapi kendala ini, ada yang membutuhkan perhatian khusus, namun ada juga yang bisa ditangani secara langsung.
Di Indonesia telah tersedia sekolah bagi anak berkebutuhan khusus melalui SLB. Tujuannya agar anak dengan kebutuhan khusus dapat melalui proses belajar dengan baik. Namun, seringkali hal ini menjadi standar bahwa semua anak disabilitas hanya bisa bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Tidak sedikit lembaga pendidikan yang menolak siswa dengan disabilitas. Berbagai alasan seperti tidak adanya sarana prasarana, tidak adanya guru pembimbing khusus, bahkan berangkat dari stigma sosial bahwa penyandang disabilitas hanya boleh bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Indonesia sebagai Negara hukum mengakui hak disabilitas, termasuk hak pendidikan. Penyandang disabilitas memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Maka perlu membangun kesadaran pendidikan inklusif agar tidak terjadi penolakan kepada penyandang disabilitas.
Namun tentunya tidak cukup dengan kesadaran akan pendidikan inklusif. Kita juga perlu mendorong bersama agar pemerintah memberikan perhatian terhadap aksesibilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Aksesibilitas dan Kesadaran Moral sebagai Tanggung Jawab Bersama
Jika berbicara mengenai aksesibilitas kita akan menyorot bagaimana peran Negara dalam menyediakan akses di ruang-ruang publik bagi penyandang disabilitas. Saat ini masih banyak akses yang nampaknya sudah ‘ramah disabilitas’, namun tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Misalnya guiding block atau jalur khusus tunanetra yang tersedia di bahu jalan. Seringkali justru digunakan oleh pedagang kaki lima, atau pesepeda. Contoh lainnya, adanya toilet ‘ramah disabilitas’, namun digunakan oleh mereka yang tidak berkebutuhan khusus.
Sama halnya denga lembaga pendidikan. SLB nampaknya terlihat sebagai sekolah yang ramah bagi kawan disabilitas. Namun, apakah itu cukup untuk menggali potensi mereka. Maka, perlu dihadirkan pendidikan inklusif agar tidak membatasi ruang kreatifitas bagi mereka.
Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama. Baik oleh pemerintah dalam hal penyediaan, penataan dan penertiban. Juga kepada masyarakat kita yang belum memiliki perspektif kepedulian terhadap hak-hak disabilitas. Sehingga seringkali akses yang tersedia bagi penyandang disabilitas justru disalah gunakan.
Perlunya menumbuhkan kepedulian dan kesadaran akan hak-hak disabilitas mulai dari yang paling utama, yaitu melalui lembaga pendidikan inklusif. Tempat di mana generasi baru berinteraksi dan bersosialisasi tanpa diskriminasi.
Lembaga pendidikan sebagai ruang aman untuk berekspresi dan mengasah kemampuan. Memahami nilai-nilai dan perbedaan yang tidak ia temui di rumahnya. Sehingga harapannya, melalui pendidikan inklusif ini, terlahir generasi yang sadar terhadap persepktif penyandang disabilitas. []











































