Mubadalah.id – Di dunia pendidikan anak usia dini, madrasatul ula tidak hanya menjadi ruang belajar, melainkan taman awal tempat benih-benih kemanusiaan tertanam dan kita siram dengan kasih. Di sanalah para guru berperan ganda: menjadi “ibu” yang menumbuhkan dengan kelembutan dan menjadi “bapak” yang menuntun serta melindungi cita-cita kecil yang mulai tumbuh.
Dua peran ini berpadu bukan hanya dalam pengajaran, namun juga berperan dalam pembentukan watak, moral, dan spiritualitas anak. Melalui sentuhan keibuan yang hangat dan keteguhan kebapakan yang menuntun, madrasatul ula menemukan maknanya sebagai rumah pertama tempat karakter dan impian anak-anak mulai bersemi.
Madrasatul Ula: Rahim Kasih bagi Pertumbuhan Awal Anak
Madrasatul ula, sebagai satuan pendidikan Islam untuk anak usia dini, bukan sekadar tempat belajar mengenal huruf, angka, atau doa-doa pendek. Ia merupakan ruang awal yang membentuk karakter, nilai, dan kepribadian anak.
Dalam konteks ini, keberadaan pendidik dan pengasuh tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai “orang tua kedua” yang menghadirkan kehangatan, kasih sayang, dan teladan moral. Frasa “menjadi ibu untuk madrasatul ula” mengandung makna mendalam tentang bagaimana lembaga pendidikan dini seharusnya terbangun di atas fondasi kasih sayang, kelembutan, dan kesabaran.
Ibu dalam makna simboliknya adalah figur yang mendekap, menenangkan, dan menumbuhkan. Ia menjadi representasi kasih tanpa syarat yang anak-anak butuhkan dalam proses belajar awal mereka. Seorang guru di madrasatul ula memegang peran yang sama: menyapa dengan senyum, mendengar dengan sabar, dan menuntun dengan hati.
Kehangatan yang ditunjukkan oleh guru menciptakan suasana belajar yang aman bagi anak untuk bereksplorasi dan berani mencoba hal baru. Dalam suasana seperti itu, madrasah menjadi tempat anak-anak menemukan rasa percaya diri, keingintahuan, dan kecintaan terhadap ilmu.
Selain itu, peran “ibu” dalam konteks madrasatul ula juga mengandung aspek spiritual. Pengasuhan yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadikan pendidikan tidak berhenti pada kecerdasan kognitif, melainkan juga menumbuhkan kecerdasan emosional dan spiritual.
Anak-anak kita ajak memahami bahwa setiap ilmu yang mereka pelajari adalah bagian dari ibadah. Setiap teman adalah saudara, dan setiap kebaikan kecil adalah langkah menuju keberkahan. Dengan demikian, madrasatul ula berfungsi bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai rumah kasih yang menanamkan benih moral dan akhlak mulia.
Figur Bapak: Penjaga Nilai dan Pelindung Cita
Jika ibu melambangkan kasih yang menumbuhkan, maka bapak menggambarkan arah dan kekuatan yang melindungi. Dalam kalimat “menjadi bapak untuk pelindung cita,” tersirat tanggung jawab besar untuk menjaga mimpi dan cita-cita anak agar tumbuh dalam jalur yang benar.
Figur bapak di sini tidak semata-mata berjenis kelamin laki-laki, melainkan mewakili prinsip ketegasan, kedisiplinan, dan visi jangka panjang yang harus dimiliki seorang pendidik di madrasatul ula.
Anak-anak usia dini adalah pribadi yang penuh imajinasi dan rasa ingin tahu, tetapi juga mudah goyah dan rentan terhadap pengaruh lingkungan. Maka, peran “bapak” dalam pendidikan berarti menjadi penjaga arah. Memastikan cita-cita mereka tidak padam, dan menanamkan semangat pantang menyerah sejak dini.
Dalam praktiknya, guru berperan sebagai pembimbing yang mengajarkan nilai tanggung jawab, kejujuran, dan disiplin melalui teladan sehari-hari. Ia melindungi cita anak-anak bukan dengan membatasi, melainkan dengan menuntun mereka agar memahami batas antara kebebasan dan tanggung jawab.
Pelindung cita juga berarti memberikan dukungan moral dan spiritual. Setiap anak memiliki potensi unik, dan tugas seorang “bapak” adalah memastikan potensi itu tidak terkubur oleh rasa takut atau rendah diri.
Misalnya, ketika seorang anak belum mampu menulis atau membaca secepat teman-temannya, guru berperan memberi keyakinan bahwa setiap anak punya waktu tumbuh yang berbeda. Inilah bentuk perlindungan terhadap cita. Menjaga agar semangat belajar tetap menyala, bukan padam oleh tekanan atau perbandingan.
Lebih jauh, peran “bapak” juga dapat terpahami sebagai penjaga nilai-nilai luhur dalam pendidikan Islam. Ia mengarahkan agar cita-cita anak tidak hanya berorientasi pada keberhasilan duniawi, tetapi juga bernilai ukhrawi.
Cita yang terlindungi bukan semata menjadi dokter, guru, atau pemimpin, melainkan menjadi manusia yang bermanfaat, berakhlak, dan bertakwa. Dengan demikian, madrasatul ula tidak hanya menyiapkan anak untuk dunia pengetahuan, tetapi juga membingkai arah hidup mereka agar selaras dengan nilai keislaman.
Harmoni Peran: Menumbuhkan dengan Kasih, Menuntun dengan Nilai
Keseimbangan antara “ibu yang menumbuhkan” dan “bapak yang melindungi” menjadi kunci bagi keberhasilan pendidikan anak usia dini di madrasatul ula. Keduanya adalah dua sisi dari satu tujuan. Mencetak generasi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya. Tanpa kasih dan kelembutan, pendidikan akan kering dan menakutkan. Namun tanpa ketegasan dan arah, pendidikan akan kehilangan moralnya. Maka, madrasatul ula seharusnya menjadi ruang di mana kasih dan bimbingan berpadu dalam harmoni.
Guru dan pengasuh perlu menanamkan nilai-nilai kebersamaan yang dihidupi oleh semangat keibuan dan kebapakan. Ketika seorang anak menangis karena rindu rumah, guru hadir sebagai “ibu” yang menenangkan.
Ketika anak berselisih dengan temannya, guru tampil sebagai “bapak” yang menegakkan keadilan dan mendamaikan dengan bijak. Dalam momen-momen kecil seperti itu, nilai-nilai pendidikan karakter tumbuh secara alami. Empati, tanggung jawab, dan keadilan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak di madrasah.
Selain itu, harmoni antara peran ibu dan bapak juga perlu terwujudkan dalam kolaborasi antara guru dan orang tua di rumah. Pendidikan anak usia dini tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan kesinambungan antara kasih dan keteladanan di madrasah dengan pengasuhan di rumah.
Ketika madrasah menanamkan nilai disiplin, orang tua menumbuhkannya dengan konsistensi. Ketika guru mengajarkan doa dan adab, keluarga memperkuatnya dengan praktik keseharian. Inilah bentuk nyata dari perlindungan cita: cita-cita anak tidak sekadar diimpikan, tetapi kita jaga bersama dengan cinta dan teladan.
Pada akhirnya, menjadi ibu untuk madrasatul ula berarti menghadirkan kehangatan yang menumbuhkan, dan menjadi bapak untuk pelindung cita berarti meneguhkan arah dan menjaga semangat anak-anak agar tidak padam.
Dua peran ini bersatu dalam satu niat mulia, yaitu: mendidik dengan hati, menumbuhkan dengan cinta, dan menuntun dengan nilai. Dalam harmoni kasih dan keteladanan inilah, madrasatul ula menemukan jati dirinya sebagai rumah pertama bagi generasi berakhlak dan bercita luhur. []











































