Mubadalah.id – Fiqh al-Murunah yang berarti fiqh kelenturan atau fiqh yang fleksibel menawarkan cara pandang baru terhadap hukum Islam yang lebih adaptif terhadap keragaman manusia. Lentur di sini tidak berarti kompromistis, melainkan mampu menyesuaikan diri dengan konteks tanpa kehilangan substansi moral dan spiritualnya.
Dalam paradigma ini, hukum Islam dipahami sebagai sistem nilai yang hidup dan bergerak bersama manusia. Ia bukan instrumen penghakiman, tetapi sarana pembebasan.
“Fiqh seharusnya tidak mempersulit manusia, melainkan memuliakan pengalaman hidup mereka,” ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.
Fiqh al-Murunah juga menegaskan pentingnya partisipasi penyandang disabilitas dalam perumusan hukum. Tidak cukup lagi bagi ulama non-difabel untuk menafsirkan dari luar, karena harus ada ruang bagi mereka yang hidup dengan disabilitas untuk menafsirkan dari dalam.
Mengubah Ukuran Azimah dan Rukhsah
Salah satu implikasi paling signifikan dari paradigma ini adalah redefinisi konsep azimah (hukum asal) dan rukhsah (keringanan hukum).
Selama ini, ukuran azimah dan rukhsah orang-orang tentukan berdasarkan pengalaman mayoritas non-difabel. Akibatnya, apa yang bagi sebagian orang dianggap keringanan, bagi penyandang disabilitas bisa tetap menjadi beban.
Dalam kerangka Fiqh al-Murunah, ukuran itu harus bergeser. “Azimah dan rukhsah tidak boleh kita ukur dari pengalaman non-difabel. Keduanya harus berpijak pada realitas dan pengalaman penyandang disabilitas sendiri,” tegas Kiai Faqih.
Artinya, disabilitas bukan pengecualian dari norma hukum. Melainkan bagian dari spektrum keberagaman manusia yang menjadi dasar keadilan Islam itu sendiri. []






































