Mubadalah.id – Konflik dalam rumah tangga seringkali dipersepsikan sebagai pertanda buruk yaitu tanda bahwa cinta mulai pudar, komunikasi mulai rusak, atau kesetiaan mulai retak.
Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Buku Fondasi Keluarga Sakinah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dkk., konflik justru bagian alami dari kehidupan rumah tangga. Ia adalah keniscayaan yang tak perlu dihindari, melainkan dikelola dengan cara yang ma’ruf, bijak, dan penuh kasih sayang.
Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi panduan etis yang sangat mendalam tentang bagaimana menghadapi ketegangan dalam relasi suami-istri. Dalam QS. An-Nisa (4):19, menyebutkan:
“… dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Ayat ini menegaskan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf — memperlakukan pasangan dengan kebaikan dan kesopanan bahkan ketika sedang tidak sepaham. Prinsip inilah yang menjadi pondasi utama dalam manajemen konflik dalam rumah tangga.
Tiga Cara Pandang terhadap Konflik
Dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah, menjelaskan bahwa ada tiga cara pandang terhadap konflik: negatif, positif, dan progresif.
Pertama, pandangan negatif melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan merugikan sehingga harus keduanya hindari. Pandangan ini membuat pasangan menekan emosi dan mengabaikan masalah, yang justru menimbulkan luka batin yang lebih dalam.
Kedua, pandangan positif menganggap konflik sebagai sesuatu yang lumrah yaitu bagian dari dinamika kehidupan yang tidak bisa keduanya hindari. Pasangan dengan pandangan ini akan lebih tenang menghadapi konflik karena memahami bahwa perbedaan adalah hal wajar.
Ketiga, pandangan progresif melangkah lebih jauh yaitu konflik bukan hanya wajar. Tetapi juga keduanya butuhkan untuk melakukan dinamika perubahan. Pandangan ini melihat konflik sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, memperdalam komunikasi, dan memperkuat relasi suami-istri.
Cara pandang progresif inilah yang seharusnya keduanya lestarikan dalam kehidupan rumah tangga. Dengan pandangan ini, konflik tidak lagi menjadi ancaman, melainkan ruang tumbuh tempat pasangan belajar memahami batas, kebutuhan, dan ekspektasi satu sama lain. []







































