Mubadalah.id – Jika merujuk sisi medis, praktik pemotongan atau perlukaan genitalia perempuan (P2GP) tergolong sebagai praktik berbahaya (harmful practices). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa pemotongan bagian genital perempuan tanpa alasan medis adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi serius seperti infeksi, perdarahan hebat, gangguan kemih, trauma psikologis, dan infertilitas. Bahkan dapat berujung pada kematian anak perempuan akibat kehilangan darah atau infeksi yang tidak tertangani.
Temuan dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI (2016) serta Komnas Perempuan memperkuat kesimpulan tersebut. Mereka menunjukkan bahwa dampak P2GP di Indonesia serupa dengan praktik di negara-negara lain: luka yang dalam, trauma berkepanjangan, serta gangguan kesehatan reproduksi jangka panjang.
Ironisnya, di tengah fakta-fakta medis dan hukum yang jelas, banyak masyarakat masih meyakini P2GP sebagai perintah agama. Dalam beberapa komunitas keagamaan, praktik ini dianggap sebagai tanda kesempurnaan keislaman perempuan, cara untuk menjaga kesucian, atau mengendalikan hasrat seksual agar perempuan lebih “terkendali” dan dianggap “layak” menikah.
Turun-Temurun
Pandangan keliru ini lahir dari percampuran antara ajaran agama dan tradisi turun-temurun. Sebagaimana dalam berbagai kajian (PSKK UGM, 2017; Komnas Perempuan, 2017; Udin, 2015; Budiharsana et al., 2003), praktik ini telah menjadi norma sosial yang kuat. Sehingga sulit orang-orang tinggalkan bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun.
Meski 66 persen bidan menyatakan P2GP tidak diperlukan dan 55 persen mengetahui bahwa praktik ini dilarang oleh Kementerian Kesehatan, sebagian tetap melakukannya karena tekanan sosial dan keyakinan tradisional masyarakat sekitar.
Di sinilah letak tantangan besar kita. P2GP bukan hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga soal kekuasaan sosial atas tubuh perempuan. Selama masyarakat masih memandang tubuh perempuan sebagai objek kontrol. Maka kekerasan seperti ini akan terus terwariskan.
Sudah saatnya praktik P2GP kita akhiri bersama. Negara perlu menegakkan regulasi larangan dengan lebih tegas dan memastikan tidak ada tenaga kesehatan yang melanggarnya.
Sementara itu, lembaga agama, organisasi perempuan, dan komunitas lokal perlu berperan aktif membangun kesadaran baru bahwa kesempurnaan iman dan kehormatan perempuan bukan karena luka di tubuhnya, melainkan oleh kebaikan, pengetahuan, dan kemanusiaan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id, perjuangan melawan P2GP bukan hanya soal melindungi kesehatan perempuan. Tetapi juga membebaskan tubuh perempuan dari penindasan struktural yang telah diwariskan selama berabad-abad.
P2GP adalah warisan kekerasan yang tidak seharusnya diteruskan. Tubuh perempuan bukan medan eksperimen tradisi, melainkan ruang kehidupan yang harus dijaga, dihormati, dan dilindungi. []








































