Mubadalah.id – Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id menjelaskan bahwa sunat perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap tubuh perempuan yang tidak memiliki dasar medis, kesehatan, maupun agama.
Karena praktik ini sesungguhnya hanya meninggalkan luka fisik dan psikologis yang mendalam. Serta menjadi bentuk kontrol sosial terhadap tubuh dan seksualitas perempuan.
Penegasan bahwa sunat perempuan termasuk praktik berbahaya sejalan dengan pandangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komnas Perempuan, yang menyebut bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan komplikasi serius: mulai dari perdarahan hebat, infeksi, trauma, hingga risiko kematian.
Karena itu, ratifikasi CEDAW oleh Indonesia menjadi pijakan moral dan hukum yang kuat untuk menghentikan praktik ini.
Komitmen internasional tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai kebijakan nasional. Salah satu langkah awal pemerintah Indonesia adalah melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006, bernomor HK.00.07.1.3.1047a. Dalam surat ini menegaskan tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi tenaga kesehatan.
Surat edaran ini menjadi sinyal tegas bahwa tindakan tersebut tidak boleh mereka lakukan di fasilitas medis mana pun. Bahkan dengan alasan apa pun.
Larangan ini kemudian ditegaskan lagi melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Meskipun peraturan ini sempat menimbulkan tafsir ganda karena masih mengatur tata cara pelaksanaan sunat perempuan.
Untuk menghindari kesalahpahaman dan praktik di lapangan. Maka pemerintah akhirnya mencabut peraturan tersebut melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014. Artinya dalam hal ini negara secara tegas menghapus dasar hukum praktik P2GP di Indonesia. []










































