Mubadalah.id – Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah nyata dalam upaya menghapus praktik sunat perempuan di Indonesia.
Langkah tersebut misalnya, dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dalam peraturan ini, pemerintah secara eksplisit memasukkan agenda penghapusan praktik berbahaya seperti sunat perempuan, perkawinan anak, dan kekerasan berbasis gender sebagai bagian dari Tujuan 5, yakni kesetaraan gender.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Maria Ulfah Anshor, tantangan terbesar bukan lagi pada tingkat regulasi. Melainkan pada tingkat kesadaran sosial dan budaya.
Di banyak daerah, praktik sunat perempuan masih dilakukan oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi dengan dalih ritual adat atau syariat agama. Hal ini menunjukkan bahwa upaya hukum dan kebijakan belum sepenuhnya menembus kesadaran kolektif masyarakat.
Oleh karena itu, menghapus sunat perempuan berarti menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar: hak atas tubuh, kesehatan, dan martabat perempuan.
Maria Ulfah Anshor menegaskan bahwa perjuangan melawan praktik ini harus kita lakukan secara holistik dan kolaboratif. Yaitu dengan melibatkan pendidikan, sosialisasi nilai-nilai keagamaan yang berperspektif kemanusiaan, serta pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput.
Tanpa perubahan paradigma sosial, hukum dan kebijakan hanya akan menjadi teks tanpa makna di lapangan. Karena itu, seluruh elemen bangsa termasuk pemerintah, lembaga agama, tokoh masyarakat, akademisi, media, dan organisasi perempuan.
Semua elemen tersebut perlu bersatu dalam satu komitmen moral dan kemanusiaan untuk mengakhiri praktik sunat perempuan di Indonesia.
Menghapus sunat perempuan bukan hanya tindakan melindungi kesehatan perempuan. Tetapi juga bagian dari perjuangan untuk mewariskan masa depan yang adil, setara, dan bebas dari kekerasan terhadap tubuh perempuan. []









































