Mubadalah.id – Saat ini, platform media sosial TikTok tidak hanya menjadi media hiburan. Banyak hal yang kita butuhkan tersedia di platform ini. Mulai dari berita, edukasi, inspirasi, hingga jual beli. Bahkan, berkat kreativitas netizen, fitur siaran atau live streaming yang TikTok sediakan pun kini penggunaannya sudah sangat beragam. Apalagi dengan adanya fitur Target Live di TikTok yang memungkinkan pengguna untuk meraup koin gift dari penonton atas challenge yang mereka buat, termasuk konten tentang keagamaan.
Sadar atau tidak, perkembangan teknologi komunikasi digital memang telah menggeser praktik dan diseminasi ajaran agama. Dakwah, yang secara tradisional merupakan sebuah upaya penyampaian pesan keagamaan dalam ruang fisik seperti masjid atau majelis taklim, kini telah bertransformasi menjadi sebuah wacana yang cair, hiper-aksesibel, dan termediasi secara algoritmik dalam ruang siber.
Platform media sosial, khususnya TikTok dengan format video pendek dan live streaming yang intens, memberlakukan sebuah “Estetika Algoritmik.” Estetika ini mengedepankan kecepatan, interaksi, dan performa visual di atas kedalaman atau durasi konten. Dalam konteks dakwah, tuntutan algoritmik ini memaksa setiap orang untuk mengadaptasi materi sakral menjadi format yang scrollable dan entertainment-driven.
Arah Baru Dakwah Digital: Antara Dakwah dan Komodifikasi Agama
Konten keagamaan dalam arus digital harus mampu bersaing dengan konten hiburan lainnya. Hal ini bertujuan supaya mendapatkan visibilitas di For You Page (FYP). Implikasinya, praktik kesalehan bergerak dari dimensi internal dan kontemplatif menuju dimensi eksternal dan performatif yang terbuka untuk validasi publik.
Kegiatan dakwah yang merambah pada dunia digital pada akhirnya harus menyesuaikan format digital sesuai dengan algoritma yang berlaku. TikTok misalnya. Sebagai media sosial yang cukup populer di kalangan masyarakat, TikTok menawarkan konten visual dengan ragam konten yang sangat variatif. Konten-konten keagamaan pun harus beradaptasi dengan algoritma dan karakteristik TikTok yang cukup scrollable dan singkat.
Akan tetapi dalam satu kondisi tertentu, banyak simbol maupun ajaran agama justru seolah-olah menjadi barang yang dapat diperjualbelikan. Hal ini sering saya temukan dalam live streaming TikTok yang memanfaatkan fitur Target Live. Para host secara eksplisit akan melakukan tindakan tertentu (dalam hal ini adalah pembacaan Surah Al-Qur’an atau selawat) sesuai dengan jenis gift yang penonton berikan.
Logika Rivalitas Algoritma dan Monetisasi Konten Keagamaan
Target Live TikTok bekerja dalam mekanisme yang sangat jelas. Semakin tinggi interaksi, semakin sering muncul di FYP. Semakin sering muncul di FYP, semakin besar peluang sebuah akun menghasilkan gift. Artinya, konten keagamaan yang masuk ke ekosistem ini tidak lagi berada dalam relasi dakwah untuk menyebarkan nilai, tetapi dakwah untuk mempertahankan visibilitas.
Pada titik ini, konten dakwah mau tidak mau harus bermain di arena yang sama dengan konten hiburan lain di mana viralitas menjadi indikator keberhasilan. Bukan lagi kualitas argumentasi, kedalaman tafsir, atau konsistensi moral. Yang dinilai adalah seberapa mampu ia bertahan dalam atensi pengguna.
Dengan kata lain, gift bukan hanya bonus, tetapi berubah fungsi menjadi insentif struktural. Sistem ini secara tidak langsung membentuk motivasi kreator untuk menyesuaikan ritme konten dengan preferensi algoritma. Bukan preferensi nilai.
Di sinilah logika monetisasi masuk dan menyelinap sebagai struktur dominan. Ruang digital tidak lagi menjadi ruang berdakwah, tetapi sudah mampu memproduksi dan menyeleksi model dakwah sesuai kerangka ekonomi digital. Dakwah menjadi komoditas dan algoritma menjadi pasar.
Ketika Bacaan Al-Qur’an Menjadi “Trigger” Reward
Dalam beberapa live di TikTok, praktik membaca Surah Al-Qur’an atau berselawat dibingkai sebagai challenge berbasis target gift. Penonton diminta mengirim Rose, Lion, Universe, atau gift lain untuk “unlock” bacaan selanjutnya. Bacaan suci kemudian berubah fungsi menjadi pemicu aktivitas ekonomi.
Sistem ini menggeser fungsi ibadah dari tindakan spiritual menjadi performance transaction-driven. Bacaan tidak dilakukan karena panggilan batin atau niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, karena menunggu adanya kompensasi. Ibadah menjadi sejenis paywall konten premium.
Dalam situasi seperti ini, netizen tidak lagi menjadi jamaah yang mendengar untuk mendapatkan hikmah. Mengutip Vincent Mosco, netizen berubah menjadi “konsumen” yang menentukan besar kecilnya transaksi. Sementara spiritualitas menjadi relasi transaksional antara host dan penonton, bukan relasi transenden antara hamba dan Tuhan.
Jika ini kita biarkan, maka lambat laun masyarakat akan terbiasa memaknai ibadah sebagai komoditas. Sakralitas menjadi abstraksi yang diikat oleh harga koin. Yang sakral bukan lagi makna ayatnya, tetapi seberapa banyak penghargaan digital yang berhasil dikumpulkan.
Menuju Praktik Dakwah Digital yang Lebih Etis dan Humanis
Padahal, di TikTok sendiri ada banyak contoh live keagamaan yang justru mendapat apresiasi tinggi tanpa sistem target. Banyak akun yang sering melakukan siaran live membaca Al-Qur’an dengan tartil, atau berselawat bersama tanpa memerlukan imbalan apapun. Mereka hanya menyiarkan dan netizen datang untuk mendengar atau sekadar menikmati ketenangan.
Model semacam ini membuktikan bahwa ruang digital masih membuka kesempatan besar untuk mempraktikkan dakwah autentik. Bukan dakwah sebagai performa maupun untuk mencari validasi. Ritual sakral yang termediasi di ruang digital adalah bentuk ajakan yang inspiratif atau untuk menyebarkan kedamaian batin.
Artinya, teknologi bukan musuh. Yang menjadi masalah adalah logika ekonominya yang terlalu mudah meng-instrumentalisasi nilai. Setidaknya, para kreator punya dua pilihan: mengikuti logika performativitas algoritmik yang transaksional atau tetap menjaga ruang sakral itu agar tidak terjerat oleh ekonomi digital.
Dalam konteks ini, perlu etika baru dalam berdakwah di media sosial. Etika yang tidak anti-teknologi, tapi mampu menegosiasikan mana yang pantas dikomodifikasi dan mana yang tidak pantas. Serta yang paling penting adalah etika untuk menjaga agar ibadah tetap bernilai ibadah, bukan konten premium berbayar. []






































