Mubadalah.id – Pada Minggu (2/11/2025), saya mengikuti kajian Tadarus Subuh Fiqh Al-Usrah ke-168 secara daring melalui kanal Youtube.
Tadarus subuh kali ini bersama penulis buku Fiqh Al-Usrah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dan Dosen UIN KHAS Jember, Siti Aminah, M.Pd. Tema yang mereka bahas sangat menarik, yakni perihal ungkapan syukur dalam walimah dan pesta pernikahan.
Tema walimah yang dikaji pada episode kali ini sangat menarik untuk kita kulik lebih dalam. Mengingat realitas di sekitar kita tentang pesta pernikahan yang banyak menghadirkan problem-problem baru bagi pasangan yang baru saja menikah. Alih-alih mendatangkan berkah bagi mereka, walimah seolah menjadi ajang pemuasan diri.
Dalam pemaparannya, Bu Nyai Aminah menjelaskan adanya pergeseran makna walimah, dari yang awalnya adalah sarana ibadah sebagai wujud syukur kebahagiaan yang diperoleh oleh dua keluarga mempelai, menjadi sebuah ajang kompetisi sosial dan kemewahan.
Pergeseran Makna Walimah
Dalam sebuah pesta walimah, terdapat tiga dimensi, yakni dimensi pernikahan, ibadah dan nilai sakral. Mungkin dari luar, walimah terlihat sebagai sebuah pesta pernikahan, tapi sejatinya walimah bukan hanya sebuah pesta, ada nilai-nilai ibadah yang bersemayam di dalamnya.
Walimah sebagai pengiring acara pesta pernikahan berposisi sebagai tradisi yang menjadi simbol atas pengakuan persatuan dua keluarga di hadapan komunitas.
Namun, realitas kontemporer menunjukkan paradigma yang berbeda. Walimah di konteks modern menjadi sebuah ajang kompetisi sosial dan pamer kemewahan, sehingga justru menjebak keluarga dalam situasi ekonomi yang sulit.
Pada gilirannya, nilai spiritual yang menjadi ruh dari walimah tergeser oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Masyarakat modern memandang walimah sebagai sebuah kesempatan untuk menunjukkan status sosialnya di tengah masyarakat. Pamer kemewahan seolah menjadi hal primer dalam sebuah perayaan resepsi pernikahan.
Dampak dari Walimah
Dalam pengamatan Bu Nyai Aminah, fenomena ini setidaknya menimbulkan tiga dampak buruk bagi keluarga mempelai. Pertama, dampak ekonomi. Gengsi dan prestise sering mereka utamakan ketimbang keberkahan dan stabilitas ekonomi yang dimiliki.
Perayaan pernikahan yang mewah juga cenderung menjadi jebakan ekonomi. Bu Nyai Aminah menyampaikan bahwa banyak keluarga yang terpaksa terjerat pada utang yang besar hanya karena keinginan untuk menyelenggarakan pesta besar dan megah.
Kedua, dampak sosial. Fenomena tersebut juga menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam. Budaya bermegah-megahan dalam pesta pernikahan mendorong rasa iri di antara masyarakat. Nilai-nilai konsumtif dan hedonis yang dihasilkan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai Islam.
Mengenai hal ini, Bu Nyai Aminah memaparkan, bahwa menurut kitab Fathul Qarib, besaran suatu perayaan walimah terukur sesuai dengan kemampuan sang penyelenggara. Dengan demikian, pada hakikatnya Islam tidak memaksa kita untuk berwalimah melebihi kapasitas dan kemampuan finansial.
Ketiga, dampak spiritual. Niat tulus untuk bersyukur perlahan luntur dan hilang, tergantikan oleh hasrat duniawi semata. Padahal, Nabi saw, mencontohkan kesederhanaan dalam berwalimah, sebagaimana dalam hadis
لَمّا قَدِمَ عَلَيْنا عبدُ الرَّحْمَنِ، فَآخى النبيُّ ﷺ بيْنَهُ وبيْنَ سَعْدِ بنِ الرَّبِيعِ، فَقالَ النبيُّ ﷺ: أوْلِمْ ولو بشاةٍ
Artinya: “Ketika ‘Abdurrahman datang kepada kami, Nabi ﷺ mempersaudarakannya dengan Sa‘d bin ar-Rabi‘. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Adakanlah walimah (pesta pernikahan), meskipun hanya dengan seekor kambing.”
Selain itu, ada budaya membawa amplop dalam fenomena walimah dewasa kini. Amplop yang mulanya merupakan sedekah terhadap keluarga yang sedang berbahagia, justru menjadi beban hutang baru bagi keluarga yang harus terbayarkan kembali nanti.
Refleksi Kritis Tujuan Utama Walimah
Ada tiga tujuan utama yang terdapat dalam Walimah, sebagaimana mengutip dari buku Fiqih Al-Usrah. Pertama, pengumuman resmi. Walimah menjadi sebuah tempat dua keluarga besar untuk menyatakan kepada masyarakat bahwa telah terjadi akad nikah yang sah antara dua mempelai pengantin. Pengumuman ini menjadi sebuah pengakuan untuk mencegah fitnah dan menjaga kehormatan kedua mempelai.
Kedua, pertemuan keluarga. Selain sebagai sebuah pengumuman, walimah menjadi momen untuk menjalin dan memperkuat tali silaturahmi antara dua keluarga.
Ketiga, deklarasi komitmen, Bagi kedua mempelai, walimah adalah momen simbolik untuk menyatakan kesiapan dan tanggung jawab dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah sesuai apa yang telah diajarkan oleh Islam.
Perspektif mubadalah menawarkan dua prinsip kunci dalam penyelenggaraan walimah, yakni la dlarara (tidak menimbulkan kesulitan), dan menghadirkan maslahat. Ada batasan yang perlu terjaga supaya walimah tidak menjadi sebuah beban bagi keluarga penyelenggara atau justru menyakiti tamu undangan.
Sebagai penutup, ada pernyataan dari Kiai Faqih yang sangat berkesan bagi saya, “Jadi fikih itu sesungguhnya sederhana, tetapi yang sederhana itu justru sekarang sulit kita lakukan.” Jika kita tarik dalam konteks walimah, akan kita pahami bahwa ia sejatinya bukan ajang untuk menampilkan status, melainkan ungkapan syukur sederhana yang kita harapkan dapat mendatangkan berkah. []











































